WILD LOVE???? #21
Malam tahun baru,malam perganitan tahun. Malam dimana semua orang merayakan kebahagiaan akan tahun yang baru. Ramai-ramai mereka mengucapkan resolusi untuk tahun yang baru ini. resolusi? Ha ha ha mungkin mereka hanya ingin ikut-ikutan tren saja, jelas saja mau resolusi, mau resoles, mau rempeyek yang jelas adalah begadang. Dan yang ada dipikiranku, resolusi tidak perlu menunggu tahun baru, setiap hari buatlah resolusi untuk hari esoknya. Simple kan, everyday is a brand new day. Hei... kenapa melenceng dari situasiku saat ini?
DOOOOR!
TUAAANG!
Ya aku berlari dengan posisi merunduk, terdengar suara tembakan dari arah belakangku. Tepat ketika suara itu terdear, aku tersandung dan hampir terjatuh untungnya saja kedua tanganku bisa berhasil menahan tubuhku dan kembali berlari. Untunglah, dan untunglah tembakan mereka meleset, hanya mengenai angin yang berada disekitarku .
“Berhenti!” ucap seorang lagi. Aku masih berlari dan melompati pagar taman setinggi kurang dari 1 meter, mungkin 0,75 meter. Aku melompatinya dengan degup jantung yang berdetak dengan sangat kencang dan hingga aku melompatinya kuteruskan 1000 langkahku. Sekarang posisiku berada dijalanan perumahan elite, jalan dimana aku datang tadi. aku berlari berlawanan arah dengan arah, entah kemana tujuanku saat ini.
“Berhenti atau aku tembak!” ucap lelaki satu
“Cepat kejar dia!” teriak ayahku dari kejauhan dan aku masih bisa mengenali suara ayah
“Kejar dia bodoh! Tembak!” teriak aspal
“cepat!” teriak om nico yang mulai samar aku dengarkan karena posisiku menjauh
“Sial bagaimana ini? kalau mereka menembakku lagi bisa jad arghhhh.... sial! Eh.... zig-zag!” bathinku mengingatkan aku agar berlari zig zag, seperti dalam film-film action dimana berlari zig-zag dapat mengecoh penembak.
Aku kemudian berlari zig-zag menjauh dari mereka.
DOR... DOR...
“BERHENTI BAJINGAN!” teriak lelaki satu
“BERHENTI!” teriak lelaki dua yang bersautan dengan lelaki satu
Dua tembakan melewatiku tanpa mengenaiku, menyapa angin disamping, lariku zig-zag mengindari para penembak amatiran ini. Aku terus berlari zig-zag dan terus berlari tanpa mempedulikan mereka yang ada dibelakangku. Tanpa mempedulikan keberadaan mereka.
“cepat kalian kejar bajingan itu, jangan menembak lagi bisa ketahuan warga” teriak ayah yang samar-samar aku dengar dengan jarakku yang semakin jauh.
Bagus, aku suka sekali kebodohan ayah. Mana ada yang tahu kalau itu adalah suara ledakan pistol. Pasti mereka menduga itu adalah suara kembang api. Tapi dengan mereka tidak menembak aku sedikit lega. Dalam posisi masih berlari zig-zag, Aku menengok kebelakang dan kudapati dua lelaki itu mengejarku jauh dibelakangku. Ku kembalikan fokusku untuk berlari zig-zag untuk berjaga-jaga jika saja mereka menembakku lagi, hingga akhirnya tepat di sebuah gang aku berbelok masuk ke gang tersebut. Ya ini adalah gang dimana aku berangkat, gang dimana kenangan akan sebuah memori indah. Tepat ketika aku memasuki gang, kulihat sebuah lampu baru saja padam. Aku yakin itu adalah lampu sebuah mobil tapi entah mobil siapa. Aku kini berlari lurus tanpa zig-zag. Semakin aku melewati gang ini semakin ingatanku kembali ke masa itu. Argh... bodoh! Aku terus berlari, aku harus masuk ke kebun singkong itu. Tidak, tidak bisa jika dilihat dari jarak kejar kedua lelaki itu pasti mereka tahu aku masuk kesana dan bisa saja lariku terhambat. Aku tidak tahu situasi dari kebun singkong itu, kalau kejeblos dan kesleo bagaiman? Aku harus bagaimana?????! Aku yakin mereka tidak akan melihatku jika aku bisa bersembunyi di salah satu rumah ini.
Semakin dekat dengan tempat dimana cahaya lampu mobil itu padam.
“Bu Dian!” bathinku. Ya itu adalah mobil bu dian, kenapa ini? kenapa bathinku mengatakan untuk kerumahnya?
Arah lariku menggeser merapat ke arah deretan rumah bu Dian. Mengikuti aliran perasaanku.
Aku melompati parit....
Tanganku menangkap tiang besi yang menjadi pagar rumah bu dian....
Dengan masih dalam kondisi sehabis melompati parit, aku langsung melompati pagar besi itu....
Rumah bu dian terletak diatas, jadi setelah pagar ada sebuah taman yang tingginya hampir sama dengan pagar rumahnya. Brugh... dengan posisi tubuh sedikit merangkak aku menaiki bukit kecil taman bu dian. setelah sampai di atas, aku melihat bu dian sedang berjalan menaiki tanggak kesil menuju pintu rumahnya, tangan kanannya mencari kunci di tasnya. Dia tidak menyadari akan kehadiranku. Aku langsung berlari ke arahnya.
“Bu Dian!” ucapku keras dengan memegang kedua bahunya. Bu dian mengenakan kaos tanpa lengan panjang yang ditutupi dengan sweater lengan panjang yang terbuka (mirip jaket tapi tanpa resleting), dan celana panjang model pensil. Tas kecil menggantung di bahunya. Ketika aku berkata kepadanya tangan kanannya masih di dalam tas, tatapan matanya adalah tatapan mata terkejut dan kebingungan
“Si... siapa kamu?” ucapnya gugup, jelas dia tidak tahu siapa aku, wajahku aku tutupi dengan masker dan juga kaca mata hitam.
“ini aku bu, arya!” ucapku sembari membuka kaca mataku
“Ar... Arya.... kenapa kamu ada di sini?” ucapnya tiba-tiba, langsung aku memakai kacamataku kembali
“tolong sembunyikan aku, Aku dikejar oleh orang yang akan membunuhku, aku butuh tempat bersembunyi, tolog aku bu!” ucapku. Tanpa berpikir panjang aku langsung berlari ke arah belakangnya, ke arah tempat mobil bu dian diparkir. Mungkin aku bisa bersembunyi di dalamnya.
Kuambil sebuah batu dengan tangan kiriku dan langsung aku lempar ke atap rumah tetangga bu dian. Dengan tujuan agar ada kegaduhan disebelah rumah, sehingga orang-orang yang mengejarku tidak mencariku di rumah bu dian. Aku terus berlari ke arah mobil bu dian, sreek... bugh... aku jatuh terjungkal tepat di belakang mobil bu dian, kepalaku terbentur lantai paving.
“A...” teriak kecil bu dian yang melihatku jatuh, namun aku tidak mempedulikannya. Aku langsung berlari ke samping mobil
“Bu... Buka pintu mobilnya, cepat!” ucapku
“Eh... belum aku kunci” ucap bu dian
“Ingat, Ibu bersikap biasa saja” ucapku yang langsung masuk ke dalam mobil, clek... Kulihat dari dalam wanita itu tampak sedikit bingung dengan keadaan yang didekatnya sekarang dan dia kembali pada posisi melangkah menuju pintu rumahnya. Suasana kembali hening sesaat.
“ARGH! SIAL KEMANA LARINYA” Teriak lelaki pertama yang aku dengar, aku kemudian merebahkan tubuhku di tempat duduk belakang mobil, tepatnya dibawah kursi.
“HEI KAMU! JANGAN BERGERAK! BUKAKAN PINTU ATAU KAMU AKU TEMBAK!” teriak lelaki ke dua kepada siapa aku tidak tahu. Entah bagaimana geraknya aku tidak tahu
“CEPAAAAT!” teriak lelaki satu
“I... I... ya jangan tembak...” ucap bu dian, yang kemudian aku dengar langkah kakinya menuju gerbang. Kriieeeeeeeet.... suara pintu gerbang rumah dibuka.
“Kamu tadi lihat lelaki berlari ke arah sini?!” bentak lelaki satu kepada bu dian
Trap... trap... trap suara langkah kaki seorang dari mereka. aku rebahkan tubuhku di bawah kursi belakang mobil. Degup jantung berdetak dengan sangat kencang, nafasku ku hemat agar tidak menimbulkan bunyi. Keringat mulai melukis seluruh tubuhku, panasmulai menyelimuti seluruh nyawaku.
“tidak aku tidak tahu, hanya tadi ada sekelebat bayangan lari ke arah sana” ucap bu dian
“Tidak ada tanda-tanda orang itu lari kesini” ucap seorang lagi dekat dengan mobil tempatku bersembunyi
“SIAPA?! Maling?!” teriak seorang lelaki yang tidak aku ketahui siapa, suaranya keras tapi begitu samar aku dengar dari dalam mobil
“hei bro, disamping” ucap seorang lelaki satu yang semula berbicara dengan bu dian
Trap... trap... trap... suara langkah kaki menjauh dari mobil, ya lelaki dua menjauh mengikuti instruksi dari lelaki satu. Membuat nafasku dapat aku hembuskan dengan sangat lega, semburan kenikmatan bernafas diruanng bersuhu tinggi ini.
“Ya sudah mbak , silahkan istirahat. Hati-hati tadi ada maling yang lari kesini, kami intel jadi mbak tenang saja” ucap lelaki satu yang aku dengar samar dari dalam mobil
“Iya, aku akan hati-hati” ucap bu dian, yang kemudian terdengar suara pintu gerbang tertutup
“INTEL GUNDULMU PEYANG SU!” Bathinku berteriak, bagaimana tidak? Penjahat mengaku intel.
Kucoba mengatur kembali formasi nafasku untuk melegakan jantungku. Hanya atap bagian dalam mobil yang sekarnag menjadi pemandanganku satu-satunya. Keringat-keringat yang melukis tubuhku mulai lelah dan berjalan kebawah tubuhku. Rasa lelah, kantuk, takut, gelisah bertemu menjadi satu seakan-akan menghajarku saat ini.
“Ada apa pak?” ucap lelaki satu sangat samar terdengar dari dalam mobil bu dian, walau suaranya terdengar sangat kecil tapi dapat aku dengarkan.
“Tadi ada suara gaduh, entah siapa tapi suaranya keras” ucap bapak tetangga bu dian yang rumahnya aku lempari batu
Entah pembicaraan apa yang mereka lakukan, percakapan mereka mulai tidak bida aku dengarkan. Rasa-rasa ingin segera keluar menghirup udara segar semakin berkobar. Sudah tidak tahan dengan suasan ini, namun jika aku keluar saat ini bisa jadi aku akan jatuh dalam pelukan kematian. Aku melihat sekelebat bayangan melewati mobil dan kemudan masuk kerumah bu dian. bayangan dari sorot lampu teras rumah yang masuk ke dalam mobil bu dian. Dan dapat aku pastikan dengan jelas itu adalah wanita yang menolongku malam ini, bu dian.
Dari dalam mobil tanpa udara masuk ini, semakin lama nafasku semakin sesak. Tak kudengar lagi suara-suara kemarahan. Perlahan aku mendengar sebuah deru suara mobil datang, Kemungkinan mobil yang datang itu adalah mobil ayah dan lainnya. Mobil itu berbunyi dan berhenti, terlihat sangat dekat dengan posisiku sekarang mungkin berada tepat di depan dirumah bu dian. tak ada suara pembicaraan atau obrolan yang aku dengar, nafasku semakin lama semakin sesak. Kurang lebih setengah jam lamanya, aku berada di dalam mobil ditemani oleh suara mobil mereka. menahan panas dan sesak. Mungkinkah aku akan mati kehabisan nafas di dalam sini?
“Dasar goblok! Sudah tinggalkan tempat ini, nanti warga curiga!” teriak ayah samar
“Baik bos” ucap kedua lelaki bersamaan
Klek... klek... suara pintu mobil tertutup....
Suara ketiga mobil itu menghilang...
Aku masih rebah di dalam mobil, ku coba mengusap keringat-keringat dipipiku. Nafasku masih mengalir, menandakan masih ada sisa oksigen yang bisa masuk ke dalam paru-paruku. Aku akan mati kehabisan nafas, aku akan mati kekeringan didalam sini. Kulihat telapak tangaku sudah banjir keringat yang tak tahu dari mana asalnya. Kuusap keningku.
“Aduh sial...!” bathinku, keningku ternyata luka akibat jatuh tadi
Setelah beberapa menit suara mobil-mobil itu menghilang...
Tok tok tok...
“Eh...” aku terkejut adanya ketokan pada pintu depan mobil, aku bangkit dan kudapati bu dian berada disamping kanan mobil
“Ayo cepat masuk kerumah...” ucap bu dian
Aku kemudian bangkit dan merangkak ke jok depan mobil. Ku buka perlahan pintu depan mobil sebelah kiri...
“sudah tenang mereka sudah pergi, masuk lewat pintu samping” ucap bu dian yang menunjukan pintu samping rumahnya yang langsung menghubungkan dengan tempat parkir mobilnya
“hash hash hash iya...” ucapku sambil merunduk aku berlari dan masuk lewat pintu samping yang sud terbuka itu
Aku masuk, dan kudapati diriku di ruang keluarga rumah bu dian. ada sofa dan sebuah TV LED yang berada didepannya. Aku langsung rebahkan tubuh atasku di sofa dengan nafas terengah-engah. Kulepas semua pakaian tebal yang menempel di tubuhku, hanya kaos yang aku sisakan. Selang beberapa menit, bu dian masuk dan menutup pintu samping rumahnya. Menggunakan kaos longgar tanpa lengan dan celana ketat hingga menutupi lututnya.
“Kamu ndak papa?” ucap bu dian yang berjongkok didepanku
“Hash hash hash hash hash ndak papa bu” ucapku
“Kenapa bisa ada orang yang mengejarmu? Kamu habis apa?” ucap bu dian
“Hash hash hash hash hash ceritanya panjang, boleh saya minta minum bu?” ucapku
“Eh iya... maaf aku ambilkan dulu” ucapnya bangkit melangkah meninggalkan aku
“Itu bisa diminum bu? Hash hash hash” ucapku sambil menujuk ke dispenser
“Eh bisa” ucap bu dian, aku langsung bangkit dengan cepat aku masukan mulutku ke kran air dingin dan langsung aku buka.
Glek glek glek Glek glek glek Glek glek glek...
“Pelan mas...” ucap bu dian
Glek glek glek Glek glek glek Glek glek glek... masih dalam posisi menyeruput dan mengacungkan jempol
Seakan seperti mengalami musim kemarau 100 tahun yang di guyur oleh badai air. Keringat-keringat yang mengalir di leherku menandakan mereka sudah bosan bersamaku. Hembusan angin membuatku merasakan sejuk.
“Hash hash hash hash... hufth... selamat...”
“terima kasih bu telah menyelamatkan hidupku” ucapku sambil duduk bersimpuh dengan kedua tangan mencengkram lututku
Hash hash hash hash hash hash hhhhaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasssssh....
“Istirahatlah, aku buatkan teh hangat ya mas?” ucap bu dian
“Eh... i... iya bu terima kasih hash hash hash hash has” ucapku sedikit heran dengan kata-kata yang baru saja dia ucapkan
Nafasku masih tersengal-sengal, kucoba menstabilkannya. Kupejamkan mata ini, mencoba menginngat apa yang terjadi. Terdengar suara ting-ting-ting tanda bu dian sedang mengaduk sesuatu di dapur sana. Rasa takut, gelisah, kantuk, lelah sedikit bosan dan mulai pergi, yang ada sekarang hanyalah rasa aman ketika dekat bersamanya. Selang beberapa menit, aku sudah kembali tenang walau nafasku masih belum bisa teratur. Aku bangkit dan menuju dapur dimana bu dian berada, dengan langkah gontai dan kepala terasa sedikit pusing karena terbentur paving. Kulihat tatapan matanya adalah tatapan mata seseorang yang sedang megkhawatirkan sesuatu. Matanya terus melihat ke arah gelas dengan air yang terus berputar itu. Rambutnya begitu panjang hingga menyentuh pinggulnya, baru kali ini aku bisa melihat rambut panjang bu dian atau memang aku tidak pernah memperhatikannya sama sekali? Sedikit aku terkesima oleh pemandangan itu namun paru-paru ini minta untuk diisi kembali dengan asap dunhill.
“Bu, saya tak kebelakang boleh?” ucapku
“Eh... iya, silahkan mas” ucap bu dian, aku mengangguk dan tersenyum.
Entah ada yang aneh dari kata-katanya tapi belum bisa aku temukan dalam kondisi seperti ini. pikiranku masih diselimuti kegelisahan dan kekhawatiran namun aku masih bisa tenang bersamanya. Aku kemudian melangkah menuju halaman belakang rumah bu dian. ku buka pintu belakang rumahnya, terlihat sebuah sedikit tanah lapang berhiaskan rumput jepang dengan kolam ikan yang airnya terus mengalir ke atas karena bantuan pompa. Tepat disamping pintu ada sebuah kursi dan meja. Aku kemudian duduk di lantai bawah, ku ambil sematpon dan dunhill. Kusulut sebatang dunhill... fyuuuuh.... beberapa semburan asap membuatku sedikit tenang malam ini. Sematponku, ingin akku membukannya, membuka rekaman video yang baru saja aku rekam tapi aku urungkan takut jika Bu Dian mengetahuinya.
Rasa sayange... rasa rasa sayange. (buat reader jangan sampe lupa lagu negara kita). Ringtone HP. Ayah.
Aku terkejut melihat nama dilayar sematponku. Pikiranku menjadi keruh dan sangat keruh ketika melihat nama itu. Nama yang selalu membuatku marah, nama yang membakar emosiku. Sebentar aku melihatnya dan tak ada ide yang masuk ke dalam otakku. Hingga nada ringtone itu berhenti aku tetap tidak mengangkatnya. Kemudian panggilan kedua dari ayah datang lagi menghampiriku untuk kedua kalinya.
“bagaimana ini? eh... eh... oh iya, pura-pura bangun tidur” bathinku, aku pun tersenyum
“Hallohh siapah nihh?”
“Arya, ini Romo, kamu dimana? Sedang apa?!”
“Hoaaaammmmm... Romo... hoaaammmm... dikos teman romo ughhh... nyam... nyamm.... ada apa romo?”
“kamu lagi tidur?”
“tepatnya bangun tidur mo, tadi begadang ndak kuat... ini juga bareng sama temen-temen hoaaaaaaaaammmhh...”
“Oh ya sudah, romo kira kamu diluar”
“iya romo, arya mau tidur lagi gih... ngantuk bangethhh hufthh... “
“Ya sudah, kamu tidur lagi saja”
“iya hoaaaam romo” tuuuuuuuut.....
Hufth... aman.... aku kembali terduduk dan bersandar pada kursi halaman belakang bu dian, kuselonjorkan kakiku. Aku pandangi langit, dan aku berharap semoga saja telepon barusan membuat romo yakin kalau aku benar-benar tertidur dikos temanku. Langit seakan tersenyum kepadaku saat ini, tersenyum atas keberhasilanku selamat dari kematian. Bintang-bintang melambaikan tangannya menandakan sebuah kebahagiaan atas keberhasilanku.
“Ehem... mas ini tehnya” ucap bu dian yang diawali dengan berdehem, membuatku sedikit terkejut dengan kehadirannya tanpa suara itu. Bu dia kemudian menyerahkan teh hangat itu dan duduk bersimpuh disampingku dan menghadap ke arahku. Aku menoleh ke arahnya, memandang wanita tersebut. Wajahnya begitu datar dan kekhawatiran tergambar di wajahnya.
“Oh, iya bu terima kasih” ucapku, kuraih teh hangat, segera aku sruput minuman hangat dari bu dian. Rasa hangat mulai menguasai dadaku, seakan mengatakan inilah yang aku butuhkan.
“aaahh... mantab bu” ucapku, dengan senyum ke arahnya.
“Egh...” aku sedikit terkejut, tiba-tiba bu dian duduk disampingku pandangan matanya mengahadap ke arah yang sama dengan pandangan mataku. Pandangan menatap ke teras belakang rumahnya.
“Bu...” ucapku mencoba menolak ketika tangan bu dian merangkul lengan kiriku, dan dipeluknya erat. kepalanya bersandar ke bahuku.
“Kenapa? apakah tidak boleh mas?” ucapnya hening sesaat
“dulu bocah itu juga melakukan seperti ini dan aku tidak melarangnya...” lanjutnya dan pelukan bu dian semakin erat, ah aku kalah.
“B... bb... boleh kok bu, iya dulu bocah itu memang memeluk bahu kanan bu dian” ucapku teringat ketika masa itu aku menunggu bus bersama bu dian.
Aku hanya terdiam disampingnya dengan tangan kananku memegang teh hangat sedangkan tangan kiriku kaku tak bisa bergerak merasakan kehangatan dari wanita disampingku. Bak seekor bateng yang diikat kuat pada sebuah pohonn besar dan tak bisa bergerak ataupun berlari. Rasa lelah, mulai menjalar lagi ditambah dengan rasa dingin dan kantuk mulai menyapaku. Namun perasaan hangat berjalan dengan riang dari kiri tubuhku, seakan membuat semuanya tertunduk dan menyapa kehadiaran perasaan ini.
“Mas...” ucapnya pelan
“Eh... iya bu” ucapku dan baru tersadar kalau bu dian memanggilku dengan sebutan “mas”
“hati-hati” ucapnya pelan tanpa menoleh kearahku
“Iya bu... mmm.... bu” ucapku
“iya...” jawabnya
“dipanggil arya saja ndak papa kok bu, biasanya juga arya manggilnya” ucapku sambil meletakan gelas teh hangat itu
“bocah itu memanggilku dengan sebutan mbak’e-nya aku juga tidak pernah melarangnya” ucapnya pelan, dan aku semakin terpojok dalam suasana ini
“bu, kenapa harus bocah itu yang selalu menjadi alasan?” ucapku
“hemmmmm... hmmmm” desahnya melepaskan pelukan dan kemudian duduk memeluk kedua kakinya, dagunya diletakan di salah satu lututnya.
“tanyakan saja pada bocah itu, kenapa aku selalu menyebutnya... dia sudah berjanji kepadaku” ucap bu dian dengan mata terpejam seakan mengingat kejadian dimasa lampau.
Ah, lagi-lagi Ingatanku kembali kepada janji itu tapi jujur saja ku belum bisa menepati janji itu. Janji seorang bocah kepada seorang wanita dewasa yang diselamatkannya. Bocah yang lugu dan polos yang berbicara semaunya sendiri tanpa melihat situasi serta kondisi waktu itu. Bocah yang dengan santainya bergembira karena ada seorang wanita yang berjalan disebelahnya.
“Tapi bu... aku sudah mengatakan kepada bu dian kalau aku....” ucapku terhenti.
“dan aku jujur akan semua itu...” lanjutku
“apakah bocah itu masih tetap sama?” ucapnya
“aku tidak tahu yang jelas di...”ucapku terpotong
“Dia ada didalam dirimu dan itu adalah kamu” ucap bu dian membuat aku hanya tertegun dan diam. Kutarik kakiku hingga menekuk, kedua tanganku aku pangkukan di lututku. Ketika aku mencoba memegang keningku dengan tangan kananku
“Auch...” ucapku kesakitan karena tak ingat jika keningku terluka
“Eh... sebentar mas, jangan disentuh lagi” ucapnya yang langsung bangkit dan berlari ke dalam. Aku hanya mampu memandang dengan pandangan kosong melihat dia begitu sangat khawatir. Selang beberapa menit bu dian keluar dari balik pintu belakang rumahnya dan langsung duduk bersimpuh di hadapanku dan mengusapkan kapas yang telah dibasahi.
“ouch... pelan bu” ucapku megaduh, dan baru aku tahu itu adalah alkohol yang membasahi kapas itu
“eh... maaf, masih sakit?” ucap bu dian
“he’em...” ucapku, tanpa bisa aku menolak perlakuan bu dian
Dengan penuh kelembutan dia mengusap luka pada keningku. Luka pada kening yang sangat dekat dengan rambutku. Kulihat matanya sedikit berkaca-kaca ketika melihat lukaku, seakan ada kekhawatiran yang sangat besar didalam mata itu.
“Bu... sudah bu, sudah ndak papa tenang saja” ucapku pelan
“kamu... hati-hati kenapa sich? Aku kan selalu bilang kepadamu mas! Agar hati-hati! Sekarang lihat kamu terluka tadi juga di kejar-kejar orang bersenjata... mana ada orang yang melihat itu semua bisa tenang?!” ucap bu dian agak sedikit keras, matanya berkaca tapi tak ada air mata yang keluar. Dahinya mengrenyit, seakan aku kembali ke masa itu, dan aku tersenyum sendiri dihadapannya.
“tenag bu, saya masih hidup...” ucapku pelan membuat bu dian terkejut seakan dia mengingat sesuatu
“kamu masih tetap sama, itu juga yang dikatakan olehnya” ucapnya, dibuangnya kapas itu, kedua tangannya kemudian bersedekap dan bibirnya maju. Bu dian kemudian beranjak dan duduk disebelah kiriku lagi. Diraihnya dengan keras tangan kiriku, dipeluknya erat.
Sama? Ah, lagi-lagi bocah itu, lagi-lagi bocah itu. Bocah yang ngomong dengan seenaknya saja setelah maut menghilang. Seperti saat ini bocah itu juga mengatakan hal yang sama kepada wanita yang sama. Ingatan-ingatan yang selalu kembali ke dalam pikiranku, ingatan-ingatan yang bangkit layaknya mayat hidup yang mulai menggerogoti pikiranku.
“Bu...” ucapku pelan
“Hmmm....” jawabnya
“Bolehkan aku menginap satu malam ini saja sampai esok hari?” ucapku
“He’em...” balasnya
“terima kasih...” ucapku
Tak ada kata-kata lagi terucap dari mulut kami berdua. Hanya memandang langit yang warnanya berubah-ubah karena letusan kembang api yang masih terus terbang di langit. Walau tak terlihat, namun cahayanya masih bisa kami lihat. Langit kini tersenyum sangat lebar, menjadi saksi kebersamaanku setelah rembulan. Bintang-bintang, walau cahayanya redup karena cahaya kembang api tapi tak bisa mereka sembunyikan cahahayanya ketika melihatku bersama wanita ini. Kulirik wajah wanita ayu ini, dia tampak lelah dan ngantuk.
“Bu dian sudah ngantuk?” tanyaku
“belum” balasnya yang semakin erat memeluk tanganku
“tapi wajahnya sudah kelihatan ngantuk bu” balasku
“aku ngantuk kalau kamu ngantuk” jawabnya terlihat judes, kuselonjorkan kaki kiriku dan kutekuk kaki kananku. Kurebahkan pipi kananku di lutut kananku, kupandang wajah wanita ayu yang selalu membuang wajahnya ketika aku memandangnya.
“Bu...” ucapku pelan
“Ngomong terus!” ucapnya
“Eh... boleh tanya lagi?” ucapku, walau takut aku memberanikan diriku
“APA?” balasnya tanpa menoleh sedikitpun
“Anda itu siapa?” ucapku
“bukan urusanmu!” balasnya jutek
“Eh... maaf...” ucapku sedikit kecewa dengan jawabannya, kenapa juga aku harus menanyakan hal itu kepada wanita yang tidak akan aku pilih
“Aku ngantuk bu, boleh aku tidur di sini?” ucapku
“Eh... jangan, disini dingin, dikamar belakang saja atau dikamarku” ucapnya yang kemudian memandangku dengan rasa khawatir
“Ndak usah bu, tubuhku kotor tidur disini juga sudah cukup atau kalau diperbolehkan, aku tidur diruang tamu saja” ucapku
“Dikamar saja nanti kamu sakit!” ucapnya sedikit membentak
“ndak bu, di ruang tamu saja” ucapku yang kemudian bangkit berdiri dan diikuti oleh bu dian
“ya sudah, tapi jangan ngrokok di ruang tamu!” ucapnya
“iya... bu” balasku
Aku kemudian melangkah masuk kedalam rumah. Diraihnya kembali tangan kiriku yang tadinya sudah terlepas dari pelukannya. Masih saja dan terus memeluk tangan kiriku. Kami berjalan beriringan seperti layaknya seorang kekasih. Namun hati ini masih sangat tidak tega ketika harus hidup bersamanya.
“bu, tangan ibu dilepas dulu ya... ndak enak” ucapku
“sama siapa?” ucap bu dian
“E... ndak tahu bu” ucapku sambil berjalan ke arah ruang tamu, mendengar jawabanku kemudian melepaskan pelukan ditanganku
Aku kemudian duduk di sofa panjang ruang tamu bu dian yang berada disebelah pintu masuk rumahnya, sedangkan bu dian duduk di kursi depanku. Posisi yang sama seperti saat aku pertama kali kerumahnya.
“Beneran sudah ngantuk mas?” ucap bu dian, argh “mas” kata-kata ini selalu saja membuatku bertanya-tanya. Ketika tadi dia terkejut dan kemudian aku membuka kacamataku, dia masih menyebutku dengan sebutan arya, kenapa sekarang jadi “mas”?
“Sebenarnya belum bu, tapi tadi di luar agak dingin. Kasihan bu dian nanti kalau sakit” ucapku
“Aku sudah biasa, malah pernah aku ditinggal sendirian malam-malam sama cowok yang ndak tanggung jawab, udah buat nangis bukannya didiemin malah ditinggal gitu saja” ucapnya
DUAGH! Rasanya seperti ditampar dengan tongkat kasti
“E... e.... itukan anu bu, suasananya eeeeee itu” ucapku kebingungan
Kulihat matanya ketika memandangku tak ada senyum yang terlukis dibibirnya. Kakinya di tumpuk dengan tangan kanannya yang bertumpu pada lututnya menyangga dagunya sedang tangan kirinya di simpannya diatara lekukan perut dan pahanya. Aku tidak habis pikir kenapa juga pada saat itu aku meninggalkannya dan tidak menemaninya pulang. Tapi jika waktu itu aku terus bersamanya pastinya aku akan merasa malu, sekarang pun aku hanya mampu melihat wajahnya sebentar. Dalam hening dia terus menatapku dengan datar. Kemudian dia bangkit dan melangkah ke arah belakang. Entah apa yang dia lakukan. Kemudian bu dian kembali lagi dengan membawa teh hangat dan asbak.
“Minum mas, dan kalau mau merokok ndak papa” ucap bu dian, sembari meletakan gelas berisi teh hangat dan asbak itu. Tanpa memandangku dia kemudian berbalik lagi untuk menuju kebelakang
“Bu, beneran boleh ngrokok?” ucapku ketika bu dian baru akan melangkah
“Iya ndak papa mas tapi jendelanya dibuka sedikit biar ndak sumpek di dalam” ucap bu dian berbalik sebentar dan kemudian melanjutkan langkahnya menuju ke belakang
Aku membuka jendela ruang tamu bu dian dan ku buka sedikit. Model jendela yang kuncinya ada dibagian bawah jendela. Sedikit kusibak gorden jendela tampak sepi dan sedikit ada suara riuh keramaian tahun baru yang samar. Tahun baru bersama dengan wanita ini memang indah, mungkin. Namun lama sekali tak kulihat batang hidung wanita bak bidadari ini. setelah dua batang rokokku habis dan suasana penuh asap di ruang tamu mulai penuh dengan kabut asap. Teh hangat pun sudah mulai habis, beberapa menit berselang setelah suasana kabut asap tidak lagi berlarian di ruang tamu, bu dian datang.
“Minum lagi mas, pasti mas hauskan?” ucap bu dian yang meletakan segelas teh hangat untuk kedua kalinya. Diletakannya minuman hangat itu dengan tangan kirinya menutupi hidung dan mulutnya, menocab melarang asap rokokku masuk kedalamnya.
“terima kas...” ucapku terpotong
“Maem dulu gih, mas pasti lapar” ucap bu dian yang begitu perhatian kepadaku seakan ingin meluluhkan tembok maluku dan tahu saja dia kalau aku mulai lapar mulai lapar
Aku hanya tersenyum dan mengangguk kepadanya. Tak ada balasan senyum yang biasanya dia lempar ke aku. Segera kulahap mie kuah dengan telur serta sedikit sayuran yang ada didalamnya. Seakan-akan aku teringat cerita-cerita teman kuliahku ketika mereka main ke kos pacarnya selalu dilayani bak seorang raja. Sedikit aku melirik wajahnya yang terus memandangku dengan datar, membuat aku salah tingkah. Setelah selesai makan, aku berniat untuk membawa mangkuk kotor tersebut ke dapur.
“ndak usah mas, biar aku saja yang nyuci, mas istirahat saja” ucap bu dian yang kemudian merebut mangkuk tersebut dan membawa gelas teh hangat pertama yang sudah habis
Aku hanya sanggup memandang wanita dengan kulit putih ini. tak berani aku merokok lagi diruangan tamu, bisa kena semprot karena ku tahu lamanya bu dian tidak ke ruang tamu pasti karena asap rokokku tadi. Aku kemudian merebahkan tubuhku kursi panjang ruang tamu. Tak kupedulikan lagi situasi sekarang ini karena aku terlalu lelah malam ini.
“Capek mas? Bobo aja dulu nanti aku bangunkan” ucap bu dian yang melangkah menuju ruang tamu dengan pandangan masih datar dan dingin
“Eh... bu maaf, saya kira bu dian tadi langsung balik ke kamar untuk tidur” ucapku sambil bangkit dan duduk lagi
“Belum ngantuk. Mas bobo saja dulu, ndak papa kok” ucapnya sambil duduk dengan kaki diangkat kekursi dan ditekuk terus dipeluknya. Dagunya diletakannya diantara kedua lutut yang ditekuk itu
“ndak enak sama bu dian” ucapku
“ndak enak ya dikasih kecap apa MSG” jawabnya ketus dna tak bisa aku membalasnya
“Em.... bu...” ucapku pelan
“apa lagi?” ucap bu dian
“Eh... ndak jadi bu, maaf” ucapku semakin salah tingkah
“Kalau tanya yang jelas, jangan Cuma manggil! Dasar cowok nggak jelas” balasnya ketus
“hufffffftttthhhh....” hela nafasku
“kok tadi pulang malam bu? Habis tahun baruan sama teman-teman ya bu?” ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan
“Iya... kenapa? nggak boleh? Lagian ngapain nglarang-nglarang? Aku tadi sama anda” ucapnya, entah kenapa membuatku semakin panas tapi tak bisa aku luapkan
“he he he... ya untung saja bu dian pulang malam, kalau tidak mungkin aku sudah...” ucapku terpotong
“kalau ngomong dipikir! Ngomong yang positif jangan negatif terus!” jawabnya ketus membuat aku semakin tak mau berbicara kepadanya lagi
“Bu... saya ijin tidur dulu, dan terima kasih sudah mengijinkan saya menginap” ucapku dengan penuh kekesalan karena semua pertanyaanku dijawabnya dengan ketus dan judes
“Eh.... ya bobo saja mas, lagian dah mau pagi” ucapnya sambil meletakan pipi kanannya di antara kedua lutut kakinya, pandangannya kemudian dibuang ke kiri
Aku kemudian merebahkan tubuhku lagi. Tak kuhiarauku keberadaannya, kenapa juga aku harus berbicara baik kepadanya? Iya, memang kamu menolongku tapi bukan berarti sejudes itu kan? Tadi aja meluk-meluk tanganku, ngomong kek kalau kangen! Dasar cewek judes! Hufttth.... maaf bu, aku masih belum bisa menerima diriku yang terlalu kotor ini. Maafkan aku, dalam lelah hatiku menggerutu dan kemudian terlelap dalam tidurku. Kumiringkan tubuhku memunggunginya, Hingga benar-benar aku tak sadarkan diriku.
Pagi hari sedikit cahaya masuk kedalam rumah bu dian. Serasa malas sekali untukku bangun. Hanya menarik selimut yang menutupi tubuhku saat ini. kutarik lebih tinggi lagi hingga menutupi seluruh tubuhku kecuali kepalaku. Kupejamkan mata ini kembali dan...
“Eh... selimut? Dari mana datangnya selimut ini? semalam aku kan tidak memakai selimut?” bathinku yang kemudian membuatku beranjak bangun dari tidurku.
Dalam posisi duduk dan membelakangi bu dian, ku berbalik ke arah dimana wanita itu berada. Kulihat bu dian tertidur di kursi yang bisa diduduki satu orang itu. Kedua tanganya di satukan menjadi bantalan pipi kirinya, kakinya mengapit dan ditekuk diatas kursi tempat dia bersandar untuk tidur. Kulihat wajah ayunya begitu tenang dan tentram, berbeda dengan tadi malam ketika jawaban judes menghampiriku selalu. Ingin aku membangunkannya tapi tidak tega karena wajahnya tampak begitu lelah. Semakin aku memandangi wajah ayu nan indah itu semakin aku merasa bersalah dengan diriku sendiri.
“egh... egh... hoaaaaaammm.... erghhhh....” bu dian terbangun,
“benar-benar gila... ini cewek menguap saja cantiknya minta ampun, bener-bener perpek!” bathinku
“perkosa saja bro, mumpung dia baru bangun, ndak ada kekuatan untuk melawan” ucap bathin gelapku
“Jangan, bro, ingat jangan menambah kesalahan kamu lagi” ucap bathin terang
“Halah... sok alim kamu! Hajar saja bro!” balas bathin gelapku
“DIAM! AKU TIDAK TEGA!” ucap dedek arya dan selesailah sudah pertengkaran gelap dan terang
“ughh... mas sudah bangun? Kenapa ndak bangunin aku? uuughhh” ucap bu dian semakin membuatku terpana dengan gerak tangan yang merenggangkan persendian tulangnya
“Mas...????” ucap bu dian kedua kalinya membuatku tersadar
“Eh... eh... anu bu, takut mengganggu bu dian, bu dian kelihatan lelah sekali” ucapku smabil menundukan wajahku
“Dasar sok romantis!” ucap bu dian, gila bangun pagi saja sudah judes sekali
“Maaf...” ucapku kemudian bangkit dan membelakanginya, melipat selimut yang aku kenakan
“massss...” ucapnya pelan
“Eh... iya bu?” ucapku menjawab pertanyaan bu dian
“Oia bu terima kasih sudah memperbolehkan aku menginap semalam, sekarang saya mau langsung pamit” lanjutku masih membelakanginya, selimut yang kulipat kemudian kutaruh di atas kursi
“jangan.... “ ucapnya kemudian aku berbalik memandang, pandangan kami bertemu dan aku tersenyum kepadanya
“ndak enak kalau kelamaan nanti digrebek bu” ucapku
“eh... itu... mas belum makan, biar aku masakan dulu, atau mas mandi dulu saja bersih-bersih...” ucap bu dian
“ndak usah bu, nanti jadi merepotkan bu dian” ucapku
“ndak, aku ndak repot mas, mas tunggu sebentar aku masakan makan pagi dulu...” ucap bu dian bangkit dan beranjak ke dapur
“bu... bu dian” panggilku membuat langkah bu dian berhenti dan berbalik mellhat ke arahku
“Sudah, ndak usah bu... ini saya sudah sms pak wan untuk menjemput saya” ucapku sambil menunjukan sematponku yang sedang aku sentuh-sentuh
“eh... kan... e... masih nunggu, mas makan dulu saja nanti sakit” ucap bu dian menco memaksaku
“ndak enak bu kalau lama-lama disini, ndak enak juga sama anda” ucapku
“eh....” dia tampak sedikit bingung dan kemudian menundukan wajahnya
“dia bukan siapa-siapa hanya teman” ucap bu dian
“ya walaupun teman atau siapakan saya juga tetap ndak merasa enak kan bu? Apalagi bu dian kelihatan akrab sekali dengan Anda waktu di warung” ucapku dengan senyum, tiba-tiba bu dian melangkah lebih maju lagi dan menari tangan kananku yang telah selesai mengirimkan sms ke pak wan
“Maem dulu...” ucapnya pelan sambil menunduk
“dia bukan siapa-siapa” ucapnya kembali pelan, aku semakin tak tega untuk segera pulang
“minum hangat saja bu, dan biar saya buat sendiri” ucapku pelan menarik tanganku
“eh... ndak usah, aku buatkan saja mas” ucapnya dengan wajah berseri lalu berbalik menuju dapur, langkahnya begitu cepat
Dalam berdiriku aku memandangnya berlalu menuju dapur. Sejujurnya aku masih ingin disini, namun jika aku terus disini sama saja menyiksa perasaanku dan perasaanya. Aku kembali duduk dan menunggu kedatangannya. Lama aku menunggu, bu dian kemudian datang dengan membawa sepiring roti tawar dan secangkir teh hangat. Tak ada kata-kata dari kami berdua, setelah piring dan gelas itu diletakan aku kemudian langsung melahapnya hingga habis. Kulirik wajahnya kali ini tampak begitu kebingungan dengan sedikit senyuman di bibirnya. Setelah makan selesai, aku mengucapkan terima kasih karena telah dibuatkan sarapan. Bu dian hanya mengangguk pelan. Dalam hening kami berhadapan tanpa saling memandang hingga sebuah suara mobil datang dan aku buka sedikit gorden, pak wan datang.
“bu, pak wan sudah datang, saya pamit dulu dan terima kasih telah menolong serta merawatku” ucapku sembari berdiri
“eh.... iya sama-sama mas” ucapnya pelan dengan wajah tertunduk
“saya pamit ya bu” ucapku sambil membungkukkan badan dan berbalik. Ketika tangan ini memegang daun pintu serta memutar kunci pintu
“maukah kamu berhenti?....” ucapnya pela
Klek... klek... kunci pintu aku buka
Kleeeeeeeeeeeek... ku buka pintu rumah bu dian, pintu itu terbuka sebagian
“belum sebelum semuanya berakhir, sebelum orang-orang itu, orang-orang yang semalam mengejarku hancur aku belum bisa berhenti...” ucapku
“eh... aku tidak tahu apa yang ingin kamu selesaikan tapi aku berharap agar kamu tetap berhati-hati karena orang-orang itu kelihatan sangat jahat” ucapnya
“pasti bu, saya akan berhati-hati dan saya akan sangat berhati-hati karena mereka semua harus menyesal atas perbuatan mereka” ucapku, kulihat dia masih menunduk dan sangat terlihat dia tidak menggubris kata-kataku
“dan...” ucapnya terhenti
“Eh...” aku sedikit heran dengan wajahnya yang sama sekali tidak mau memandangku
“Apakah kamu benar-benar jujur dengan itu semua?” ucapnya membuatku terunduk
“saya jujur, tak ada kebohongan didalamnya” ucapku
“Apakah kamu bisa berhenti?” ucapnya dengan tangannya mengepal erat di samping pahanya, wajahnya tertunduk
“huffffftthhh... aku belum bisa berhenti, karena aku sudah terperosok terlalu dalam, sangat dalam di lingkaran ini. Aku dan semua yang ada dalam lingkaran kegelapan ini belum mampu untuk keluar... sampai ada orang yang benar-benar tulus untuk menarikku keluar”
“Jika aku keluar mereka semua juga pasti akan keluar” ucapku dengan mata sedikit berkaca, kepalaku menunduk. Suasana menjadi hening tanpa ada sepatah katapun
Hening....
Hembusan angin yang masuk dari pintu seakan memberi sekit kesejukan dalam kepenatan ini...
“Bu Dian” ucapku dengan wajah tersneyum ke arahnya dan mencoba memecah keheningan
“Eh...” bu dian tersadar dari diamnya
“Terima kasih banyak sudah membantu saya dan mengijinkan saya menginap ya bu,dan mohon maaf merepotkan bu dian, sekali lagi terima kasih bu,saya pamit pulang dulu” ucapku sambil membungkukan tubuhku
“Eh.. iya sama-sama” ucapnya dengan sedikit senyuman, kubalas senyuman itu dan kemudian melangkah keluar
“Mas...” ucapnya pelan namun terdengar sangat keras di hatiku, aku menoleh kembali ke arahnya
“hati-hati...” ucapnya dengan sedikit senyum di bibirnya
“pasti...” ucapku yang kemudian membungkukan badan dan berlari ke pintu gerbang garasi
Aku membuka pintu garasi dan mengok ke kanan dan kekiri. Langsung aku berlari masuk ke dalam taksi melalui pintu belakang taksi yang sudah dibuka oleh pak wan. Tanpa banyak bicara pak wan langsung menghidupkan taksinya. Ketika hampir mendekati pos satpam, aku langsung tiduran di bagian bawah jok belakang.
“Lho pak, kok ndak ada penumpangnya?” ucap pak satpam ketika memberhentikan taksi pak wan
“orangnya ndak jadi pergi mas, kalau begini kan saya yang rugi, sudah ndak mau ganti ongkos jemput lagi” ucap pak wan
“owalah... ya sudah pak, semoga setelah ini dapat pelanggan lagi” ucap pak satpam
“iya mas, terima kasih... duluan mas” ucap pak wan
“monggo pak” ucap pak satpam, taksi kemudian berjalan menjauh dari perumahan ELITE, aku kemudian bangkit dan duduk di belakang
“bagaimana tadi malam den?” ucap pak wan
“Hampir ketembak pak, tapi untung selamat... dari memata-mataiku semalam banyak sekali informasi yang aku dapatkan” ucapku
“bentar den, ketembak?” ucap pak wan
“iya pak” ucapku
“Aduh den, hati-hati to den, nanti kalau bagaiman-bagaiman pak wan kan juga bingung” ucap pak wan
“Sudah, pak wan ndak usah khawatir, nyatanya kan Cuma hampir ketembak dan lihat aku masih hidup pak he he he” ucapku selengekan
“DEN! Jangan main-main, bapak itu kalau dengar aden kenapa-kenapa, bagaimana pertanggung jawaban bapak sama kakek aden, pokoknya aden harus hati-hati, pokoknya harus berhati-hati lagi!” ucap pak wan dengan sedikit membentak. Sebenarnya apa yang dilakukan kakek wicaksono dulu hingga orang-orang seperti pak wan ini sangat menghormati kakek. Walau aku sudah sedikit mendengar dari pak wan tapi aku belum begitu tahu mengenai semuanya
“Pak, pak wan tenang saja... aku pasti akan lebih berhati-hati” ucapku pelan sembari menepuk bahunya
“Ya, bapak percaya sama aden... pokoknya jangan sampai aden tertangkap, kakek aden disana juga mengharapkan seperti apa yang bapak harapkan” ucap pak wan, walau aku tidak melihat matanya berkaca-kaca tapi dari suaranya yang parau sangat terdengar
“pasti pak” ucapku
Kemudian kami bercanda kesana kemari selama pak wan mengantarkan aku pulang. Sebelumnya aku berganti pakaian terlebih dahulu, dan mampir ke tempat pembuangan terakhir membuang pakaian yang aku kenakan semalam. Setelahnya aku pulang dengan jantung penuh dengan detak yang sangat cepat, apakah mungkin ayah sudah datang atau belum? Namun sesampainya dirumah, rumah masih dalam keadaan yang sangat sepi. Aku pamit ke pak wan dan menyampaikan rasa terima kasihku, kulihat mobil taksi itu menghilang dalam pandanganku. Kini aku sendiri lagi dirumah ini, aku memasuki rumah dan langsung menuju ke dalam kamarku. Arghhh... aku terlalu lelah untuk semua ini.
Dian....
Dalam lelahku, di waktu menjelang siang ini aku sendiri di dalam kamarku. Tak ada seorang pun dirumah ini yang menemaniku. Ingatanku kembali ke wanita itu, wanita yang selama ini telah hilang dari dalam hidupku. Wanita yang selama ini aku kagumi dan terpisah oleh jarak. Dan setelahnya aku bertemu karena waktu, namun kondisiku sekarang ini seudah tidak sama lagi dengan yang dulu. Tidak sama lagi dengan yang dia lihat dulu.
Aku duduk dihadapan komputer kamarku, rasa kantuk mulai merangkulku kembali. Namun rasa penasaranku masih menggelayut dipikiranku. Ku buka email om nico, dan tak kudapati percakapan. Rasa penasaran masih berada dalam otakku dan segera aku membuka sematpon KS, oh sial bahkan BBM dalam grupnya saja sepi walaupun sudah aku koneksikan dengan wifi dari sematponku. Aku menunggu sejenak, mungkin saja pesan-pesan percakapan mereka belum. Sembari menunggu aku mengambil kalung dengan cincin monel itu.
“Kenapa? apakah kamu jawabannya?” ucapku kepada kalung itu, segera aku simpan kembali kalung itu
Ingatanku kembali ketika malam tadi bertemu dengan bu dian. Entah kenapa selalu saja dia datang dalam kabut tebal diriku. Seakan dia tahu bagaimana aku membutuhkannya, seakan dia adalah angin yang mennghembuskan kabut-kabut itu. Wajah nan ayu dan cantik tampak selalu terpancar dari wajahnya, apalagi ketika dia bangun tadi pagi. Argh, sial kenapa ada wanita secantik itu? Aku mengira cantiknya hanya ketika diluar saja tapi tadi pagi, benar-benar gila melihat dia bangun saja sudah seperti berada di khayangan. Pikiranku terus berputar-putar di alun-alun otakku, dan ditengah-tengahnya selalu ada dia, bu dian.
Kuraih kembali sematponku, dan kuamati kotak berlayar yang canggih ini. Lama aku menunggu tak ada pesan masuk dalam grup bbm. Mungkin saja mereka sudah tidak berkomunikasi lagi. Kuletakan kembali sematpon KS dalam keadaan mati di tempat persembunyiannya. Apakah aku harus bertemu dengan kakekku untuk membicarakan semua ini? tapi sebelumnya aku ingin bertemu dengan mbak erlina, hanya itu pikiranku saat ini.
Lama aku menunggu dan...
Ku sentuh update status BBM di sematponku...
Status bu dian
“I try”
Aku hanya tersenyum dan menaikan bahuku tak mengerti apa maksud dari statusnya, tapi yang jelas itu bukan untuk aku. Segera kuletakan kembali sematponku dan bergegas untuk membersihkan tubuhku, berganti pakaian dan berangkat ke kos mbak erlina. Dengan si montok REVIA aku kembali mengarungi jalan daerahku. Laju motor yang tidak terlalu kencang namun bisa menyalip beberapa pengendara sepeda onthel. Hingga akhirnya aku sampai di kos mbak erlina, tampak sepi. Segera aku parkir motorku dan ku ambil kunci kosnya yang berada diatas pintu kosnya, tepatnya di ventilasi. Kulihat didala kamar kos yang luas ini, ada beberapa makanan ringan disana, segera aku lahap tanpa meminta ijin ke mbak erlina. Lama aku menunggu hingga akhirnya aku tertidur.
Pukul 17:00, aku terbangun dari tidurku dan tak kudapati mbak erlina berada dikamar kos. Mungkin pekerjaannya menumpuk sehingga pulang terlambat. Aku kekamar mandi sebentar, membuang air kecil, ufth lega rasanya. Ketika aku keluar kamar mandi kudapati mbak erlina sudah berada dibalik pintu kamarnya yang tertutup. Wajahnya tersenyum lebar memandangku, dijatuhkannya tas kecil yang menggantung dibahunya. Dibukanya lebar kedua tangannya seakan memanggilku untuk memeluknya.
“weeeeeek....” ledekku sambil menjulurkan lidah
“iiiih....” ucap mbak erlina kesal dan langsung saja melangkah cepat kearahku
“Eh... mbak... mbak....” ucapku terkejut
Mbak erlina langsung saja berlutut di depanku, di bukanya dengan paksa celanaku. Tanpa menunggu lama, dedek arya yang mencium aroma seorang wanita langsung tegang dihadapan wajah ayu ini. tubuhnya masih berbaluk pakaian serba putih yang sedikit ketat dengan kerudung lebar yang masih menutupi kepalanya hingga lengan itu. Aku mendapat perlakuan seperti itu hanya diam saja, mematung karena dedek arya yang sekarang berkuasa atas diriku. Mulutnya terbuka, tanpa bantuan tangnnya dia mencoba memasukan dedek arya dimulutnya. Perlahan dedek arya masuk kedalam mulut mbak erlina, kedua tangan mbak erlina memeluk pinggulku. Walau tidak bisa masuk secara keseluruhan, tapi sungguh nikmat. Kepalanya maju mundur memanjakan dedek arya. Dengan mulut yang maju dan tersumpal dedek arya, matanya melirik keatasku dan menyipit menandakan dia tersenyum kepadaku.
Dalam posisi berdiri aku hanya menarik kaosku ke atas dengan tangan kiriku sedangkan tangan kananku memegang kepalanya dengan lembut mengikuti gerakan kepalanya. Kepalaku menengadah ke atas mencoba menikmati sensasi kuluman bibir indah ini. kutundukan kepalaku dan kupandang kepala berbalut kerudung ini, lidahnya sedang menjilat-jilat dedek arya yang tegang mengacung. Kadang kepalanya miring tepat berada dibawah batang dedek arya untuk mengulum dan menjilati buah zakar.
“ughh... mbak... mmmm...” desahku
“suka ndak adikku sayang?” ucapnya yang kemudian mengulumi buah zakar itu lagi dan aku hanya mengangguk pelan
“mbak gerah, bukain baju mbak” ucap mbak erlina dengan masih mengulumi buah zakar dedek arya
Mbak erlina kemudian beralih mengulum batang dedek arya dari depan, tangannya memeluk pinggulku. Perlahan aku menjatuhkan lututku, mulut mbak erlina tidak mau lepas dari batang dedek arya. perlahan pula mbak erlina mundur menyesuaikan batang dedek arya yang posisinya mulai merendah. Kedua tangannya kini menopang tubuh bagian depannya, posisinya seperti orang merangkak. Dengan sedikit membungkuk, aku mulai membuka kancing baju mbak erlina dengan bantuannya aku bisa membuka baju mbak erlina dengan mudah. Tampak tanktop ketat menempel di tubuhnya, segera ku membuka resleting rok yang dikenakannya. Dan... ugh pemandangan yang sangat indah sekali, ketika rok itu terbuka pemandangan berubah menjadi celana dalam yang sangat tipis dan menerawang. Kuelus-elus pantat mbak erlina dengan perlahan.
“adikku sayang, kamu pengen apa mbak mau” ucapnya dengan kepala berbalut kerudung dan lidah menjilati ujung dedek arya
“diemut aja mbak, ufthhhhhh...” ucapku terpotong
“pas mbak pakai kerudung ya? Nakal deh, nanti pasti minta pake yang lain” ucap mbak erlina yang malah membuat fantasiku berkembang
“pengen apa bilang ya adikku sayang, mbak bakal bikin kamu puas” lanjutnya
“pengen erghhh....” ucapku
“apa? Kok ndak jelas?” ucapnya
“mejuhin mbak” ucapku sedikit keras
“Cuma itu?” jawab mbak erlina, dengan posisi mbak erlina menengadah ke atas melihatku sambil tersenyum sedangkan dedek arya mengacung-acung didepan mulutnya membuatku semakin terbak
“mbak emutin dulu mbak, cepetaaaan” ucaku sedikit manja
“begini ya?” ucapnya kemudian mengulum dedek arya
“oh iya mbak, erghhhh.... bibir mbakhhh nikmhhhat sekali ough... yah... mmmmmhhh...” ucapku sambil memegang kepala mbak erlina
Selang beberapa menit, aku mengangkat kepalanya. Kucium bibir mbak erlina, tanganku kemudian meremas susu indah yang lumayan besar itu. Ciuman kami semakin panas.
“sayang, tubuh mbak adalah hadiahmu, kamu boleh melakukan samaumu, mbak tidak arghhh akan menolak, adikku sekarang adalah rajaku ouwhh....” desahnya
“awmmmm.... mmmhhh....” kusumpal kembali mulut mbak erlina yang tampak semakin liar ini
Gelombang panas mengelilingi tubuh kami, seakan tak mau lepas. Rasa takut di malam tahun baru membuatku ketakutan seakan menuntut pembalasan. Tangan kananku meraba perut mbak erlina, dengan mulut masih berciuman. Tangan kananku menelusup ke balik celana dalam seksi milik mbak erlina. Jariku menemukan klitoris mbak erlina dan mulai memainkannya. Desahan yang terhambat keluar dari bibir mbak erlina. Tangan kiriku perlahan mendorong tubuh mbak erlina, seakan dia tahu apa yang ingin aku lakukan. Dengan pelan mbak erlina melepaskan ciuman dan mundur hingga terduduk. Kedua pahanya tertutup sementara ketika aku melepas celana dalamnya setelahnya kedua paha putihnya terbuka memperlihatkan sebuah lubang tertutup yang dihiasi sedikit rambut. Kuturunkan kepalaku, dielusnya rambutku dengan tangan kanan mbak erlina sedangkan tangan kirinya menumpu tubuhnya.
“ouwh... jilat terus... emmmhhh... adik yang nakal ssssshhhh... masukin jarinya sayang, mainkan sehhhhsukaaah ouwh... muhhh” racaunya ketika lidahku bermain-main
“iya sayang... erghhh dihhhsedothhh yah begituhhh mbakhhh sudahhhh kangennhhh ouwh... yah terushhh sshhhhhh emmmhhhh... kocok lebih keras lagihhh” racaunya ketika bibirku menyedot-nyedot klitorisnya dengan kuat, dan kocokanku semakin liar ketika mbak erlina memintanya
Tangan kirinya sudah tidak mampu lagi menahan tubuhnya, tangan kanannya yang semula membantu tangan kirinya untuk menopang tubuhnya pun sudah tak mampu lagi. Tubuhnya ambruk kebelakang, tubuhnya menggelinjang bergerak tak karuan setiap kali permaina lidah dan jariku di vaginanya semakin liar.
“Arghhh... adikkuhhh owhhh... mbakhhh mbakkkhhhh arghhh lebih cepat lagi sayangku... emmmmhhh ah ah ah ah... terushhh... sedikit lagi....” racaunya
Selang beberapa menit dari racauannya, tubuhnya terangkat keatas. Cairan hangat keluar dari dalam vaginanya. Tubuhnya yang masih melengking sekian menit kemudian kembali lagi ke lantai, nafasnya tersengal-sengal dan beberapa kali tubuhnya mengejang. Tanpa memberikan kesempatan kepada mbakku yang masih berkerudung ini, aku membalik tubunya. Dengan sedikit lemas mbak erlina mengikuti kemauanku dan berbalik, tubuhnya kemudian berposisi menungging. Ku pegang kedua pantat yang besar dan bahenol ini serta meremasnya dengan sangat kuat. Remasan seperti menggenggam dan menarik kedua pantatnya kesamping sehingga anus dan vaginanya bisa aku lihat. Tak tertarik aku dengan anus, vaginanya lah yang diinginkan dedek arya sekaran. Tanpa ku pegang insting dedekrya seakan tahu ada tempat indah didepannya, tempat dimana dia bisa berenang didalamnya. Kudorong perlahan dan masuk secara pelaaaaaaan.
“ouwh... mbak sempit sekali... aku suka sekalihhhh erghhh....” desahku sambil memandang batang dedek arya masuk kedalam vagina mbak erlina
“Erghh... pelan adekku sayang eghhh... pelan sudah lama ndak kamu pakai erghhh... jangan digoyang biarkan memek mbak temu kangen dulu, mbak benar-benar kangen sama kontol kamu sayang” racaunya ketika semua dedek arya sudah masuk ke dalam vagina sempit mbak erlina
“kangen?” godaku
“erghhh... ya jelas dong sayang, kan kontol kamu yang ngrobek punya mbak, jangan digoyang dulu... benar-benar keenakan memek mbak kalau dimasuki kontol kamu” ucap mbak erlina
“terus gini saja mbak? Mending adik kamu yang nakal ini main sabun di kamar mandi saja ah, arya cabut ya” godaku
“iiiiih... nyebelin, tunggu dulu... sakit tau dimasuki sama kontol kamu yang gede ini... biarin melar dulu punya mbak” ucap mbak erlina
“iya mbak ku sayang” ucapku sambil membungkukan badan, merebahkan tubuhku dipunggungnya, langsung saja kedua tanganku menelusup masuk dibalik tanktopnya, meremas susu mbak erlina dan memainkan putingnya
“adeeeekkkk ughhh... kamu benar-benar nakal, kamu berathhhhh... ahhhh.... memek mbak kamu masuki kontol sekarang mbak disuruh nahan tubuh kamu erghhh...” ucap mbak erlina
“sssstttt... katanya mau nurut sama adek, kalau ndak nurut diperkosa sama adek lho, kaya gini” bisikku pelan sambil menarik dan menghentakkan keras batang dedek arya di vaginanya
“awhhh... nakal kamu sayang... iyahhh mbak nurut sama adek, digoyang pelan” ucapnya
Aku mulai menggoyang pelan pinggulku, batang dedek arya mulai menyusuri liang vagina mbak elrina. Terasa sangat nikmat di dalam sana, lama aku tidak merasakannya semakin kencang saja vagina mbak erlina. Goyangan pinggulku semakin aku percepat seiring dengan darah yang mulai mendidih karena sensasi wanita berkerudung ini. Kepalanya mendongak keatas, desahan dan jeritan kecil terdengar dari bibirnya.
“Ah ah ah ah... terus... buat memek mbak keenakan adekku ough... benar-benar kontol kamu nikmathh sek rghhhhh sekali.... terus sayang” racaunya
“memek mbak enak sempit sekali, ugh... aku pengen pejuhin dalamnya mbak” racauku dengan podidi sekarang aku memegang pinggulnya
“iya pejuhin mbak, lebih keras lagi buat kontol kamu puas sayanghhh.... arghhh” racaunya
Dengan posisi sedikit membungkuk aku tarik kedua tangannya. Seperti halnya sedang mengendarai kuda, aku hujam keras-keras liang vagina mbak erlina. Beberapa menit berjalan, aku sedikit kelelahan dengan posisi ini. kuminta tubuhnya berbaring miring dan kuangkat kaki kenannya kemudian kuletakan di bahu kiriku. Kumasukan lagi batang dedek arya ke dalam vagina dan kutarik ke atas tank-top mbak erlina sehingga terlihatlah dua buah bukit ranum, sekal dan kencang. Aku mulai menggoyang wanita berkerudung ini semakin buas.
“ugh... kontolku keenakan mbak, ya enak sekali arghhh... mantab sekali mbak” racauku
“terus sayang mbak sudah lama ndak kamu kasih, ah ah ah ah enaaaak ya terus buat memek mbak lecet teruss terus lebih keras lagi... arghh kontol kamu memang benar-benar amazing.. ough” racaunya dengan tangan kanannya memegang tangan kirikku sedang tangan kirinya berada diatas kepalanya
“akan aku buat mbak keenakan dengan kontol adik mbak ini” racauku membalas mbak erlina yang kini matanya terpejam dengan bibir bawahnya digigit
“iya sayang mmmmhhh... errrrghhhh... terus sayang teruuusss.... mmmhhhhh... ah ah ah” balasnya menikmati setiap sodokan
“memek mbak kok menyempit ugh enak mbak enak banget” racauku
“enak kan erghhh... enak dijepit memek mbak kanhhhh ahhhhh ahhhh ouwh.... terus sayanghhh arghhhh...” balasnya meracau
Kini aku telentangkan tubuh wanita berkerudung ini, kubuka lebar pahanya. Inilah saatnya penuntasan, kuletakan tanganku disamping pinggulnya. Ku tenggelamkan kembali dedek arya ke dalam memek wanita berkerudung ini.
“Argh... lebih dalam lagih emmmhhh... lebih keras” racaunya dengan kedua tangan berada di atas kepalanya menambah keindahan busungan payudaranya.
“lebih keras lagi lebih cepaaaaaaatttthhhhh arghhhhh... enaakkkkh bangethhhh oh owh owh ohhhhh” racaunya semakin menggila
“mbak, aku mau keluar... arghhh....” racauku diiringi goyangan pinggul yang semakin keras
“mbak jugggg... ah.... terus lebih keras lagi mbak hampir sampai” racaunya
“Arghhhhhhhh.........” teriaknya sedikit tertahan dengab tubuh melengking dan
Croot croot croot croot croot croot croot croot croot croot
Aku terkulai lemas di atas tubuh mbak erlina, tubuh mbak erlina masih sedikit mengejang. Kurasakan empuk payudaranya di dadaku. Nafasnya tersengal-sengal, ku usap lembut kerudungnya dan kucium kening mbak erlina. Dengan mata yang terpejam, bibirnya masih saja bisa memperlihatkan senyuman kepadaku. Kupeluk tubuh wanita yang memberiku ketenangan dihari ini, kucium bibirnya dan dibalasnya hingga lelah menghilang dari tubuh kami. hingga akhirnya aku tinggalkan mbak erlina yang sedang beristirahat karena mungkin lelah, aku beranjak dan bersih-bersih. Setelah bersih-bersih aku keluar dari kamar mandi, ketika itu mbak erlina hanya mengenakan tank-topnya saja tanpa kerudung. Kami berciuman sebentar dan setelahnya mbak erlina masuk ke kamar mandi.
Aku menunggu diluar, dekat dengan jendela kamar kosnya. Dengan sebatang dunhill menyala di tangan kananku sedang tangan kiriku memegang sekaleng minuman bertuliskan W&A. Aku hanya mengenakan kaos oblong dan celana jeans yang aku kenakan tadi. Lama aku menunggu akhirnya mbak erlina keluar dari kamar mandi.
“ngrokok teruuuuuuuuuuuus! Udah dirokok masih saja ngrokok” ucap mbak erlina judes
“iya deh tak matikan tapi nati kalau sudah tinggal filternya saja he he he” ucapku
“sama aja kaleee” ucap mbak erlina
“mbak, kok tadi tiba-tiba nubruk saja? Kengen berat sama adiknya ya?” ucapku memandang mbak erlina yang mengenakan tank top putih serta celana pendek sepaha
“iya dong, adik sich ndak pernah jenguk mbaknya hi hi hi” ucap mbak erlina yang berjalan ke arah meja riasnya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk
“mbak tahu sendiri kan?” ucapku santai
“iya... iya...” ucap mbak erlina
“obat apaan itu mbak?” ucapku
“obat biar kamu ndak jadi bapak adikku sayang muach”ucap mbak erlina
“Pil KB?” ucapku
“Lha boleh ndak? Atau kamu mau jadi bapak?” ucap mbak erlina
“yah jangan dong mbak” ucapku memelas
“makanya... glek glek glek” ucap mbak erlina yang langsung menelan pil tersebut
“tanggal merah kok berangkat mbak?” ucapku
“namanya juga rumah sakit, ndak ada liburnya kecuali kalau ada yang mau gantian shift” ucap mbak erlina yang berdiri dan berjalan ke arahku, da kemudian duduk di bawahku
“ndak enak ya kerja dirumah sakit, masa libur-libur berangkat?” ucapku menggodanya
“enak ndak enak ya enak, kan ada kamu yang ngenakin mbak hi hi hi” goda mbak erlina, yang tak kuhiraukan karena pandanganku menjadi kosong
“euy jangan melamum, mikirin apa?” ucap mbak erlina menepuk pahaku
“eh itu mbak...” ucapku kemudian menceritakan mengenai di tukang, aspal dan juga pertemuan di malam tahun baru itu. Semua aku ceritakan secara detail hingga pertemuanku dengan bu dian
“asyik tuh ketemu permaisurinya hi hi hi” ucapnya
“mbaaaaaaaaaak” ucapku sambil memerosotkan tubuhku dan sekarang duduk bersebelahan dengan mbak erlina
“hm... mbak komen masalah ceweknya nanti ya, tapi sebenarnya apa yang ingin kamu ketahui?” ucap mbak erlina
“tentang semuanya...” ucapku
“hmm...” gumamnya kemudian menyandarkan kepalanya di bahu mereka
“seperti yang kamu ketahui, tapi yang jelas semua yang aku ketahui tentang mereka sudah kamu ketahui. Komplotan mereka, korupsi uang negara, narkoba, dan pesta seks, bahkan aku tidak menyangka bahwa dua orang dari mereka akan menjadikan anak mereka sendiri sebagai pelayan mereka”
“hanya rekaman itu yang aku punya, dan ayahku hanya bercerita mengenai mereka tidak detail. Seperti yang sudah aku ceritakan kepadamu. Atau kamu ingin tahu si buku?” ucap mbak erlina membuatku sedikit terkejut
“eh... darimana mbak tahu mengenai si buku?” ucapku terkejut
“sudah... ndak papa ar, mbak sudah tahu mengenai komplotan mereka. mereka berjumlah lima orang, tapi salah satu dari mereka akan disingkirkan” ucap mbak erlina santai
“tapi darimana mbak tahu mengenai si buku?” ucapku memaksa
“dari percakapannya dengan anaknya” ucapnya datar
“eh... jadi mbak tahu kalau anak si buku adalah...” ucapku terpotong
“mbak ara, ara medita kan?” ucap mbak erlina datar
Aku hanya mampu terdiam, tak dapat berkata-kata lagi.
“selamatkan dia...” ucapnya
“eh...”ucapku
“mbak tahu ayahnya adalah komplotan mereka, tapi tidak seburuk mereka berempat. Mbak berterima kasih kalau salah satu dari mereka sudah mati, tinggal tiga lagi. Tapi mbak sarankan lebih baik kita pergi dari daerah ini, daripada kamu mati konyol. Semalam kamu hampir tertembak bagaimana kalau besok?” ucap mbak erlina
“tetap hidup...”
“apa mbak menaruh dendam kepada mbak ara?” ucapku
“tidak... dia juga baik sama mbak, dia yang memberikan pekerjaan kepada mbak. Lagipula si buku bukan penjahat sepenuhnya seperti mereka dan...” ucapnya terpotong
“sebenarnya aku tidak ingin menolongnya mbak...” ucapku
“eh... kenapa?” ucapnya terkejut
“karena si buku adalah orang yang hampir memperkosa ibuku waktu aku SMA dulu, tapi entah mengapa aku mau menolongnya” ucapku
“ehem...” mbak erlina tersenyum kepadaku
“itulah namanya ksatria sayangku, sekalipun dulu pernah tersakiti tapi tetap mau memaafkan” ucapnya
“eh... mbak bisa saja, aku arya buka ksatria” balasku
“adikku tambah ganteng deh kalau lagi serius gini hi hi hi” ucapnya sambil mentowel pipiku
“apaan sich mbak? Uh...” ucapku judes
“marah ni marah hi hi hi” ucapnya
“Dian bagaimana?” lanjutnya
“ya ndak bagaimana-bagaimana? Mbak cemburu kan?” ucapku
“ngapain coba cemburu, kan kamu sudah jadi adik mbak” balasnya
“kalau seandainya aku jadi sama cewek lain?” ucapku
“Ndak papa sayangku, mbak sudah punya alan, dan sekalipun dia pergi mbak juga tidak akan mengejar kamu. kamu sebagai adik mbak sudah membuat mbak bahagia. Tapi...” ucap mbak erlina
“tapi apa mbak?” ucapku
“tapi sebelum ini jadi punya dian, mbak mau mainan ini dulu” ucapnya sambil memaksa membuka celanan jeansku
“mbak... mbak eh ufthhhhhhhhhhhhhh...” akhirnya aku kalah juga, dedek arya langsung dikulumnya dengan ganas, kakiku berselonjor ke depan dan tangan kananku mengelus-elus rambutnya
“mbak pengen lagi?” ucapku tapi dijawabnya dengan menggelengkan kepala, bibirnya masih asyik mempermainkan dedek arya
Dengan menahan nikmat, aku menyulut kembali batang dunhill. Sambil tangan kananku mengelus-elus kepala mbak erlina, aku merokok dan kubuang keluar jendela asapnya. Layaknya seorang raja yang di layani oleh selirnya. Kepala mbak erlina seakan-akan memompa dan memberikan servis terbaik dari mulutnya. kubuang sebatang dunhill yang telah berubah menjadi asap, tanganku kemudian berubah menjadi nakal dan mulai menelusup kedalam tank-top mbak erlina. Kumainkan puting susunya, hingga akhirnya aku meremasnya dengan sangat kuat
“mbak, aku mau keluar...” ucapku dan dibalasnya dengan pompa bibirnya yang lebih menggila lagi
Croot croot croot croot croot croot croot croot croot croot
Tumpah ruah, semua peju di mulut mbak erlina. Tubuhku sedikit menjadi lemas, tanganku kutarik lagi dan mengelus-elus kepala mbak. Seakan-akan terasa sesuatu telah lepas dari tubuhku, keluar dengan penuh kenikmatan. Dengan telaten mbak erlina membersihkan semua sperma yang keluar dari dedek arya. sebagian telah ditelannya sedangkan yang bercecer di mulutnya dan dedek arya dibersihkannya.
“Slurrrp.... mmm... pokoknya kalau kamu belum punya cewek, mbak harus dikasih jatah terus lho..” ucap mbak erlina sambil mengulum jarinya dan duduk disampingku
“segitunya sih mbak?” ucapku
“ya, ini kan bentuk terima kasih mbak sekaligus pengabdian mbak kepada adikku yang jomblo dan selalu galau hi hi hi” godanya
Kami terlibat obrolan-obrolan ringan, kupakai kembali celanaku dan baru aku ketahui kos mbak erlina sedang sepi dikarenakan semua penghuni kos pulang kampung pada tahun baru ini. lama kami mengobrol hingga malam menjelang, mbak erlina kemudian memakai gamis terusan dan keluar dari kamarnya untuk menyediakan makan malam bersama. Kulihat kerudung dan gamisnya tampak membuat dia begitu seksi, membuat aku semakin terbakar. Gamisnya jika aku lihat tampak sekali memperlihatkan lekuk tubuhnya, benar-benar sangat ketat gamis yang dikenakannya dan juga memperlihatkan tonjolan puting mbak erlina yang tidak tertutup oleh kerudung. Kulihat di dapur mbak erlina sedang meracik bumbu untuk dimasak, kudekati perlahan dan kupeluk dari belakang.
“Aku pengen ngentot kamu lagi mbak...” ucapku pelan
“Hmmmm... iiih ngomongnya jorok adikku ini, dasar! Mbak tuh mau masak tahu!” ucap mbak erlina, tanpa persetujuannya aku singkap gamis mbak erlina dan kulorotkan CD-nya
“slurp... slurpp... ck ck ck ck ck...” suara jilatanku dan kocokan jariku sudah meramaikan suasana sepi ini
“Erghh... adeeek nakal banget, itu memek mbak diapain ughh... mbak mau masak... ughhhh... terus lebih keras lagi... masukin saja kontol kamu yang besar itu erghhh....” ucap mbak erlina yang sudah mulai terbakar, aku kemudian berdiri dan kupelorotkan celanaku, dan...
“Ergh... terus... buat mbakmu keluar pejuhi mbak untuk ketiga kalinya ugh.... mmmhh... terus tersuh lebih keras lagih sayanghhhh adikku ngentot memek mbaknya... ughh... entot memek mbakmu terushh...” racaunya semakin liar, kupeluk tubuhnya dan kugoyang lebih keras lagi dan lagi. Lama sekali aku menggoyang dengan kedua tangan mbak erlina yang semula memegang alat dapur dilepas semua.
“mbak, ugh benar-benar nikmat....” ucapku
“nikmathhh... ngentoti cewek berkerudung ya dek ughh...” racaunya
“iya mbak... “ ucapku semakin keras dan kuhentakan lebih keras lagi
“owh dek, lebih keras emhhh... susu mbak jangan kamu anggurin sayang arghhh...” racaunya yang kemudian tanganku meremas payudara mbak erlina
“mbak seksi...” ucapku
“ergh ergh ergh... he’em... mbak sengaja pakai gamis kekecilan biar kamu horny sayang, biar kamu tubruk mbak lagi, biar kamu entoti memek mbak lagi terus... lebih keras, mbak ingin lebih... lebih lagi ooooohhh...” racaunya
“mbak kelu.... egh egh eg hegh ar...” ucapnya dengan tubuh sedikit mengejang
Aku rasakan kembali cairan hangat dari vagina mbak erlina, kubalikan tubuhnya dan ku sandarkan tubuhnya di meja dapur. Kuarahkan kembali dedek arya ke liang vagina mbak erlina.
“agh... kamu benar-benar egh... kocok kontol kamu di memek mbakmu, ini oghh... kontol kamu merajam memek mbak aish erghh... terushhh...” ucap mbak erlina, dimana vaginanya aku tusuk-tusuk dengan dedek arya
“mbak sangat seksi, aku suka mbak kalau pakai gamis seksi ini argh enak sekali memek kamu mbak” ucapku sambil terus menggoyang pinggulku
“Egh egh egh egh... terus pejuhin mbak ergh... mbak sudah tidak bisa mengontrol tubuh mbak, tubuh mbak butuh kontol kamu owh... yah terus mbak hampir sampai lagi” ucapnya yang membuatku semakin keras menggoyang pinggulku. Lama berselang...
“pejuhku mau keluar mbak” teriakku tertahan
“keluarkan mbak juga hampir sampai, pejuhin mbak sayang” balasnya
Crooot crooot croot crooot croot crooot croot crooot
Aku keluar dan begitu juga mbak erlina, tubuhnya mengejang bersama dengan tubuhku yang mengejang beberapa kali. kupeluk tubuhnya dan kucium bibirnya dengan sedikit elusan di kepalanya yang tertutup kerudung. Akhirnya setelah pertempuran sangat lama dengan posisi kesayanganku ini, aku bisa memuaskan seorang wanita berkerudung. Sensasi yang luar biasa bagiku. Aliran spermaku bercampur dengan aliran cairan hangat milik mbak erlina
“Ugh... kamu paling bisa bikin mbak keluar... sudah adikku, nanti lagi... mbak masak dulu ya” ucapnya
“he’em yang enak ya mbak... muach” ucapku sambil mencium kepala bagian belakangnya
“iya, tuh lihat paha sama gamis mbak jadi basah tuh, dasar nakal” ucap mbak erlina
“kapan-kapan tak basahi semuanya deh he he he” ucapku
“he’em... boleh adikku hi hi hi” ucapnya
Aku sudahi permainan ini dan bersih-bersih di kamar mandi kos mbak erlina. Selang beberapa saat kemudian kami makan bersama, tampak mesra memang walau kami buka sepasang kekasih. Lama kami bersama hingga akhirnya aku harus pulang, bagaimana tidak sebenarnya aku masih ingin disini namun karena mbak erlina mendapatkan sms kalau alan sedang menuju ke kos mbak erlina. Dan sekarang posisi masih di bandara ibu kota negara, hanya butuh kira-kira 60 menit untuk sampai di daerahku ini. mbak erlina kemudian membersihkan kamar sekaligus dapur, memasukan semua pakaian seksnya kedalam mesin cuci.
“mbak aku pulang dulu” ucapku sambil memeluknya dan mencium bibirnya
“mmmhh... sudaaaaaaah... kapan-kapan lagi ya, nanti mbak bakal pakai pakaian kesukaanmu itu hi hi hi mucah...” ucapnya sambil mengecup bibirku
Akhirnya aku pulang kerumah, rumah yang sepi tanpa ada penghuni dalam rumah. Segera aku ke kamar dan berbaring di tempat tidurku, ku raih telepon pintarku ini dan kutelepon ibu. (yang bercetak tebal adalah diah ayu pitaloka)
“Ada apa sayang”
“lagi ngapain bu?”
“ini lagi kumpul bareng tante kamu.... jomblooooooooooooo...” (terdengar teriakan tante ratna)
“ih apaan sih itu tante! Bilangin ke tante bu, dasar pemain sinetron abal-abal he he he”
“eh apa kamu bilang? Aku hajar kamu kalau kesini” (tiba-tiba suara berubah menjadi suara tante)
“Sudah-sudah... bentar sayang”
“iya bu”
“ada apa?” (suara tenang hening tidak ramai seperti sebelumnya)
“tanya kabar ibu saja”
“kamu sendiri bagaimana? Apa yang terjadi?”
“begini bu...” (aku kemudian menceritakan semua percakapan ayah dan kejadian yang menimpaku)
“benarkah itu? Terus ibu dan yang lainnya harus bagaimana sayang?”
“aku juga masih bingung...” (kemudian aku teringat liburan awal tahu)
“Bagaimana kalau pada bulan kedua ibu dan keluarga besar liburan saja, tapi di awal ibu mengajak romo dulu biar tidak mencurigakan”
“iya benar juga tapi...”
“tapi kenapa bu?”
“ibu kangen sama anak ibu, kan rencananya masih lama, ibu mau ketemu sama anak ibu dulu ya, kayaknya ada banyak cerita”
“iiih ibu, manja deh, iya ibu pulang dulu saja ndak papa”
“arya juga kangen sama ibu”
“iya besok ibu pulang sayang, kamu jaga rumah ya”
“iya bu” tuuuuuut
Akhirnya telepon terakhir dari ibu membuatku terlelap dalam lelahnya malam. Tak ada mimpi indah dimalam ini kecuali lelah dalam lelapku. Aku masih ingin tidur dan bermimpi indah tentang seorang wanita yang telah mencuri organ dalam tubuhku, entah mau dibawa kemana tapi yang jelas aku menginginkan dia untuk terus membawanya. Dian... dian... aku masih malu mengatakannya. Tiba-tiba saja timbul rasa bersalahku kepada dian entah kenapa wanita itu seakan-akan memiliki penawar untuk kegilaanku? Diaaaaan... dian... hufth.... zzzzz... zzzz...
DOOOOR!
TUAAANG!
Ya aku berlari dengan posisi merunduk, terdengar suara tembakan dari arah belakangku. Tepat ketika suara itu terdear, aku tersandung dan hampir terjatuh untungnya saja kedua tanganku bisa berhasil menahan tubuhku dan kembali berlari. Untunglah, dan untunglah tembakan mereka meleset, hanya mengenai angin yang berada disekitarku .
“Berhenti!” ucap seorang lagi. Aku masih berlari dan melompati pagar taman setinggi kurang dari 1 meter, mungkin 0,75 meter. Aku melompatinya dengan degup jantung yang berdetak dengan sangat kencang dan hingga aku melompatinya kuteruskan 1000 langkahku. Sekarang posisiku berada dijalanan perumahan elite, jalan dimana aku datang tadi. aku berlari berlawanan arah dengan arah, entah kemana tujuanku saat ini.
“Berhenti atau aku tembak!” ucap lelaki satu
“Cepat kejar dia!” teriak ayahku dari kejauhan dan aku masih bisa mengenali suara ayah
“Kejar dia bodoh! Tembak!” teriak aspal
“cepat!” teriak om nico yang mulai samar aku dengarkan karena posisiku menjauh
“Sial bagaimana ini? kalau mereka menembakku lagi bisa jad arghhhh.... sial! Eh.... zig-zag!” bathinku mengingatkan aku agar berlari zig zag, seperti dalam film-film action dimana berlari zig-zag dapat mengecoh penembak.
Aku kemudian berlari zig-zag menjauh dari mereka.
DOR... DOR...
“BERHENTI BAJINGAN!” teriak lelaki satu
“BERHENTI!” teriak lelaki dua yang bersautan dengan lelaki satu
Dua tembakan melewatiku tanpa mengenaiku, menyapa angin disamping, lariku zig-zag mengindari para penembak amatiran ini. Aku terus berlari zig-zag dan terus berlari tanpa mempedulikan mereka yang ada dibelakangku. Tanpa mempedulikan keberadaan mereka.
“cepat kalian kejar bajingan itu, jangan menembak lagi bisa ketahuan warga” teriak ayah yang samar-samar aku dengar dengan jarakku yang semakin jauh.
Bagus, aku suka sekali kebodohan ayah. Mana ada yang tahu kalau itu adalah suara ledakan pistol. Pasti mereka menduga itu adalah suara kembang api. Tapi dengan mereka tidak menembak aku sedikit lega. Dalam posisi masih berlari zig-zag, Aku menengok kebelakang dan kudapati dua lelaki itu mengejarku jauh dibelakangku. Ku kembalikan fokusku untuk berlari zig-zag untuk berjaga-jaga jika saja mereka menembakku lagi, hingga akhirnya tepat di sebuah gang aku berbelok masuk ke gang tersebut. Ya ini adalah gang dimana aku berangkat, gang dimana kenangan akan sebuah memori indah. Tepat ketika aku memasuki gang, kulihat sebuah lampu baru saja padam. Aku yakin itu adalah lampu sebuah mobil tapi entah mobil siapa. Aku kini berlari lurus tanpa zig-zag. Semakin aku melewati gang ini semakin ingatanku kembali ke masa itu. Argh... bodoh! Aku terus berlari, aku harus masuk ke kebun singkong itu. Tidak, tidak bisa jika dilihat dari jarak kejar kedua lelaki itu pasti mereka tahu aku masuk kesana dan bisa saja lariku terhambat. Aku tidak tahu situasi dari kebun singkong itu, kalau kejeblos dan kesleo bagaiman? Aku harus bagaimana?????! Aku yakin mereka tidak akan melihatku jika aku bisa bersembunyi di salah satu rumah ini.
Semakin dekat dengan tempat dimana cahaya lampu mobil itu padam.
“Bu Dian!” bathinku. Ya itu adalah mobil bu dian, kenapa ini? kenapa bathinku mengatakan untuk kerumahnya?
Arah lariku menggeser merapat ke arah deretan rumah bu Dian. Mengikuti aliran perasaanku.
Aku melompati parit....
Tanganku menangkap tiang besi yang menjadi pagar rumah bu dian....
Dengan masih dalam kondisi sehabis melompati parit, aku langsung melompati pagar besi itu....
Rumah bu dian terletak diatas, jadi setelah pagar ada sebuah taman yang tingginya hampir sama dengan pagar rumahnya. Brugh... dengan posisi tubuh sedikit merangkak aku menaiki bukit kecil taman bu dian. setelah sampai di atas, aku melihat bu dian sedang berjalan menaiki tanggak kesil menuju pintu rumahnya, tangan kanannya mencari kunci di tasnya. Dia tidak menyadari akan kehadiranku. Aku langsung berlari ke arahnya.
“Bu Dian!” ucapku keras dengan memegang kedua bahunya. Bu dian mengenakan kaos tanpa lengan panjang yang ditutupi dengan sweater lengan panjang yang terbuka (mirip jaket tapi tanpa resleting), dan celana panjang model pensil. Tas kecil menggantung di bahunya. Ketika aku berkata kepadanya tangan kanannya masih di dalam tas, tatapan matanya adalah tatapan mata terkejut dan kebingungan
“Si... siapa kamu?” ucapnya gugup, jelas dia tidak tahu siapa aku, wajahku aku tutupi dengan masker dan juga kaca mata hitam.
“ini aku bu, arya!” ucapku sembari membuka kaca mataku
“Ar... Arya.... kenapa kamu ada di sini?” ucapnya tiba-tiba, langsung aku memakai kacamataku kembali
“tolong sembunyikan aku, Aku dikejar oleh orang yang akan membunuhku, aku butuh tempat bersembunyi, tolog aku bu!” ucapku. Tanpa berpikir panjang aku langsung berlari ke arah belakangnya, ke arah tempat mobil bu dian diparkir. Mungkin aku bisa bersembunyi di dalamnya.
Kuambil sebuah batu dengan tangan kiriku dan langsung aku lempar ke atap rumah tetangga bu dian. Dengan tujuan agar ada kegaduhan disebelah rumah, sehingga orang-orang yang mengejarku tidak mencariku di rumah bu dian. Aku terus berlari ke arah mobil bu dian, sreek... bugh... aku jatuh terjungkal tepat di belakang mobil bu dian, kepalaku terbentur lantai paving.
“A...” teriak kecil bu dian yang melihatku jatuh, namun aku tidak mempedulikannya. Aku langsung berlari ke samping mobil
“Bu... Buka pintu mobilnya, cepat!” ucapku
“Eh... belum aku kunci” ucap bu dian
“Ingat, Ibu bersikap biasa saja” ucapku yang langsung masuk ke dalam mobil, clek... Kulihat dari dalam wanita itu tampak sedikit bingung dengan keadaan yang didekatnya sekarang dan dia kembali pada posisi melangkah menuju pintu rumahnya. Suasana kembali hening sesaat.
“ARGH! SIAL KEMANA LARINYA” Teriak lelaki pertama yang aku dengar, aku kemudian merebahkan tubuhku di tempat duduk belakang mobil, tepatnya dibawah kursi.
“HEI KAMU! JANGAN BERGERAK! BUKAKAN PINTU ATAU KAMU AKU TEMBAK!” teriak lelaki ke dua kepada siapa aku tidak tahu. Entah bagaimana geraknya aku tidak tahu
“CEPAAAAT!” teriak lelaki satu
“I... I... ya jangan tembak...” ucap bu dian, yang kemudian aku dengar langkah kakinya menuju gerbang. Kriieeeeeeeet.... suara pintu gerbang rumah dibuka.
“Kamu tadi lihat lelaki berlari ke arah sini?!” bentak lelaki satu kepada bu dian
Trap... trap... trap suara langkah kaki seorang dari mereka. aku rebahkan tubuhku di bawah kursi belakang mobil. Degup jantung berdetak dengan sangat kencang, nafasku ku hemat agar tidak menimbulkan bunyi. Keringat mulai melukis seluruh tubuhku, panasmulai menyelimuti seluruh nyawaku.
“tidak aku tidak tahu, hanya tadi ada sekelebat bayangan lari ke arah sana” ucap bu dian
“Tidak ada tanda-tanda orang itu lari kesini” ucap seorang lagi dekat dengan mobil tempatku bersembunyi
“SIAPA?! Maling?!” teriak seorang lelaki yang tidak aku ketahui siapa, suaranya keras tapi begitu samar aku dengar dari dalam mobil
“hei bro, disamping” ucap seorang lelaki satu yang semula berbicara dengan bu dian
Trap... trap... trap... suara langkah kaki menjauh dari mobil, ya lelaki dua menjauh mengikuti instruksi dari lelaki satu. Membuat nafasku dapat aku hembuskan dengan sangat lega, semburan kenikmatan bernafas diruanng bersuhu tinggi ini.
“Ya sudah mbak , silahkan istirahat. Hati-hati tadi ada maling yang lari kesini, kami intel jadi mbak tenang saja” ucap lelaki satu yang aku dengar samar dari dalam mobil
“Iya, aku akan hati-hati” ucap bu dian, yang kemudian terdengar suara pintu gerbang tertutup
“INTEL GUNDULMU PEYANG SU!” Bathinku berteriak, bagaimana tidak? Penjahat mengaku intel.
Kucoba mengatur kembali formasi nafasku untuk melegakan jantungku. Hanya atap bagian dalam mobil yang sekarnag menjadi pemandanganku satu-satunya. Keringat-keringat yang melukis tubuhku mulai lelah dan berjalan kebawah tubuhku. Rasa lelah, kantuk, takut, gelisah bertemu menjadi satu seakan-akan menghajarku saat ini.
“Ada apa pak?” ucap lelaki satu sangat samar terdengar dari dalam mobil bu dian, walau suaranya terdengar sangat kecil tapi dapat aku dengarkan.
“Tadi ada suara gaduh, entah siapa tapi suaranya keras” ucap bapak tetangga bu dian yang rumahnya aku lempari batu
Entah pembicaraan apa yang mereka lakukan, percakapan mereka mulai tidak bida aku dengarkan. Rasa-rasa ingin segera keluar menghirup udara segar semakin berkobar. Sudah tidak tahan dengan suasan ini, namun jika aku keluar saat ini bisa jadi aku akan jatuh dalam pelukan kematian. Aku melihat sekelebat bayangan melewati mobil dan kemudan masuk kerumah bu dian. bayangan dari sorot lampu teras rumah yang masuk ke dalam mobil bu dian. Dan dapat aku pastikan dengan jelas itu adalah wanita yang menolongku malam ini, bu dian.
Dari dalam mobil tanpa udara masuk ini, semakin lama nafasku semakin sesak. Tak kudengar lagi suara-suara kemarahan. Perlahan aku mendengar sebuah deru suara mobil datang, Kemungkinan mobil yang datang itu adalah mobil ayah dan lainnya. Mobil itu berbunyi dan berhenti, terlihat sangat dekat dengan posisiku sekarang mungkin berada tepat di depan dirumah bu dian. tak ada suara pembicaraan atau obrolan yang aku dengar, nafasku semakin lama semakin sesak. Kurang lebih setengah jam lamanya, aku berada di dalam mobil ditemani oleh suara mobil mereka. menahan panas dan sesak. Mungkinkah aku akan mati kehabisan nafas di dalam sini?
“Dasar goblok! Sudah tinggalkan tempat ini, nanti warga curiga!” teriak ayah samar
“Baik bos” ucap kedua lelaki bersamaan
Klek... klek... suara pintu mobil tertutup....
Suara ketiga mobil itu menghilang...
Aku masih rebah di dalam mobil, ku coba mengusap keringat-keringat dipipiku. Nafasku masih mengalir, menandakan masih ada sisa oksigen yang bisa masuk ke dalam paru-paruku. Aku akan mati kehabisan nafas, aku akan mati kekeringan didalam sini. Kulihat telapak tangaku sudah banjir keringat yang tak tahu dari mana asalnya. Kuusap keningku.
“Aduh sial...!” bathinku, keningku ternyata luka akibat jatuh tadi
Setelah beberapa menit suara mobil-mobil itu menghilang...
Tok tok tok...
“Eh...” aku terkejut adanya ketokan pada pintu depan mobil, aku bangkit dan kudapati bu dian berada disamping kanan mobil
“Ayo cepat masuk kerumah...” ucap bu dian
Aku kemudian bangkit dan merangkak ke jok depan mobil. Ku buka perlahan pintu depan mobil sebelah kiri...
“sudah tenang mereka sudah pergi, masuk lewat pintu samping” ucap bu dian yang menunjukan pintu samping rumahnya yang langsung menghubungkan dengan tempat parkir mobilnya
“hash hash hash iya...” ucapku sambil merunduk aku berlari dan masuk lewat pintu samping yang sud terbuka itu
Aku masuk, dan kudapati diriku di ruang keluarga rumah bu dian. ada sofa dan sebuah TV LED yang berada didepannya. Aku langsung rebahkan tubuh atasku di sofa dengan nafas terengah-engah. Kulepas semua pakaian tebal yang menempel di tubuhku, hanya kaos yang aku sisakan. Selang beberapa menit, bu dian masuk dan menutup pintu samping rumahnya. Menggunakan kaos longgar tanpa lengan dan celana ketat hingga menutupi lututnya.
“Kamu ndak papa?” ucap bu dian yang berjongkok didepanku
“Hash hash hash hash hash ndak papa bu” ucapku
“Kenapa bisa ada orang yang mengejarmu? Kamu habis apa?” ucap bu dian
“Hash hash hash hash hash ceritanya panjang, boleh saya minta minum bu?” ucapku
“Eh iya... maaf aku ambilkan dulu” ucapnya bangkit melangkah meninggalkan aku
“Itu bisa diminum bu? Hash hash hash” ucapku sambil menujuk ke dispenser
“Eh bisa” ucap bu dian, aku langsung bangkit dengan cepat aku masukan mulutku ke kran air dingin dan langsung aku buka.
Glek glek glek Glek glek glek Glek glek glek...
“Pelan mas...” ucap bu dian
Glek glek glek Glek glek glek Glek glek glek... masih dalam posisi menyeruput dan mengacungkan jempol
Seakan seperti mengalami musim kemarau 100 tahun yang di guyur oleh badai air. Keringat-keringat yang mengalir di leherku menandakan mereka sudah bosan bersamaku. Hembusan angin membuatku merasakan sejuk.
“Hash hash hash hash... hufth... selamat...”
“terima kasih bu telah menyelamatkan hidupku” ucapku sambil duduk bersimpuh dengan kedua tangan mencengkram lututku
Hash hash hash hash hash hash hhhhaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasssssh....
“Istirahatlah, aku buatkan teh hangat ya mas?” ucap bu dian
“Eh... i... iya bu terima kasih hash hash hash hash has” ucapku sedikit heran dengan kata-kata yang baru saja dia ucapkan
Nafasku masih tersengal-sengal, kucoba menstabilkannya. Kupejamkan mata ini, mencoba menginngat apa yang terjadi. Terdengar suara ting-ting-ting tanda bu dian sedang mengaduk sesuatu di dapur sana. Rasa takut, gelisah, kantuk, lelah sedikit bosan dan mulai pergi, yang ada sekarang hanyalah rasa aman ketika dekat bersamanya. Selang beberapa menit, aku sudah kembali tenang walau nafasku masih belum bisa teratur. Aku bangkit dan menuju dapur dimana bu dian berada, dengan langkah gontai dan kepala terasa sedikit pusing karena terbentur paving. Kulihat tatapan matanya adalah tatapan mata seseorang yang sedang megkhawatirkan sesuatu. Matanya terus melihat ke arah gelas dengan air yang terus berputar itu. Rambutnya begitu panjang hingga menyentuh pinggulnya, baru kali ini aku bisa melihat rambut panjang bu dian atau memang aku tidak pernah memperhatikannya sama sekali? Sedikit aku terkesima oleh pemandangan itu namun paru-paru ini minta untuk diisi kembali dengan asap dunhill.
“Bu, saya tak kebelakang boleh?” ucapku
“Eh... iya, silahkan mas” ucap bu dian, aku mengangguk dan tersenyum.
Entah ada yang aneh dari kata-katanya tapi belum bisa aku temukan dalam kondisi seperti ini. pikiranku masih diselimuti kegelisahan dan kekhawatiran namun aku masih bisa tenang bersamanya. Aku kemudian melangkah menuju halaman belakang rumah bu dian. ku buka pintu belakang rumahnya, terlihat sebuah sedikit tanah lapang berhiaskan rumput jepang dengan kolam ikan yang airnya terus mengalir ke atas karena bantuan pompa. Tepat disamping pintu ada sebuah kursi dan meja. Aku kemudian duduk di lantai bawah, ku ambil sematpon dan dunhill. Kusulut sebatang dunhill... fyuuuuh.... beberapa semburan asap membuatku sedikit tenang malam ini. Sematponku, ingin akku membukannya, membuka rekaman video yang baru saja aku rekam tapi aku urungkan takut jika Bu Dian mengetahuinya.
Rasa sayange... rasa rasa sayange. (buat reader jangan sampe lupa lagu negara kita). Ringtone HP. Ayah.
Aku terkejut melihat nama dilayar sematponku. Pikiranku menjadi keruh dan sangat keruh ketika melihat nama itu. Nama yang selalu membuatku marah, nama yang membakar emosiku. Sebentar aku melihatnya dan tak ada ide yang masuk ke dalam otakku. Hingga nada ringtone itu berhenti aku tetap tidak mengangkatnya. Kemudian panggilan kedua dari ayah datang lagi menghampiriku untuk kedua kalinya.
“bagaimana ini? eh... eh... oh iya, pura-pura bangun tidur” bathinku, aku pun tersenyum
“Hallohh siapah nihh?”
“Arya, ini Romo, kamu dimana? Sedang apa?!”
“Hoaaaammmmm... Romo... hoaaammmm... dikos teman romo ughhh... nyam... nyamm.... ada apa romo?”
“kamu lagi tidur?”
“tepatnya bangun tidur mo, tadi begadang ndak kuat... ini juga bareng sama temen-temen hoaaaaaaaaammmhh...”
“Oh ya sudah, romo kira kamu diluar”
“iya romo, arya mau tidur lagi gih... ngantuk bangethhh hufthh... “
“Ya sudah, kamu tidur lagi saja”
“iya hoaaaam romo” tuuuuuuuut.....
Hufth... aman.... aku kembali terduduk dan bersandar pada kursi halaman belakang bu dian, kuselonjorkan kakiku. Aku pandangi langit, dan aku berharap semoga saja telepon barusan membuat romo yakin kalau aku benar-benar tertidur dikos temanku. Langit seakan tersenyum kepadaku saat ini, tersenyum atas keberhasilanku selamat dari kematian. Bintang-bintang melambaikan tangannya menandakan sebuah kebahagiaan atas keberhasilanku.
“Ehem... mas ini tehnya” ucap bu dian yang diawali dengan berdehem, membuatku sedikit terkejut dengan kehadirannya tanpa suara itu. Bu dia kemudian menyerahkan teh hangat itu dan duduk bersimpuh disampingku dan menghadap ke arahku. Aku menoleh ke arahnya, memandang wanita tersebut. Wajahnya begitu datar dan kekhawatiran tergambar di wajahnya.
“Oh, iya bu terima kasih” ucapku, kuraih teh hangat, segera aku sruput minuman hangat dari bu dian. Rasa hangat mulai menguasai dadaku, seakan mengatakan inilah yang aku butuhkan.
“aaahh... mantab bu” ucapku, dengan senyum ke arahnya.
“Egh...” aku sedikit terkejut, tiba-tiba bu dian duduk disampingku pandangan matanya mengahadap ke arah yang sama dengan pandangan mataku. Pandangan menatap ke teras belakang rumahnya.
“Bu...” ucapku mencoba menolak ketika tangan bu dian merangkul lengan kiriku, dan dipeluknya erat. kepalanya bersandar ke bahuku.
“Kenapa? apakah tidak boleh mas?” ucapnya hening sesaat
“dulu bocah itu juga melakukan seperti ini dan aku tidak melarangnya...” lanjutnya dan pelukan bu dian semakin erat, ah aku kalah.
“B... bb... boleh kok bu, iya dulu bocah itu memang memeluk bahu kanan bu dian” ucapku teringat ketika masa itu aku menunggu bus bersama bu dian.
Aku hanya terdiam disampingnya dengan tangan kananku memegang teh hangat sedangkan tangan kiriku kaku tak bisa bergerak merasakan kehangatan dari wanita disampingku. Bak seekor bateng yang diikat kuat pada sebuah pohonn besar dan tak bisa bergerak ataupun berlari. Rasa lelah, mulai menjalar lagi ditambah dengan rasa dingin dan kantuk mulai menyapaku. Namun perasaan hangat berjalan dengan riang dari kiri tubuhku, seakan membuat semuanya tertunduk dan menyapa kehadiaran perasaan ini.
“Mas...” ucapnya pelan
“Eh... iya bu” ucapku dan baru tersadar kalau bu dian memanggilku dengan sebutan “mas”
“hati-hati” ucapnya pelan tanpa menoleh kearahku
“Iya bu... mmm.... bu” ucapku
“iya...” jawabnya
“dipanggil arya saja ndak papa kok bu, biasanya juga arya manggilnya” ucapku sambil meletakan gelas teh hangat itu
“bocah itu memanggilku dengan sebutan mbak’e-nya aku juga tidak pernah melarangnya” ucapnya pelan, dan aku semakin terpojok dalam suasana ini
“bu, kenapa harus bocah itu yang selalu menjadi alasan?” ucapku
“hemmmmm... hmmmm” desahnya melepaskan pelukan dan kemudian duduk memeluk kedua kakinya, dagunya diletakan di salah satu lututnya.
“tanyakan saja pada bocah itu, kenapa aku selalu menyebutnya... dia sudah berjanji kepadaku” ucap bu dian dengan mata terpejam seakan mengingat kejadian dimasa lampau.
Ah, lagi-lagi Ingatanku kembali kepada janji itu tapi jujur saja ku belum bisa menepati janji itu. Janji seorang bocah kepada seorang wanita dewasa yang diselamatkannya. Bocah yang lugu dan polos yang berbicara semaunya sendiri tanpa melihat situasi serta kondisi waktu itu. Bocah yang dengan santainya bergembira karena ada seorang wanita yang berjalan disebelahnya.
“Tapi bu... aku sudah mengatakan kepada bu dian kalau aku....” ucapku terhenti.
“dan aku jujur akan semua itu...” lanjutku
“apakah bocah itu masih tetap sama?” ucapnya
“aku tidak tahu yang jelas di...”ucapku terpotong
“Dia ada didalam dirimu dan itu adalah kamu” ucap bu dian membuat aku hanya tertegun dan diam. Kutarik kakiku hingga menekuk, kedua tanganku aku pangkukan di lututku. Ketika aku mencoba memegang keningku dengan tangan kananku
“Auch...” ucapku kesakitan karena tak ingat jika keningku terluka
“Eh... sebentar mas, jangan disentuh lagi” ucapnya yang langsung bangkit dan berlari ke dalam. Aku hanya mampu memandang dengan pandangan kosong melihat dia begitu sangat khawatir. Selang beberapa menit bu dian keluar dari balik pintu belakang rumahnya dan langsung duduk bersimpuh di hadapanku dan mengusapkan kapas yang telah dibasahi.
“ouch... pelan bu” ucapku megaduh, dan baru aku tahu itu adalah alkohol yang membasahi kapas itu
“eh... maaf, masih sakit?” ucap bu dian
“he’em...” ucapku, tanpa bisa aku menolak perlakuan bu dian
Dengan penuh kelembutan dia mengusap luka pada keningku. Luka pada kening yang sangat dekat dengan rambutku. Kulihat matanya sedikit berkaca-kaca ketika melihat lukaku, seakan ada kekhawatiran yang sangat besar didalam mata itu.
“Bu... sudah bu, sudah ndak papa tenang saja” ucapku pelan
“kamu... hati-hati kenapa sich? Aku kan selalu bilang kepadamu mas! Agar hati-hati! Sekarang lihat kamu terluka tadi juga di kejar-kejar orang bersenjata... mana ada orang yang melihat itu semua bisa tenang?!” ucap bu dian agak sedikit keras, matanya berkaca tapi tak ada air mata yang keluar. Dahinya mengrenyit, seakan aku kembali ke masa itu, dan aku tersenyum sendiri dihadapannya.
“tenag bu, saya masih hidup...” ucapku pelan membuat bu dian terkejut seakan dia mengingat sesuatu
“kamu masih tetap sama, itu juga yang dikatakan olehnya” ucapnya, dibuangnya kapas itu, kedua tangannya kemudian bersedekap dan bibirnya maju. Bu dian kemudian beranjak dan duduk disebelah kiriku lagi. Diraihnya dengan keras tangan kiriku, dipeluknya erat.
Sama? Ah, lagi-lagi bocah itu, lagi-lagi bocah itu. Bocah yang ngomong dengan seenaknya saja setelah maut menghilang. Seperti saat ini bocah itu juga mengatakan hal yang sama kepada wanita yang sama. Ingatan-ingatan yang selalu kembali ke dalam pikiranku, ingatan-ingatan yang bangkit layaknya mayat hidup yang mulai menggerogoti pikiranku.
“Bu...” ucapku pelan
“Hmmm....” jawabnya
“Bolehkan aku menginap satu malam ini saja sampai esok hari?” ucapku
“He’em...” balasnya
“terima kasih...” ucapku
Tak ada kata-kata lagi terucap dari mulut kami berdua. Hanya memandang langit yang warnanya berubah-ubah karena letusan kembang api yang masih terus terbang di langit. Walau tak terlihat, namun cahayanya masih bisa kami lihat. Langit kini tersenyum sangat lebar, menjadi saksi kebersamaanku setelah rembulan. Bintang-bintang, walau cahayanya redup karena cahaya kembang api tapi tak bisa mereka sembunyikan cahahayanya ketika melihatku bersama wanita ini. Kulirik wajah wanita ayu ini, dia tampak lelah dan ngantuk.
“Bu dian sudah ngantuk?” tanyaku
“belum” balasnya yang semakin erat memeluk tanganku
“tapi wajahnya sudah kelihatan ngantuk bu” balasku
“aku ngantuk kalau kamu ngantuk” jawabnya terlihat judes, kuselonjorkan kaki kiriku dan kutekuk kaki kananku. Kurebahkan pipi kananku di lutut kananku, kupandang wajah wanita ayu yang selalu membuang wajahnya ketika aku memandangnya.
“Bu...” ucapku pelan
“Ngomong terus!” ucapnya
“Eh... boleh tanya lagi?” ucapku, walau takut aku memberanikan diriku
“APA?” balasnya tanpa menoleh sedikitpun
“Anda itu siapa?” ucapku
“bukan urusanmu!” balasnya jutek
“Eh... maaf...” ucapku sedikit kecewa dengan jawabannya, kenapa juga aku harus menanyakan hal itu kepada wanita yang tidak akan aku pilih
“Aku ngantuk bu, boleh aku tidur di sini?” ucapku
“Eh... jangan, disini dingin, dikamar belakang saja atau dikamarku” ucapnya yang kemudian memandangku dengan rasa khawatir
“Ndak usah bu, tubuhku kotor tidur disini juga sudah cukup atau kalau diperbolehkan, aku tidur diruang tamu saja” ucapku
“Dikamar saja nanti kamu sakit!” ucapnya sedikit membentak
“ndak bu, di ruang tamu saja” ucapku yang kemudian bangkit berdiri dan diikuti oleh bu dian
“ya sudah, tapi jangan ngrokok di ruang tamu!” ucapnya
“iya... bu” balasku
Aku kemudian melangkah masuk kedalam rumah. Diraihnya kembali tangan kiriku yang tadinya sudah terlepas dari pelukannya. Masih saja dan terus memeluk tangan kiriku. Kami berjalan beriringan seperti layaknya seorang kekasih. Namun hati ini masih sangat tidak tega ketika harus hidup bersamanya.
“bu, tangan ibu dilepas dulu ya... ndak enak” ucapku
“sama siapa?” ucap bu dian
“E... ndak tahu bu” ucapku sambil berjalan ke arah ruang tamu, mendengar jawabanku kemudian melepaskan pelukan ditanganku
Aku kemudian duduk di sofa panjang ruang tamu bu dian yang berada disebelah pintu masuk rumahnya, sedangkan bu dian duduk di kursi depanku. Posisi yang sama seperti saat aku pertama kali kerumahnya.
“Beneran sudah ngantuk mas?” ucap bu dian, argh “mas” kata-kata ini selalu saja membuatku bertanya-tanya. Ketika tadi dia terkejut dan kemudian aku membuka kacamataku, dia masih menyebutku dengan sebutan arya, kenapa sekarang jadi “mas”?
“Sebenarnya belum bu, tapi tadi di luar agak dingin. Kasihan bu dian nanti kalau sakit” ucapku
“Aku sudah biasa, malah pernah aku ditinggal sendirian malam-malam sama cowok yang ndak tanggung jawab, udah buat nangis bukannya didiemin malah ditinggal gitu saja” ucapnya
DUAGH! Rasanya seperti ditampar dengan tongkat kasti
“E... e.... itukan anu bu, suasananya eeeeee itu” ucapku kebingungan
Kulihat matanya ketika memandangku tak ada senyum yang terlukis dibibirnya. Kakinya di tumpuk dengan tangan kanannya yang bertumpu pada lututnya menyangga dagunya sedang tangan kirinya di simpannya diatara lekukan perut dan pahanya. Aku tidak habis pikir kenapa juga pada saat itu aku meninggalkannya dan tidak menemaninya pulang. Tapi jika waktu itu aku terus bersamanya pastinya aku akan merasa malu, sekarang pun aku hanya mampu melihat wajahnya sebentar. Dalam hening dia terus menatapku dengan datar. Kemudian dia bangkit dan melangkah ke arah belakang. Entah apa yang dia lakukan. Kemudian bu dian kembali lagi dengan membawa teh hangat dan asbak.
“Minum mas, dan kalau mau merokok ndak papa” ucap bu dian, sembari meletakan gelas berisi teh hangat dan asbak itu. Tanpa memandangku dia kemudian berbalik lagi untuk menuju kebelakang
“Bu, beneran boleh ngrokok?” ucapku ketika bu dian baru akan melangkah
“Iya ndak papa mas tapi jendelanya dibuka sedikit biar ndak sumpek di dalam” ucap bu dian berbalik sebentar dan kemudian melanjutkan langkahnya menuju ke belakang
Aku membuka jendela ruang tamu bu dian dan ku buka sedikit. Model jendela yang kuncinya ada dibagian bawah jendela. Sedikit kusibak gorden jendela tampak sepi dan sedikit ada suara riuh keramaian tahun baru yang samar. Tahun baru bersama dengan wanita ini memang indah, mungkin. Namun lama sekali tak kulihat batang hidung wanita bak bidadari ini. setelah dua batang rokokku habis dan suasana penuh asap di ruang tamu mulai penuh dengan kabut asap. Teh hangat pun sudah mulai habis, beberapa menit berselang setelah suasana kabut asap tidak lagi berlarian di ruang tamu, bu dian datang.
“Minum lagi mas, pasti mas hauskan?” ucap bu dian yang meletakan segelas teh hangat untuk kedua kalinya. Diletakannya minuman hangat itu dengan tangan kirinya menutupi hidung dan mulutnya, menocab melarang asap rokokku masuk kedalamnya.
“terima kas...” ucapku terpotong
“Maem dulu gih, mas pasti lapar” ucap bu dian yang begitu perhatian kepadaku seakan ingin meluluhkan tembok maluku dan tahu saja dia kalau aku mulai lapar mulai lapar
Aku hanya tersenyum dan mengangguk kepadanya. Tak ada balasan senyum yang biasanya dia lempar ke aku. Segera kulahap mie kuah dengan telur serta sedikit sayuran yang ada didalamnya. Seakan-akan aku teringat cerita-cerita teman kuliahku ketika mereka main ke kos pacarnya selalu dilayani bak seorang raja. Sedikit aku melirik wajahnya yang terus memandangku dengan datar, membuat aku salah tingkah. Setelah selesai makan, aku berniat untuk membawa mangkuk kotor tersebut ke dapur.
“ndak usah mas, biar aku saja yang nyuci, mas istirahat saja” ucap bu dian yang kemudian merebut mangkuk tersebut dan membawa gelas teh hangat pertama yang sudah habis
Aku hanya sanggup memandang wanita dengan kulit putih ini. tak berani aku merokok lagi diruangan tamu, bisa kena semprot karena ku tahu lamanya bu dian tidak ke ruang tamu pasti karena asap rokokku tadi. Aku kemudian merebahkan tubuhku kursi panjang ruang tamu. Tak kupedulikan lagi situasi sekarang ini karena aku terlalu lelah malam ini.
“Capek mas? Bobo aja dulu nanti aku bangunkan” ucap bu dian yang melangkah menuju ruang tamu dengan pandangan masih datar dan dingin
“Eh... bu maaf, saya kira bu dian tadi langsung balik ke kamar untuk tidur” ucapku sambil bangkit dan duduk lagi
“Belum ngantuk. Mas bobo saja dulu, ndak papa kok” ucapnya sambil duduk dengan kaki diangkat kekursi dan ditekuk terus dipeluknya. Dagunya diletakannya diantara kedua lutut yang ditekuk itu
“ndak enak sama bu dian” ucapku
“ndak enak ya dikasih kecap apa MSG” jawabnya ketus dna tak bisa aku membalasnya
“Em.... bu...” ucapku pelan
“apa lagi?” ucap bu dian
“Eh... ndak jadi bu, maaf” ucapku semakin salah tingkah
“Kalau tanya yang jelas, jangan Cuma manggil! Dasar cowok nggak jelas” balasnya ketus
“hufffffftttthhhh....” hela nafasku
“kok tadi pulang malam bu? Habis tahun baruan sama teman-teman ya bu?” ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan
“Iya... kenapa? nggak boleh? Lagian ngapain nglarang-nglarang? Aku tadi sama anda” ucapnya, entah kenapa membuatku semakin panas tapi tak bisa aku luapkan
“he he he... ya untung saja bu dian pulang malam, kalau tidak mungkin aku sudah...” ucapku terpotong
“kalau ngomong dipikir! Ngomong yang positif jangan negatif terus!” jawabnya ketus membuat aku semakin tak mau berbicara kepadanya lagi
“Bu... saya ijin tidur dulu, dan terima kasih sudah mengijinkan saya menginap” ucapku dengan penuh kekesalan karena semua pertanyaanku dijawabnya dengan ketus dan judes
“Eh.... ya bobo saja mas, lagian dah mau pagi” ucapnya sambil meletakan pipi kanannya di antara kedua lutut kakinya, pandangannya kemudian dibuang ke kiri
Aku kemudian merebahkan tubuhku lagi. Tak kuhiarauku keberadaannya, kenapa juga aku harus berbicara baik kepadanya? Iya, memang kamu menolongku tapi bukan berarti sejudes itu kan? Tadi aja meluk-meluk tanganku, ngomong kek kalau kangen! Dasar cewek judes! Hufttth.... maaf bu, aku masih belum bisa menerima diriku yang terlalu kotor ini. Maafkan aku, dalam lelah hatiku menggerutu dan kemudian terlelap dalam tidurku. Kumiringkan tubuhku memunggunginya, Hingga benar-benar aku tak sadarkan diriku.
Pagi hari sedikit cahaya masuk kedalam rumah bu dian. Serasa malas sekali untukku bangun. Hanya menarik selimut yang menutupi tubuhku saat ini. kutarik lebih tinggi lagi hingga menutupi seluruh tubuhku kecuali kepalaku. Kupejamkan mata ini kembali dan...
“Eh... selimut? Dari mana datangnya selimut ini? semalam aku kan tidak memakai selimut?” bathinku yang kemudian membuatku beranjak bangun dari tidurku.
Dalam posisi duduk dan membelakangi bu dian, ku berbalik ke arah dimana wanita itu berada. Kulihat bu dian tertidur di kursi yang bisa diduduki satu orang itu. Kedua tanganya di satukan menjadi bantalan pipi kirinya, kakinya mengapit dan ditekuk diatas kursi tempat dia bersandar untuk tidur. Kulihat wajah ayunya begitu tenang dan tentram, berbeda dengan tadi malam ketika jawaban judes menghampiriku selalu. Ingin aku membangunkannya tapi tidak tega karena wajahnya tampak begitu lelah. Semakin aku memandangi wajah ayu nan indah itu semakin aku merasa bersalah dengan diriku sendiri.
“egh... egh... hoaaaaaammm.... erghhhh....” bu dian terbangun,
“benar-benar gila... ini cewek menguap saja cantiknya minta ampun, bener-bener perpek!” bathinku
“perkosa saja bro, mumpung dia baru bangun, ndak ada kekuatan untuk melawan” ucap bathin gelapku
“Jangan, bro, ingat jangan menambah kesalahan kamu lagi” ucap bathin terang
“Halah... sok alim kamu! Hajar saja bro!” balas bathin gelapku
“DIAM! AKU TIDAK TEGA!” ucap dedek arya dan selesailah sudah pertengkaran gelap dan terang
“ughh... mas sudah bangun? Kenapa ndak bangunin aku? uuughhh” ucap bu dian semakin membuatku terpana dengan gerak tangan yang merenggangkan persendian tulangnya
“Mas...????” ucap bu dian kedua kalinya membuatku tersadar
“Eh... eh... anu bu, takut mengganggu bu dian, bu dian kelihatan lelah sekali” ucapku smabil menundukan wajahku
“Dasar sok romantis!” ucap bu dian, gila bangun pagi saja sudah judes sekali
“Maaf...” ucapku kemudian bangkit dan membelakanginya, melipat selimut yang aku kenakan
“massss...” ucapnya pelan
“Eh... iya bu?” ucapku menjawab pertanyaan bu dian
“Oia bu terima kasih sudah memperbolehkan aku menginap semalam, sekarang saya mau langsung pamit” lanjutku masih membelakanginya, selimut yang kulipat kemudian kutaruh di atas kursi
“jangan.... “ ucapnya kemudian aku berbalik memandang, pandangan kami bertemu dan aku tersenyum kepadanya
“ndak enak kalau kelamaan nanti digrebek bu” ucapku
“eh... itu... mas belum makan, biar aku masakan dulu, atau mas mandi dulu saja bersih-bersih...” ucap bu dian
“ndak usah bu, nanti jadi merepotkan bu dian” ucapku
“ndak, aku ndak repot mas, mas tunggu sebentar aku masakan makan pagi dulu...” ucap bu dian bangkit dan beranjak ke dapur
“bu... bu dian” panggilku membuat langkah bu dian berhenti dan berbalik mellhat ke arahku
“Sudah, ndak usah bu... ini saya sudah sms pak wan untuk menjemput saya” ucapku sambil menunjukan sematponku yang sedang aku sentuh-sentuh
“eh... kan... e... masih nunggu, mas makan dulu saja nanti sakit” ucap bu dian menco memaksaku
“ndak enak bu kalau lama-lama disini, ndak enak juga sama anda” ucapku
“eh....” dia tampak sedikit bingung dan kemudian menundukan wajahnya
“dia bukan siapa-siapa hanya teman” ucap bu dian
“ya walaupun teman atau siapakan saya juga tetap ndak merasa enak kan bu? Apalagi bu dian kelihatan akrab sekali dengan Anda waktu di warung” ucapku dengan senyum, tiba-tiba bu dian melangkah lebih maju lagi dan menari tangan kananku yang telah selesai mengirimkan sms ke pak wan
“Maem dulu...” ucapnya pelan sambil menunduk
“dia bukan siapa-siapa” ucapnya kembali pelan, aku semakin tak tega untuk segera pulang
“minum hangat saja bu, dan biar saya buat sendiri” ucapku pelan menarik tanganku
“eh... ndak usah, aku buatkan saja mas” ucapnya dengan wajah berseri lalu berbalik menuju dapur, langkahnya begitu cepat
Dalam berdiriku aku memandangnya berlalu menuju dapur. Sejujurnya aku masih ingin disini, namun jika aku terus disini sama saja menyiksa perasaanku dan perasaanya. Aku kembali duduk dan menunggu kedatangannya. Lama aku menunggu, bu dian kemudian datang dengan membawa sepiring roti tawar dan secangkir teh hangat. Tak ada kata-kata dari kami berdua, setelah piring dan gelas itu diletakan aku kemudian langsung melahapnya hingga habis. Kulirik wajahnya kali ini tampak begitu kebingungan dengan sedikit senyuman di bibirnya. Setelah makan selesai, aku mengucapkan terima kasih karena telah dibuatkan sarapan. Bu dian hanya mengangguk pelan. Dalam hening kami berhadapan tanpa saling memandang hingga sebuah suara mobil datang dan aku buka sedikit gorden, pak wan datang.
“bu, pak wan sudah datang, saya pamit dulu dan terima kasih telah menolong serta merawatku” ucapku sembari berdiri
“eh.... iya sama-sama mas” ucapnya pelan dengan wajah tertunduk
“saya pamit ya bu” ucapku sambil membungkukkan badan dan berbalik. Ketika tangan ini memegang daun pintu serta memutar kunci pintu
“maukah kamu berhenti?....” ucapnya pela
Klek... klek... kunci pintu aku buka
Kleeeeeeeeeeeek... ku buka pintu rumah bu dian, pintu itu terbuka sebagian
“belum sebelum semuanya berakhir, sebelum orang-orang itu, orang-orang yang semalam mengejarku hancur aku belum bisa berhenti...” ucapku
“eh... aku tidak tahu apa yang ingin kamu selesaikan tapi aku berharap agar kamu tetap berhati-hati karena orang-orang itu kelihatan sangat jahat” ucapnya
“pasti bu, saya akan berhati-hati dan saya akan sangat berhati-hati karena mereka semua harus menyesal atas perbuatan mereka” ucapku, kulihat dia masih menunduk dan sangat terlihat dia tidak menggubris kata-kataku
“dan...” ucapnya terhenti
“Eh...” aku sedikit heran dengan wajahnya yang sama sekali tidak mau memandangku
“Apakah kamu benar-benar jujur dengan itu semua?” ucapnya membuatku terunduk
“saya jujur, tak ada kebohongan didalamnya” ucapku
“Apakah kamu bisa berhenti?” ucapnya dengan tangannya mengepal erat di samping pahanya, wajahnya tertunduk
“huffffftthhh... aku belum bisa berhenti, karena aku sudah terperosok terlalu dalam, sangat dalam di lingkaran ini. Aku dan semua yang ada dalam lingkaran kegelapan ini belum mampu untuk keluar... sampai ada orang yang benar-benar tulus untuk menarikku keluar”
“Jika aku keluar mereka semua juga pasti akan keluar” ucapku dengan mata sedikit berkaca, kepalaku menunduk. Suasana menjadi hening tanpa ada sepatah katapun
Hening....
Hembusan angin yang masuk dari pintu seakan memberi sekit kesejukan dalam kepenatan ini...
“Bu Dian” ucapku dengan wajah tersneyum ke arahnya dan mencoba memecah keheningan
“Eh...” bu dian tersadar dari diamnya
“Terima kasih banyak sudah membantu saya dan mengijinkan saya menginap ya bu,dan mohon maaf merepotkan bu dian, sekali lagi terima kasih bu,saya pamit pulang dulu” ucapku sambil membungkukan tubuhku
“Eh.. iya sama-sama” ucapnya dengan sedikit senyuman, kubalas senyuman itu dan kemudian melangkah keluar
“Mas...” ucapnya pelan namun terdengar sangat keras di hatiku, aku menoleh kembali ke arahnya
“hati-hati...” ucapnya dengan sedikit senyum di bibirnya
“pasti...” ucapku yang kemudian membungkukan badan dan berlari ke pintu gerbang garasi
Aku membuka pintu garasi dan mengok ke kanan dan kekiri. Langsung aku berlari masuk ke dalam taksi melalui pintu belakang taksi yang sudah dibuka oleh pak wan. Tanpa banyak bicara pak wan langsung menghidupkan taksinya. Ketika hampir mendekati pos satpam, aku langsung tiduran di bagian bawah jok belakang.
“Lho pak, kok ndak ada penumpangnya?” ucap pak satpam ketika memberhentikan taksi pak wan
“orangnya ndak jadi pergi mas, kalau begini kan saya yang rugi, sudah ndak mau ganti ongkos jemput lagi” ucap pak wan
“owalah... ya sudah pak, semoga setelah ini dapat pelanggan lagi” ucap pak satpam
“iya mas, terima kasih... duluan mas” ucap pak wan
“monggo pak” ucap pak satpam, taksi kemudian berjalan menjauh dari perumahan ELITE, aku kemudian bangkit dan duduk di belakang
“bagaimana tadi malam den?” ucap pak wan
“Hampir ketembak pak, tapi untung selamat... dari memata-mataiku semalam banyak sekali informasi yang aku dapatkan” ucapku
“bentar den, ketembak?” ucap pak wan
“iya pak” ucapku
“Aduh den, hati-hati to den, nanti kalau bagaiman-bagaiman pak wan kan juga bingung” ucap pak wan
“Sudah, pak wan ndak usah khawatir, nyatanya kan Cuma hampir ketembak dan lihat aku masih hidup pak he he he” ucapku selengekan
“DEN! Jangan main-main, bapak itu kalau dengar aden kenapa-kenapa, bagaimana pertanggung jawaban bapak sama kakek aden, pokoknya aden harus hati-hati, pokoknya harus berhati-hati lagi!” ucap pak wan dengan sedikit membentak. Sebenarnya apa yang dilakukan kakek wicaksono dulu hingga orang-orang seperti pak wan ini sangat menghormati kakek. Walau aku sudah sedikit mendengar dari pak wan tapi aku belum begitu tahu mengenai semuanya
“Pak, pak wan tenang saja... aku pasti akan lebih berhati-hati” ucapku pelan sembari menepuk bahunya
“Ya, bapak percaya sama aden... pokoknya jangan sampai aden tertangkap, kakek aden disana juga mengharapkan seperti apa yang bapak harapkan” ucap pak wan, walau aku tidak melihat matanya berkaca-kaca tapi dari suaranya yang parau sangat terdengar
“pasti pak” ucapku
Kemudian kami bercanda kesana kemari selama pak wan mengantarkan aku pulang. Sebelumnya aku berganti pakaian terlebih dahulu, dan mampir ke tempat pembuangan terakhir membuang pakaian yang aku kenakan semalam. Setelahnya aku pulang dengan jantung penuh dengan detak yang sangat cepat, apakah mungkin ayah sudah datang atau belum? Namun sesampainya dirumah, rumah masih dalam keadaan yang sangat sepi. Aku pamit ke pak wan dan menyampaikan rasa terima kasihku, kulihat mobil taksi itu menghilang dalam pandanganku. Kini aku sendiri lagi dirumah ini, aku memasuki rumah dan langsung menuju ke dalam kamarku. Arghhh... aku terlalu lelah untuk semua ini.
Dian....
Dalam lelahku, di waktu menjelang siang ini aku sendiri di dalam kamarku. Tak ada seorang pun dirumah ini yang menemaniku. Ingatanku kembali ke wanita itu, wanita yang selama ini telah hilang dari dalam hidupku. Wanita yang selama ini aku kagumi dan terpisah oleh jarak. Dan setelahnya aku bertemu karena waktu, namun kondisiku sekarang ini seudah tidak sama lagi dengan yang dulu. Tidak sama lagi dengan yang dia lihat dulu.
Aku duduk dihadapan komputer kamarku, rasa kantuk mulai merangkulku kembali. Namun rasa penasaranku masih menggelayut dipikiranku. Ku buka email om nico, dan tak kudapati percakapan. Rasa penasaran masih berada dalam otakku dan segera aku membuka sematpon KS, oh sial bahkan BBM dalam grupnya saja sepi walaupun sudah aku koneksikan dengan wifi dari sematponku. Aku menunggu sejenak, mungkin saja pesan-pesan percakapan mereka belum. Sembari menunggu aku mengambil kalung dengan cincin monel itu.
“Kenapa? apakah kamu jawabannya?” ucapku kepada kalung itu, segera aku simpan kembali kalung itu
Ingatanku kembali ketika malam tadi bertemu dengan bu dian. Entah kenapa selalu saja dia datang dalam kabut tebal diriku. Seakan dia tahu bagaimana aku membutuhkannya, seakan dia adalah angin yang mennghembuskan kabut-kabut itu. Wajah nan ayu dan cantik tampak selalu terpancar dari wajahnya, apalagi ketika dia bangun tadi pagi. Argh, sial kenapa ada wanita secantik itu? Aku mengira cantiknya hanya ketika diluar saja tapi tadi pagi, benar-benar gila melihat dia bangun saja sudah seperti berada di khayangan. Pikiranku terus berputar-putar di alun-alun otakku, dan ditengah-tengahnya selalu ada dia, bu dian.
Kuraih kembali sematponku, dan kuamati kotak berlayar yang canggih ini. Lama aku menunggu tak ada pesan masuk dalam grup bbm. Mungkin saja mereka sudah tidak berkomunikasi lagi. Kuletakan kembali sematpon KS dalam keadaan mati di tempat persembunyiannya. Apakah aku harus bertemu dengan kakekku untuk membicarakan semua ini? tapi sebelumnya aku ingin bertemu dengan mbak erlina, hanya itu pikiranku saat ini.
Status bu dian
“I try”
Aku hanya tersenyum dan menaikan bahuku tak mengerti apa maksud dari statusnya, tapi yang jelas itu bukan untuk aku. Segera kuletakan kembali sematponku dan bergegas untuk membersihkan tubuhku, berganti pakaian dan berangkat ke kos mbak erlina. Dengan si montok REVIA aku kembali mengarungi jalan daerahku. Laju motor yang tidak terlalu kencang namun bisa menyalip beberapa pengendara sepeda onthel. Hingga akhirnya aku sampai di kos mbak erlina, tampak sepi. Segera aku parkir motorku dan ku ambil kunci kosnya yang berada diatas pintu kosnya, tepatnya di ventilasi. Kulihat didala kamar kos yang luas ini, ada beberapa makanan ringan disana, segera aku lahap tanpa meminta ijin ke mbak erlina. Lama aku menunggu hingga akhirnya aku tertidur.
Pukul 17:00, aku terbangun dari tidurku dan tak kudapati mbak erlina berada dikamar kos. Mungkin pekerjaannya menumpuk sehingga pulang terlambat. Aku kekamar mandi sebentar, membuang air kecil, ufth lega rasanya. Ketika aku keluar kamar mandi kudapati mbak erlina sudah berada dibalik pintu kamarnya yang tertutup. Wajahnya tersenyum lebar memandangku, dijatuhkannya tas kecil yang menggantung dibahunya. Dibukanya lebar kedua tangannya seakan memanggilku untuk memeluknya.
“weeeeeek....” ledekku sambil menjulurkan lidah
“iiiih....” ucap mbak erlina kesal dan langsung saja melangkah cepat kearahku
“Eh... mbak... mbak....” ucapku terkejut
Mbak erlina langsung saja berlutut di depanku, di bukanya dengan paksa celanaku. Tanpa menunggu lama, dedek arya yang mencium aroma seorang wanita langsung tegang dihadapan wajah ayu ini. tubuhnya masih berbaluk pakaian serba putih yang sedikit ketat dengan kerudung lebar yang masih menutupi kepalanya hingga lengan itu. Aku mendapat perlakuan seperti itu hanya diam saja, mematung karena dedek arya yang sekarang berkuasa atas diriku. Mulutnya terbuka, tanpa bantuan tangnnya dia mencoba memasukan dedek arya dimulutnya. Perlahan dedek arya masuk kedalam mulut mbak erlina, kedua tangan mbak erlina memeluk pinggulku. Walau tidak bisa masuk secara keseluruhan, tapi sungguh nikmat. Kepalanya maju mundur memanjakan dedek arya. Dengan mulut yang maju dan tersumpal dedek arya, matanya melirik keatasku dan menyipit menandakan dia tersenyum kepadaku.
Dalam posisi berdiri aku hanya menarik kaosku ke atas dengan tangan kiriku sedangkan tangan kananku memegang kepalanya dengan lembut mengikuti gerakan kepalanya. Kepalaku menengadah ke atas mencoba menikmati sensasi kuluman bibir indah ini. kutundukan kepalaku dan kupandang kepala berbalut kerudung ini, lidahnya sedang menjilat-jilat dedek arya yang tegang mengacung. Kadang kepalanya miring tepat berada dibawah batang dedek arya untuk mengulum dan menjilati buah zakar.
“ughh... mbak... mmmm...” desahku
“suka ndak adikku sayang?” ucapnya yang kemudian mengulumi buah zakar itu lagi dan aku hanya mengangguk pelan
“mbak gerah, bukain baju mbak” ucap mbak erlina dengan masih mengulumi buah zakar dedek arya
Mbak erlina kemudian beralih mengulum batang dedek arya dari depan, tangannya memeluk pinggulku. Perlahan aku menjatuhkan lututku, mulut mbak erlina tidak mau lepas dari batang dedek arya. perlahan pula mbak erlina mundur menyesuaikan batang dedek arya yang posisinya mulai merendah. Kedua tangannya kini menopang tubuh bagian depannya, posisinya seperti orang merangkak. Dengan sedikit membungkuk, aku mulai membuka kancing baju mbak erlina dengan bantuannya aku bisa membuka baju mbak erlina dengan mudah. Tampak tanktop ketat menempel di tubuhnya, segera ku membuka resleting rok yang dikenakannya. Dan... ugh pemandangan yang sangat indah sekali, ketika rok itu terbuka pemandangan berubah menjadi celana dalam yang sangat tipis dan menerawang. Kuelus-elus pantat mbak erlina dengan perlahan.
“adikku sayang, kamu pengen apa mbak mau” ucapnya dengan kepala berbalut kerudung dan lidah menjilati ujung dedek arya
“diemut aja mbak, ufthhhhhh...” ucapku terpotong
“pas mbak pakai kerudung ya? Nakal deh, nanti pasti minta pake yang lain” ucap mbak erlina yang malah membuat fantasiku berkembang
“pengen apa bilang ya adikku sayang, mbak bakal bikin kamu puas” lanjutnya
“pengen erghhh....” ucapku
“apa? Kok ndak jelas?” ucapnya
“mejuhin mbak” ucapku sedikit keras
“Cuma itu?” jawab mbak erlina, dengan posisi mbak erlina menengadah ke atas melihatku sambil tersenyum sedangkan dedek arya mengacung-acung didepan mulutnya membuatku semakin terbak
“mbak emutin dulu mbak, cepetaaaan” ucaku sedikit manja
“begini ya?” ucapnya kemudian mengulum dedek arya
“oh iya mbak, erghhhh.... bibir mbakhhh nikmhhhat sekali ough... yah... mmmmmhhh...” ucapku sambil memegang kepala mbak erlina
Selang beberapa menit, aku mengangkat kepalanya. Kucium bibir mbak erlina, tanganku kemudian meremas susu indah yang lumayan besar itu. Ciuman kami semakin panas.
“sayang, tubuh mbak adalah hadiahmu, kamu boleh melakukan samaumu, mbak tidak arghhh akan menolak, adikku sekarang adalah rajaku ouwhh....” desahnya
“awmmmm.... mmmhhh....” kusumpal kembali mulut mbak erlina yang tampak semakin liar ini
Gelombang panas mengelilingi tubuh kami, seakan tak mau lepas. Rasa takut di malam tahun baru membuatku ketakutan seakan menuntut pembalasan. Tangan kananku meraba perut mbak erlina, dengan mulut masih berciuman. Tangan kananku menelusup ke balik celana dalam seksi milik mbak erlina. Jariku menemukan klitoris mbak erlina dan mulai memainkannya. Desahan yang terhambat keluar dari bibir mbak erlina. Tangan kiriku perlahan mendorong tubuh mbak erlina, seakan dia tahu apa yang ingin aku lakukan. Dengan pelan mbak erlina melepaskan ciuman dan mundur hingga terduduk. Kedua pahanya tertutup sementara ketika aku melepas celana dalamnya setelahnya kedua paha putihnya terbuka memperlihatkan sebuah lubang tertutup yang dihiasi sedikit rambut. Kuturunkan kepalaku, dielusnya rambutku dengan tangan kanan mbak erlina sedangkan tangan kirinya menumpu tubuhnya.
“ouwh... jilat terus... emmmhhh... adik yang nakal ssssshhhh... masukin jarinya sayang, mainkan sehhhhsukaaah ouwh... muhhh” racaunya ketika lidahku bermain-main
“iya sayang... erghhh dihhhsedothhh yah begituhhh mbakhhh sudahhhh kangennhhh ouwh... yah terushhh sshhhhhh emmmhhhh... kocok lebih keras lagihhh” racaunya ketika bibirku menyedot-nyedot klitorisnya dengan kuat, dan kocokanku semakin liar ketika mbak erlina memintanya
Tangan kirinya sudah tidak mampu lagi menahan tubuhnya, tangan kanannya yang semula membantu tangan kirinya untuk menopang tubuhnya pun sudah tak mampu lagi. Tubuhnya ambruk kebelakang, tubuhnya menggelinjang bergerak tak karuan setiap kali permaina lidah dan jariku di vaginanya semakin liar.
“Arghhh... adikkuhhh owhhh... mbakhhh mbakkkhhhh arghhh lebih cepat lagi sayangku... emmmmhhh ah ah ah ah... terushhh... sedikit lagi....” racaunya
Selang beberapa menit dari racauannya, tubuhnya terangkat keatas. Cairan hangat keluar dari dalam vaginanya. Tubuhnya yang masih melengking sekian menit kemudian kembali lagi ke lantai, nafasnya tersengal-sengal dan beberapa kali tubuhnya mengejang. Tanpa memberikan kesempatan kepada mbakku yang masih berkerudung ini, aku membalik tubunya. Dengan sedikit lemas mbak erlina mengikuti kemauanku dan berbalik, tubuhnya kemudian berposisi menungging. Ku pegang kedua pantat yang besar dan bahenol ini serta meremasnya dengan sangat kuat. Remasan seperti menggenggam dan menarik kedua pantatnya kesamping sehingga anus dan vaginanya bisa aku lihat. Tak tertarik aku dengan anus, vaginanya lah yang diinginkan dedek arya sekaran. Tanpa ku pegang insting dedekrya seakan tahu ada tempat indah didepannya, tempat dimana dia bisa berenang didalamnya. Kudorong perlahan dan masuk secara pelaaaaaaan.
“ouwh... mbak sempit sekali... aku suka sekalihhhh erghhh....” desahku sambil memandang batang dedek arya masuk kedalam vagina mbak erlina
“Erghh... pelan adekku sayang eghhh... pelan sudah lama ndak kamu pakai erghhh... jangan digoyang biarkan memek mbak temu kangen dulu, mbak benar-benar kangen sama kontol kamu sayang” racaunya ketika semua dedek arya sudah masuk ke dalam vagina sempit mbak erlina
“kangen?” godaku
“erghhh... ya jelas dong sayang, kan kontol kamu yang ngrobek punya mbak, jangan digoyang dulu... benar-benar keenakan memek mbak kalau dimasuki kontol kamu” ucap mbak erlina
“terus gini saja mbak? Mending adik kamu yang nakal ini main sabun di kamar mandi saja ah, arya cabut ya” godaku
“iiiiih... nyebelin, tunggu dulu... sakit tau dimasuki sama kontol kamu yang gede ini... biarin melar dulu punya mbak” ucap mbak erlina
“iya mbak ku sayang” ucapku sambil membungkukan badan, merebahkan tubuhku dipunggungnya, langsung saja kedua tanganku menelusup masuk dibalik tanktopnya, meremas susu mbak erlina dan memainkan putingnya
“adeeeekkkk ughhh... kamu benar-benar nakal, kamu berathhhhh... ahhhh.... memek mbak kamu masuki kontol sekarang mbak disuruh nahan tubuh kamu erghhh...” ucap mbak erlina
“sssstttt... katanya mau nurut sama adek, kalau ndak nurut diperkosa sama adek lho, kaya gini” bisikku pelan sambil menarik dan menghentakkan keras batang dedek arya di vaginanya
“awhhh... nakal kamu sayang... iyahhh mbak nurut sama adek, digoyang pelan” ucapnya
Aku mulai menggoyang pelan pinggulku, batang dedek arya mulai menyusuri liang vagina mbak elrina. Terasa sangat nikmat di dalam sana, lama aku tidak merasakannya semakin kencang saja vagina mbak erlina. Goyangan pinggulku semakin aku percepat seiring dengan darah yang mulai mendidih karena sensasi wanita berkerudung ini. Kepalanya mendongak keatas, desahan dan jeritan kecil terdengar dari bibirnya.
“Ah ah ah ah... terus... buat memek mbak keenakan adekku ough... benar-benar kontol kamu nikmathh sek rghhhhh sekali.... terus sayang” racaunya
“memek mbak enak sempit sekali, ugh... aku pengen pejuhin dalamnya mbak” racauku dengan podidi sekarang aku memegang pinggulnya
“iya pejuhin mbak, lebih keras lagi buat kontol kamu puas sayanghhh.... arghhh” racaunya
Dengan posisi sedikit membungkuk aku tarik kedua tangannya. Seperti halnya sedang mengendarai kuda, aku hujam keras-keras liang vagina mbak erlina. Beberapa menit berjalan, aku sedikit kelelahan dengan posisi ini. kuminta tubuhnya berbaring miring dan kuangkat kaki kenannya kemudian kuletakan di bahu kiriku. Kumasukan lagi batang dedek arya ke dalam vagina dan kutarik ke atas tank-top mbak erlina sehingga terlihatlah dua buah bukit ranum, sekal dan kencang. Aku mulai menggoyang wanita berkerudung ini semakin buas.
“ugh... kontolku keenakan mbak, ya enak sekali arghhh... mantab sekali mbak” racauku
“terus sayang mbak sudah lama ndak kamu kasih, ah ah ah ah enaaaak ya terus buat memek mbak lecet teruss terus lebih keras lagi... arghh kontol kamu memang benar-benar amazing.. ough” racaunya dengan tangan kanannya memegang tangan kirikku sedang tangan kirinya berada diatas kepalanya
“akan aku buat mbak keenakan dengan kontol adik mbak ini” racauku membalas mbak erlina yang kini matanya terpejam dengan bibir bawahnya digigit
“iya sayang mmmmhhh... errrrghhhh... terus sayang teruuusss.... mmmhhhhh... ah ah ah” balasnya menikmati setiap sodokan
“memek mbak kok menyempit ugh enak mbak enak banget” racauku
“enak kan erghhh... enak dijepit memek mbak kanhhhh ahhhhh ahhhh ouwh.... terus sayanghhh arghhhh...” balasnya meracau
Kini aku telentangkan tubuh wanita berkerudung ini, kubuka lebar pahanya. Inilah saatnya penuntasan, kuletakan tanganku disamping pinggulnya. Ku tenggelamkan kembali dedek arya ke dalam memek wanita berkerudung ini.
“Argh... lebih dalam lagih emmmhhh... lebih keras” racaunya dengan kedua tangan berada di atas kepalanya menambah keindahan busungan payudaranya.
“lebih keras lagi lebih cepaaaaaaatttthhhhh arghhhhh... enaakkkkh bangethhhh oh owh owh ohhhhh” racaunya semakin menggila
“mbak, aku mau keluar... arghhh....” racauku diiringi goyangan pinggul yang semakin keras
“mbak jugggg... ah.... terus lebih keras lagi mbak hampir sampai” racaunya
“Arghhhhhhhh.........” teriaknya sedikit tertahan dengab tubuh melengking dan
Croot croot croot croot croot croot croot croot croot croot
Aku terkulai lemas di atas tubuh mbak erlina, tubuh mbak erlina masih sedikit mengejang. Kurasakan empuk payudaranya di dadaku. Nafasnya tersengal-sengal, ku usap lembut kerudungnya dan kucium kening mbak erlina. Dengan mata yang terpejam, bibirnya masih saja bisa memperlihatkan senyuman kepadaku. Kupeluk tubuh wanita yang memberiku ketenangan dihari ini, kucium bibirnya dan dibalasnya hingga lelah menghilang dari tubuh kami. hingga akhirnya aku tinggalkan mbak erlina yang sedang beristirahat karena mungkin lelah, aku beranjak dan bersih-bersih. Setelah bersih-bersih aku keluar dari kamar mandi, ketika itu mbak erlina hanya mengenakan tank-topnya saja tanpa kerudung. Kami berciuman sebentar dan setelahnya mbak erlina masuk ke kamar mandi.
Aku menunggu diluar, dekat dengan jendela kamar kosnya. Dengan sebatang dunhill menyala di tangan kananku sedang tangan kiriku memegang sekaleng minuman bertuliskan W&A. Aku hanya mengenakan kaos oblong dan celana jeans yang aku kenakan tadi. Lama aku menunggu akhirnya mbak erlina keluar dari kamar mandi.
“ngrokok teruuuuuuuuuuuus! Udah dirokok masih saja ngrokok” ucap mbak erlina judes
“iya deh tak matikan tapi nati kalau sudah tinggal filternya saja he he he” ucapku
“sama aja kaleee” ucap mbak erlina
“mbak, kok tadi tiba-tiba nubruk saja? Kengen berat sama adiknya ya?” ucapku memandang mbak erlina yang mengenakan tank top putih serta celana pendek sepaha
“iya dong, adik sich ndak pernah jenguk mbaknya hi hi hi” ucap mbak erlina yang berjalan ke arah meja riasnya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk
“mbak tahu sendiri kan?” ucapku santai
“iya... iya...” ucap mbak erlina
“obat apaan itu mbak?” ucapku
“obat biar kamu ndak jadi bapak adikku sayang muach”ucap mbak erlina
“Pil KB?” ucapku
“Lha boleh ndak? Atau kamu mau jadi bapak?” ucap mbak erlina
“yah jangan dong mbak” ucapku memelas
“makanya... glek glek glek” ucap mbak erlina yang langsung menelan pil tersebut
“tanggal merah kok berangkat mbak?” ucapku
“namanya juga rumah sakit, ndak ada liburnya kecuali kalau ada yang mau gantian shift” ucap mbak erlina yang berdiri dan berjalan ke arahku, da kemudian duduk di bawahku
“ndak enak ya kerja dirumah sakit, masa libur-libur berangkat?” ucapku menggodanya
“enak ndak enak ya enak, kan ada kamu yang ngenakin mbak hi hi hi” goda mbak erlina, yang tak kuhiraukan karena pandanganku menjadi kosong
“euy jangan melamum, mikirin apa?” ucap mbak erlina menepuk pahaku
“eh itu mbak...” ucapku kemudian menceritakan mengenai di tukang, aspal dan juga pertemuan di malam tahun baru itu. Semua aku ceritakan secara detail hingga pertemuanku dengan bu dian
“asyik tuh ketemu permaisurinya hi hi hi” ucapnya
“mbaaaaaaaaaak” ucapku sambil memerosotkan tubuhku dan sekarang duduk bersebelahan dengan mbak erlina
“hm... mbak komen masalah ceweknya nanti ya, tapi sebenarnya apa yang ingin kamu ketahui?” ucap mbak erlina
“tentang semuanya...” ucapku
“hmm...” gumamnya kemudian menyandarkan kepalanya di bahu mereka
“seperti yang kamu ketahui, tapi yang jelas semua yang aku ketahui tentang mereka sudah kamu ketahui. Komplotan mereka, korupsi uang negara, narkoba, dan pesta seks, bahkan aku tidak menyangka bahwa dua orang dari mereka akan menjadikan anak mereka sendiri sebagai pelayan mereka”
“hanya rekaman itu yang aku punya, dan ayahku hanya bercerita mengenai mereka tidak detail. Seperti yang sudah aku ceritakan kepadamu. Atau kamu ingin tahu si buku?” ucap mbak erlina membuatku sedikit terkejut
“eh... darimana mbak tahu mengenai si buku?” ucapku terkejut
“sudah... ndak papa ar, mbak sudah tahu mengenai komplotan mereka. mereka berjumlah lima orang, tapi salah satu dari mereka akan disingkirkan” ucap mbak erlina santai
“tapi darimana mbak tahu mengenai si buku?” ucapku memaksa
“dari percakapannya dengan anaknya” ucapnya datar
“eh... jadi mbak tahu kalau anak si buku adalah...” ucapku terpotong
“mbak ara, ara medita kan?” ucap mbak erlina datar
Aku hanya mampu terdiam, tak dapat berkata-kata lagi.
“selamatkan dia...” ucapnya
“eh...”ucapku
“mbak tahu ayahnya adalah komplotan mereka, tapi tidak seburuk mereka berempat. Mbak berterima kasih kalau salah satu dari mereka sudah mati, tinggal tiga lagi. Tapi mbak sarankan lebih baik kita pergi dari daerah ini, daripada kamu mati konyol. Semalam kamu hampir tertembak bagaimana kalau besok?” ucap mbak erlina
“tetap hidup...”
“apa mbak menaruh dendam kepada mbak ara?” ucapku
“tidak... dia juga baik sama mbak, dia yang memberikan pekerjaan kepada mbak. Lagipula si buku bukan penjahat sepenuhnya seperti mereka dan...” ucapnya terpotong
“sebenarnya aku tidak ingin menolongnya mbak...” ucapku
“eh... kenapa?” ucapnya terkejut
“karena si buku adalah orang yang hampir memperkosa ibuku waktu aku SMA dulu, tapi entah mengapa aku mau menolongnya” ucapku
“ehem...” mbak erlina tersenyum kepadaku
“itulah namanya ksatria sayangku, sekalipun dulu pernah tersakiti tapi tetap mau memaafkan” ucapnya
“eh... mbak bisa saja, aku arya buka ksatria” balasku
“adikku tambah ganteng deh kalau lagi serius gini hi hi hi” ucapnya sambil mentowel pipiku
“apaan sich mbak? Uh...” ucapku judes
“marah ni marah hi hi hi” ucapnya
“Dian bagaimana?” lanjutnya
“ya ndak bagaimana-bagaimana? Mbak cemburu kan?” ucapku
“ngapain coba cemburu, kan kamu sudah jadi adik mbak” balasnya
“kalau seandainya aku jadi sama cewek lain?” ucapku
“Ndak papa sayangku, mbak sudah punya alan, dan sekalipun dia pergi mbak juga tidak akan mengejar kamu. kamu sebagai adik mbak sudah membuat mbak bahagia. Tapi...” ucap mbak erlina
“tapi apa mbak?” ucapku
“tapi sebelum ini jadi punya dian, mbak mau mainan ini dulu” ucapnya sambil memaksa membuka celanan jeansku
“mbak... mbak eh ufthhhhhhhhhhhhhh...” akhirnya aku kalah juga, dedek arya langsung dikulumnya dengan ganas, kakiku berselonjor ke depan dan tangan kananku mengelus-elus rambutnya
“mbak pengen lagi?” ucapku tapi dijawabnya dengan menggelengkan kepala, bibirnya masih asyik mempermainkan dedek arya
Dengan menahan nikmat, aku menyulut kembali batang dunhill. Sambil tangan kananku mengelus-elus kepala mbak erlina, aku merokok dan kubuang keluar jendela asapnya. Layaknya seorang raja yang di layani oleh selirnya. Kepala mbak erlina seakan-akan memompa dan memberikan servis terbaik dari mulutnya. kubuang sebatang dunhill yang telah berubah menjadi asap, tanganku kemudian berubah menjadi nakal dan mulai menelusup kedalam tank-top mbak erlina. Kumainkan puting susunya, hingga akhirnya aku meremasnya dengan sangat kuat
“mbak, aku mau keluar...” ucapku dan dibalasnya dengan pompa bibirnya yang lebih menggila lagi
Croot croot croot croot croot croot croot croot croot croot
Tumpah ruah, semua peju di mulut mbak erlina. Tubuhku sedikit menjadi lemas, tanganku kutarik lagi dan mengelus-elus kepala mbak. Seakan-akan terasa sesuatu telah lepas dari tubuhku, keluar dengan penuh kenikmatan. Dengan telaten mbak erlina membersihkan semua sperma yang keluar dari dedek arya. sebagian telah ditelannya sedangkan yang bercecer di mulutnya dan dedek arya dibersihkannya.
“Slurrrp.... mmm... pokoknya kalau kamu belum punya cewek, mbak harus dikasih jatah terus lho..” ucap mbak erlina sambil mengulum jarinya dan duduk disampingku
“segitunya sih mbak?” ucapku
“ya, ini kan bentuk terima kasih mbak sekaligus pengabdian mbak kepada adikku yang jomblo dan selalu galau hi hi hi” godanya
Kami terlibat obrolan-obrolan ringan, kupakai kembali celanaku dan baru aku ketahui kos mbak erlina sedang sepi dikarenakan semua penghuni kos pulang kampung pada tahun baru ini. lama kami mengobrol hingga malam menjelang, mbak erlina kemudian memakai gamis terusan dan keluar dari kamarnya untuk menyediakan makan malam bersama. Kulihat kerudung dan gamisnya tampak membuat dia begitu seksi, membuat aku semakin terbakar. Gamisnya jika aku lihat tampak sekali memperlihatkan lekuk tubuhnya, benar-benar sangat ketat gamis yang dikenakannya dan juga memperlihatkan tonjolan puting mbak erlina yang tidak tertutup oleh kerudung. Kulihat di dapur mbak erlina sedang meracik bumbu untuk dimasak, kudekati perlahan dan kupeluk dari belakang.
“Aku pengen ngentot kamu lagi mbak...” ucapku pelan
“Hmmmm... iiih ngomongnya jorok adikku ini, dasar! Mbak tuh mau masak tahu!” ucap mbak erlina, tanpa persetujuannya aku singkap gamis mbak erlina dan kulorotkan CD-nya
“slurp... slurpp... ck ck ck ck ck...” suara jilatanku dan kocokan jariku sudah meramaikan suasana sepi ini
“Erghh... adeeek nakal banget, itu memek mbak diapain ughh... mbak mau masak... ughhhh... terus lebih keras lagi... masukin saja kontol kamu yang besar itu erghhh....” ucap mbak erlina yang sudah mulai terbakar, aku kemudian berdiri dan kupelorotkan celanaku, dan...
“Ergh... terus... buat mbakmu keluar pejuhi mbak untuk ketiga kalinya ugh.... mmmhh... terus tersuh lebih keras lagih sayanghhhh adikku ngentot memek mbaknya... ughh... entot memek mbakmu terushh...” racaunya semakin liar, kupeluk tubuhnya dan kugoyang lebih keras lagi dan lagi. Lama sekali aku menggoyang dengan kedua tangan mbak erlina yang semula memegang alat dapur dilepas semua.
“mbak, ugh benar-benar nikmat....” ucapku
“nikmathhh... ngentoti cewek berkerudung ya dek ughh...” racaunya
“iya mbak... “ ucapku semakin keras dan kuhentakan lebih keras lagi
“owh dek, lebih keras emhhh... susu mbak jangan kamu anggurin sayang arghhh...” racaunya yang kemudian tanganku meremas payudara mbak erlina
“mbak seksi...” ucapku
“ergh ergh ergh... he’em... mbak sengaja pakai gamis kekecilan biar kamu horny sayang, biar kamu tubruk mbak lagi, biar kamu entoti memek mbak lagi terus... lebih keras, mbak ingin lebih... lebih lagi ooooohhh...” racaunya
“mbak kelu.... egh egh eg hegh ar...” ucapnya dengan tubuh sedikit mengejang
Aku rasakan kembali cairan hangat dari vagina mbak erlina, kubalikan tubuhnya dan ku sandarkan tubuhnya di meja dapur. Kuarahkan kembali dedek arya ke liang vagina mbak erlina.
“agh... kamu benar-benar egh... kocok kontol kamu di memek mbakmu, ini oghh... kontol kamu merajam memek mbak aish erghh... terushhh...” ucap mbak erlina, dimana vaginanya aku tusuk-tusuk dengan dedek arya
“mbak sangat seksi, aku suka mbak kalau pakai gamis seksi ini argh enak sekali memek kamu mbak” ucapku sambil terus menggoyang pinggulku
“Egh egh egh egh... terus pejuhin mbak ergh... mbak sudah tidak bisa mengontrol tubuh mbak, tubuh mbak butuh kontol kamu owh... yah terus mbak hampir sampai lagi” ucapnya yang membuatku semakin keras menggoyang pinggulku. Lama berselang...
“pejuhku mau keluar mbak” teriakku tertahan
“keluarkan mbak juga hampir sampai, pejuhin mbak sayang” balasnya
Crooot crooot croot crooot croot crooot croot crooot
Aku keluar dan begitu juga mbak erlina, tubuhnya mengejang bersama dengan tubuhku yang mengejang beberapa kali. kupeluk tubuhnya dan kucium bibirnya dengan sedikit elusan di kepalanya yang tertutup kerudung. Akhirnya setelah pertempuran sangat lama dengan posisi kesayanganku ini, aku bisa memuaskan seorang wanita berkerudung. Sensasi yang luar biasa bagiku. Aliran spermaku bercampur dengan aliran cairan hangat milik mbak erlina
“Ugh... kamu paling bisa bikin mbak keluar... sudah adikku, nanti lagi... mbak masak dulu ya” ucapnya
“he’em yang enak ya mbak... muach” ucapku sambil mencium kepala bagian belakangnya
“iya, tuh lihat paha sama gamis mbak jadi basah tuh, dasar nakal” ucap mbak erlina
“kapan-kapan tak basahi semuanya deh he he he” ucapku
“he’em... boleh adikku hi hi hi” ucapnya
Aku sudahi permainan ini dan bersih-bersih di kamar mandi kos mbak erlina. Selang beberapa saat kemudian kami makan bersama, tampak mesra memang walau kami buka sepasang kekasih. Lama kami bersama hingga akhirnya aku harus pulang, bagaimana tidak sebenarnya aku masih ingin disini namun karena mbak erlina mendapatkan sms kalau alan sedang menuju ke kos mbak erlina. Dan sekarang posisi masih di bandara ibu kota negara, hanya butuh kira-kira 60 menit untuk sampai di daerahku ini. mbak erlina kemudian membersihkan kamar sekaligus dapur, memasukan semua pakaian seksnya kedalam mesin cuci.
“mbak aku pulang dulu” ucapku sambil memeluknya dan mencium bibirnya
“mmmhh... sudaaaaaaah... kapan-kapan lagi ya, nanti mbak bakal pakai pakaian kesukaanmu itu hi hi hi mucah...” ucapnya sambil mengecup bibirku
Akhirnya aku pulang kerumah, rumah yang sepi tanpa ada penghuni dalam rumah. Segera aku ke kamar dan berbaring di tempat tidurku, ku raih telepon pintarku ini dan kutelepon ibu. (yang bercetak tebal adalah diah ayu pitaloka)
“Ada apa sayang”
“lagi ngapain bu?”
“ini lagi kumpul bareng tante kamu.... jomblooooooooooooo...” (terdengar teriakan tante ratna)
“ih apaan sih itu tante! Bilangin ke tante bu, dasar pemain sinetron abal-abal he he he”
“eh apa kamu bilang? Aku hajar kamu kalau kesini” (tiba-tiba suara berubah menjadi suara tante)
“Sudah-sudah... bentar sayang”
“iya bu”
“ada apa?” (suara tenang hening tidak ramai seperti sebelumnya)
“tanya kabar ibu saja”
“kamu sendiri bagaimana? Apa yang terjadi?”
“begini bu...” (aku kemudian menceritakan semua percakapan ayah dan kejadian yang menimpaku)
“benarkah itu? Terus ibu dan yang lainnya harus bagaimana sayang?”
“aku juga masih bingung...” (kemudian aku teringat liburan awal tahu)
“Bagaimana kalau pada bulan kedua ibu dan keluarga besar liburan saja, tapi di awal ibu mengajak romo dulu biar tidak mencurigakan”
“iya benar juga tapi...”
“tapi kenapa bu?”
“ibu kangen sama anak ibu, kan rencananya masih lama, ibu mau ketemu sama anak ibu dulu ya, kayaknya ada banyak cerita”
“iiih ibu, manja deh, iya ibu pulang dulu saja ndak papa”
“arya juga kangen sama ibu”
“iya besok ibu pulang sayang, kamu jaga rumah ya”
“iya bu” tuuuuuut
Akhirnya telepon terakhir dari ibu membuatku terlelap dalam lelahnya malam. Tak ada mimpi indah dimalam ini kecuali lelah dalam lelapku. Aku masih ingin tidur dan bermimpi indah tentang seorang wanita yang telah mencuri organ dalam tubuhku, entah mau dibawa kemana tapi yang jelas aku menginginkan dia untuk terus membawanya. Dian... dian... aku masih malu mengatakannya. Tiba-tiba saja timbul rasa bersalahku kepada dian entah kenapa wanita itu seakan-akan memiliki penawar untuk kegilaanku? Diaaaaan... dian... hufth.... zzzzz... zzzz...
0 komentar: