WILD LOVE???? #16
Di tempat dimana aku pernah mengajak dosenku yang dikala itu membuat aku terbang ketika pertama kali dia mengajakku makan. Namun dipertemuan keduaku di tempat ini, tempat dimana awal aku mulai merasakan sakit darinya, ya tempat ini adalah awal kebingungan atas sikapnya yang kemudian diteruskan dibalik pohon ketika aku melihat seorang laki-laki melamarnya. Hening sesaat ketika dia sudah hadir di tempat ini. entah kenapa malam ini sinar rembulan walau tidak sempurna menyinarinya, dia tampak anggun dan indah. Wanita itu duduk di ujung bangku taman sedangkan aku duduk di ujung bangku satunya lagi. Hembusan angin malam tidak begitu dingin di tempat ini namun bisa membuat bulu kuduk berdiri.
“Ar....” ucapnya setelah kami berdiam diri sebentar
“iya bu...” ucapku sambil menoleh dan tersenyum kepadanya
“engg... kemarin nilai PKL kamu A dari perusahaan” ucapnya
“Owh iya bu, beruntung berarti saya bu kan jarang ada yang dapat nilai A” jawabku
“Enak ya PKL di tempat Echa?” ucapnya
“Enak bu, ya sudah ada beberapa yang kenal disana, ada dua orang adik kelasku namanya encus dan yanto bu” ucapku, buat apa aku menyebutkan nama mereka
“owh... rame dong disana?” ucapnya
“Iya...” ucapku singkat. Percakapan basa-basi ini membuatku sedikit tidak sabaran
“maaf bu, boleh saya bertanya?” ucapku sambil memiringkan duduku menghadap ke arahnya
“Eh.. iya” ucap Bu Dian, kedua tangannya diletakan di sebelah paha luarnya, dijadikan tumpuan tubuhna. Bu dian kemudian menoleh ke arahku.
“Maaf bu, sebenarnya pertemuan kita ini untuk membahas apa ya bu? Dilihat dari sudut pandang manapun kelihatannya bu dian tidak perlu bertemu dengan saya bu, karena ibu adalah dosen saya dan juga sudah mempunyai tunangan, istilah orangn dulu ora ilok (ndak bagus) bu” ucapku
“Eh... karena...” ucap bu Dian
“apa bu?” ucapku
“Ayo katakan sesuatu kepadaku bu? Katakan apa yang ada didalam hati dan pikiranmu agar aku tidak selalu menebak” bathinku sambil memandangnya penuh harap
“ya karena, kamu mahasiswaku dan aku sebagai dosen kamu tidak ingin mahasiswaku jauh dari aku saja. Nanti dikira aku dosen killer ehem....” ucapnya sambil memandang bulan tak sempurna itu
“Jawaban formal yang benar-benar tidak aku sukai, ngomong saja ngapa?” bathinku
“Owh...” ucapku kembali duduk menghadap ke depan melihat bulan tak sempurna itu, hening sesaat
“Bu, jika memang itu alasannya kita tidak perlu bertemu seperti ini, tidak enakan sama pak felix” ucapku
“Aku dan dia sudah selesai Ar, kenapa juga kamu merasa tidak enak dengan dia?” ucapku
Aku meoleh ke arahnya dengan mulut terbuka. Seperti orang terhipnotis aku memandangnya dengan tatapan kosong
“Hei biasa sajalah, kenapa kamu itu?” ucapnya
“Eh...” aku kembali sadar dan sedikit salah tingkah
“Ya kaget saja, padahal waktu nglamar bu dian kan romantis banget” ucapku sekenanya dan kembali memandang bulan tak sempurna itu
“Namannya juga ndak cocok” ucapnya. Suasana kembali hening dan angin kembali berbicara di sela-sela perbincangan kami berdua
“Bu...” ucapku sambil kembali menoleh ke arahnya, dia hanya menjawab dengan anggukan tanpa menoleh ke arahku seakan tahu aku menoleh kearahnya. Senyumannya memandang bulan tak sempurna itu tampak bersinar
“Bisa kita pulang?” ucapku
“Eh kenapa?” ucapnya
“karena sudah tidak ada yang kita bicarakan lagi” ucapku
“eh... masih ada ar” ucapnya
“Apa? Mbak diah? Iya?” ucapku, dia hanya mengangguk
“jika alasan ibu tidak ingin jauh dari mahasiswanya, ibu tidak perlu membahas masalah pacar mahasiswanya kan? Dan itu sangat tidak relevan dan valid, jika dianalisis secara kuantitatif (analisa berdasarkan jumlah) tidak akan ketemu bu” ucapku santai dan sok kimia
“sok kimia kamu itu” ucapnya, aku hanya diam menunggu jawaban
“Ya kan aku harus tahu, paling tidak itu tidak mengganggu TA kamu” ucapnya menghindar
“Malah ndak mengganggu bu, selalu ada support bu, makannya saya hampir selesai dan bisa meninggalkan univ secepatnya” ucapku
“Eh...” bu dian kini menundukan kepala
“Lebih baik kita pulang bu, karena sudah tidak ada yang kita bicarakan lagi” ucapku sedikit kesal
“Masih ada ar, masih itu... aku mau minta...” ucapnya terpotong
“Lho kok pada diem saja?” ucap seorang wanita dari belakang kami da tidak begtu asing bagiku. Aku kemudian menoleh ke belakang dengan wajah kaget begitu pula Bu Dian, Ibu.
“Mbak Diah... eh itu mbak... maaf kalau...” ucap Bu Dian yang sedikit ketakutan
“Eh... kenapa kok?” ucapku sedikit kaget
“Sudah jangan kaget begitu dong kalian, kaya lihat setan saja” ucap Ibu
Ibu kemudian melangkah berputar ke arahku, tepat di depanku di daratkannya kecupan di keningku dengan jari menyilang di bibirku. Kulirik Bu Dian, wajahnya tampak seidkit berbeda. Ibu kemudian duduk disampingku, menghadap ke Bu Dian dan sedikit bersandar di lenganku. Aku hanya diam tak bisa bicara karena ibu sudah mengisyaratkan aku untuk diam. Ibu memakai kaos lengan panjang tanpa belahan di lehernya yang longgar, dan rok hingga dibawah lutut serta tas dengan tali panjang yang menggantung di bahunya.
“Kenapa yan?” ucap Ibu
“Eh ndak papa kok mbak” ucap bu dian
“Wajahnya kok beda, tadi kelihatan senang waktu ketemu arya” ucap Ibu
“Maaf mbak... sebenarnya aku Cuma mau ngobrol sama arya bukan maksud aku...” ucap bu dian
“Ngobrol apa ngobrol? Kok berduaan? Disini lagi, romantis banget” ucap Ibu
“Maaf mbak bukan maksudku untuk merusak hubungan mbak dengan arya...” ucap bu dian, tampak dari samping ibu hanya tersenyum melihat tingkah bu dian
“mmm... mungkin sebaiknya aku pulang mbak, maaf sekali lagi mbak” ucap Bu Dian
Bu Dian lalu berdiri dan sedikit membungkukan badan ke arah Ibu, aku melihatnya hanya sedikit aneh saja dengan tingkahnya. Ibu dengan sedikit menggeser duduknya menarik tangan bu dian. Dengan senyuman khas Ibu, ditariknya dengan lembut tangan bu dian hingga dia duduk kembali.
“Sudah ndak papa, disini dulu, kamu takut aku putus sama arya ya yan? Gara-gara kamu ketemuan?” ucap Ibu
“Eh...” bu dian yang kini duduk hanya mengangguk
“Aku tidak bakalan putus sama arya yan” ucap Ibu, bu dian hanya tersenyum dan mengangguk walau tidak memandang ibu
“Karena aku punya hubungan lebih dari seorang pacar” ucap Ibu
“Eh, berarti mbak diyah sudah...?” ucap Bu Dian dengan isyarat tangan yang memperlihatkan gerakan memasukan cincin ke jari manis kiri
“ehm ehm ehm ehm” ibu tertawa tertahan, Bu Dian hanya terheran-heran. Tiba-tiba, ibu bangkit dan duduk di dekat bu dian
“Rambut kamu itu sering disisir ya yan, jelek kalau begini ini”
“terus, lipstiknya ndak usah tebal-tebal ya sayang” ucap Ibu yang berlagak seperti tukang rias
“Eh mbak..” ucap bu dian
“Kenapa? aku dulu sudah pengen banget punya anak cewek, tapi ya mau bagaimana lagi, setelah arya lahir, ayahnya ndak mau punya anak lagi” ucap Ibu yang masih sibuk menata rambut bu dian
“Jadi... mbak itu...” ucap Bu Dian
“Apa? Pacarnya? Makasih lho ya sudah panggil mbak, jadi merasa lebih muda lagi” ucap Ibu santai sambil kedua tangannya memainkan pipi Bu Dian
“Eh bukan, berati mbak itu ibunya arya?” ucap bu dian yang tidak mempedulikan ibu merias wajahnya itu
“iya sayangku hi ...” jawab ibu dengan sedikit terkekeh-kekeh
“maaf mbak, eh tante...” ucap bu dian
“ndak papa lho dipanggil mbak hi hi hi, seneng banget masih ada yang melihat aku sebagai gadis muda” ucap ibu terkekeh
“iiih kamu itu cantik banget cup cup” ucap ibu yang kemudian mencium pipi kanan dan kiri bu dian
“eh iya mba... eh tante terima kasih” ucap bu dian
“Ya sudah aku pulang dulu yan cup cup cup” ucap ibu yang kemudian menciumi pipi kiri, kanan dan kenning bu dian
“Sayang, pacarmu ini mau pulang dulu hi hi hi cup” ucap Ibu yang kemudian mengecup keningku
“Ibu apaan sih” ucapku
“dadah... ingat ar, jangan pulang malam kasihan dian” ucap Ibu yang kemudian melangkah, tampak sebuah taksi sudah menunggu ibu. Dan setelahnya ibu naik taksi dan kemudian menghilang hanya tinggal kami berdua. Kami berdua tampak seperti orang yang terkena permainan tommy rafael (master hipnotis) memandang ibu dari awal hingga dia menghilang.
Kembali kami berdua disini, ditempat yang masih sama seperti sebelumnya. Dengan hiasan sinar rembulan malam bersama kami. kulirik wajah bu dian tampak sedikit tersenyum. Raut wajahnya 180 derajat berubah total jika dibandingkan sewaktu ibu hadir di awal tadi. Kenapa juga Ibu membongkar identitasnya, kalau begini kan jadi susah, aku ndak punya alasan lagi kalau ada apa-apa ke depannya.
“ternyata benar seperti yang aku duga... ehem...” ucapnya sambil tersenyum yang masih memandang bulan tak sempurna itu
“Benar apanya bu?” ucapku sedikit menoleh ke arahnya
“tante diah bukan pacar kamu kan, tapi bolehkah aku tahu.. emmm...”
“kenapa tante diah mengaku sebagai pacar kamu?” ucap bu dian
“itulah ibuku, dia selalu mengaku sebagai pacar aku bu setiap kali ada seorang cewek kerumah bersamaku, hanya untuk melihat keseriusan dari si cewek” ucapku
“maksudnya?” ucap bu dian
“ya, maksudnya kalau memang serius mau jadi mantunya ya harus berani face to face sama ibu, bicara ke ibu gitu” ucapku yang mengingat kata-kata ibu, dimana ibu pernah berkata padaku jika aku punya pacar. Pacarku harus berhadapan dengan ibu dan berbicara langsung dengannya perihal hubungannya dengan aku.
“oh... begitu, tapi ibumu cantik dan menyenangkan ya?” ucapnya
“iya..” jawabku singkat
“Seandainya saja aku punya ibu seperti tante diah, hmmm... pasti menyenangkan” ucapnya
“Eh...”
“Bu, sudah saja lebih baik kita pulang, karena kelihatannya sudah tidak ada lagi yang harus dibicarakan dan akan saya usahakan TA saya cepat selesai, agar mahasiswa ibu ini tidak membuat ibu pusing lagi” ucapku menyela
“Can we...”
“Re-Starting all over again?” ucapnya tiba-tiba tanpa menjawab pertanyaanku
“Eh... maksud ibu apa?” ucapku
“Ya kembali memulai dari awal lagi” ucapnya
“Apa yang dimulai dari awal lagi bu?TA-nya? Jangan bu... kan TA saya sudah benar semua tinggal bimbingan dan ujian” ucapku
“bukan TA, ar...” ucapnya
“terus apa bu?” ucapku
“Aku ingin kita seperti awal lagi ar, seperti ketika kita pertama kali bekerja sama mengerjakan Karya tulis ilmiah hingga kita bisa makan malam bersama, dan... ”
“Aku harap kamu bisa melupakan semua kejadian setelah makan malam itu” ucapnya yang kemudian berdiri dan bergerak kearahku
“Cup...” ciuman mendarat di pipi kiriku tapi tidak membuatku kaku seperti dulu lagi, kemudian Bu Dian melangkah bergerak meninggalkan aku
“jujur saja bu, aku tidak mengerti bu....” ucapku, bu dian lalu berbalik dan memandang ke arahku
“Suatu saat kamu akan mengerti, tapi bukan sekarang. Aku ingin memperbaiki hubungan kita agar semuanya baik dari awal ar, dan aku berharap kamu bisa kembali seperti dulu lagi. Agar tidak terjadi kesalah pahaman lagi, dan...” ucapnya terpotong, Bu Dian menghela nafas yang panjang
“Dan apa bu?” ucapku
“Dan... aku harap kita bisa selalu membicarakan apapun itu jika suatu saat terjadi kesalah pahaman” ucapnya
“Bu Dian... Bu Dian... Ibu itu aneh sekali” ucapku
“Maksud kamu?” ucapnya
“Bu, coba ibu ingat-ingat lagi, kita itu dosen dan mahasiswa bu, sampai kapanpun juga seperti itu, kenapa juga kita harus memperbaiki hubungan kita, membicarakan kesalah pahaman dan lain-lain. Kalau kita pacaran terus balikan mungkin itu bisa kita lakukan, sedangkan saat ini saya bukan apa-apanya bu dian, kenapa harus seserius itu bu? Kan malah lebih baik, ibu sebagai dosen saya dan saya sebagai mahasiswa ibu, masing-masing dari kita menjalani kehidupan kita masing-masing. Hubungan dosen dan mahasiswa kita lanjutkan secara normal, dan tidak per...” ucapku terpotong
“mungkin di awal kita memulai kita dosen dan mahasiswa tapi kita tidak tahu di akhir” ucapnya yang kemudian berbalik membelakangiku
“Bersikaplah lebih dewasa lagi ar, karena aku yakin kita bisa membuat semuanya lebih baik lagi” lanjutnya
“Ibu suka sama saya?” ucapku dengan PD-nya
“kamu jadi laki-laki pede sekali ar, memang kalau aku menemui seperti ini, aku suka sama kamu?” ucapnya sambil membalikan badannya lagi. Aku menjawab dengan mengangkat bahuku
“Dasar cowok! Pikirannya pendek!” ucapnya sambil membentak dan diakhiri senyuman
“Lha terus? Kenapa juga waktu itu ibu selalu menanyakan mbak diah, mbak diah terus?” ucapku
“Ya ndak tahulah kan aku Cuma pengen tahu saja, memang kalau cewek tanya ke cowok masalah pacarnya berarti cewek itu suka sama cowok yang ditanya?” ucapnya
“Ah... bingung aku bu bu...” ucapku
“Makanya kalau mikir jangan kejauhan” ucapnya
“Mending aku ngobrol sama mbak erlin, lebih jelas dan tidak membingungkan” ucapku
“Eh..."
“Owh... sekarang erlin yang akan kamu majukan kalau nanti aku ngeganggu kamu?” ucapnya
“Ndak, dia sudah aku anggap kakak perempuanku” ucapku sambil membuang muka
Trap trap trap... cup... aku langsung menoleh kembali ke arah bu dian yang kini sudah melangkah berbalik meninggalkan aku
“Aku hanya berharap setelah ini sesuai dengan harapanku” ucapnya meninggalkan aku
“Semoga saja tidak ada acara lamaran segala” ucapku yang kemudian berdiri dan membelanginya, kini posisi aku dan budian saling membelakangi
“cemburu ya? Hi hi hi kamu suka sama aku ar?” ucapnya
“he he ngapain juga cemburu, mahasiswa cemburu kok sama dosen, kasihan dosennya, mahasiswa kan bukan levelnya dosen” ucapku
“Hmmm... kalau cemburu bilang saja kenapa?” ucap bu dian
“Dosennya mungkin yang cemburu, nanya-nanya mbak diah, eh... terus langsung pulang waktu ada mbak erlin. Lagian ngapain coba dosen ngajak ketemuan mahasiswanya?” ucapku
“Hmm... wah iya ya, apa mungkin dosennya cemburu ya? Kayaknya ndak deh, kan tadi ada yang bilang kasihan dosennya kalau cemburu, ndak level” ucapnya
“ergghhhh... sudah bu, aku kalah, aku mau pulang dulu” ucapku
“Hm... yang kalah berarti yang cemburu” ucapnya, aku diam mematung sesaat
Aku dengan seketika membalikan badanku dan kulihat bu dian sudah melangkah jauh meninggalkan aku. Kulihat langkah anggunnya meninggalkan aku. Cara melangkah yang sangat indah sekali, mungkin ada sedikit ingatan akan lagu pop jadul.
“Ar....” ucapnya setelah kami berdiam diri sebentar
“iya bu...” ucapku sambil menoleh dan tersenyum kepadanya
“engg... kemarin nilai PKL kamu A dari perusahaan” ucapnya
“Owh iya bu, beruntung berarti saya bu kan jarang ada yang dapat nilai A” jawabku
“Enak ya PKL di tempat Echa?” ucapnya
“Enak bu, ya sudah ada beberapa yang kenal disana, ada dua orang adik kelasku namanya encus dan yanto bu” ucapku, buat apa aku menyebutkan nama mereka
“owh... rame dong disana?” ucapnya
“Iya...” ucapku singkat. Percakapan basa-basi ini membuatku sedikit tidak sabaran
“maaf bu, boleh saya bertanya?” ucapku sambil memiringkan duduku menghadap ke arahnya
“Eh.. iya” ucap Bu Dian, kedua tangannya diletakan di sebelah paha luarnya, dijadikan tumpuan tubuhna. Bu dian kemudian menoleh ke arahku.
“Maaf bu, sebenarnya pertemuan kita ini untuk membahas apa ya bu? Dilihat dari sudut pandang manapun kelihatannya bu dian tidak perlu bertemu dengan saya bu, karena ibu adalah dosen saya dan juga sudah mempunyai tunangan, istilah orangn dulu ora ilok (ndak bagus) bu” ucapku
“Eh... karena...” ucap bu Dian
“apa bu?” ucapku
“Ayo katakan sesuatu kepadaku bu? Katakan apa yang ada didalam hati dan pikiranmu agar aku tidak selalu menebak” bathinku sambil memandangnya penuh harap
“ya karena, kamu mahasiswaku dan aku sebagai dosen kamu tidak ingin mahasiswaku jauh dari aku saja. Nanti dikira aku dosen killer ehem....” ucapnya sambil memandang bulan tak sempurna itu
“Jawaban formal yang benar-benar tidak aku sukai, ngomong saja ngapa?” bathinku
“Owh...” ucapku kembali duduk menghadap ke depan melihat bulan tak sempurna itu, hening sesaat
“Bu, jika memang itu alasannya kita tidak perlu bertemu seperti ini, tidak enakan sama pak felix” ucapku
“Aku dan dia sudah selesai Ar, kenapa juga kamu merasa tidak enak dengan dia?” ucapku
Aku meoleh ke arahnya dengan mulut terbuka. Seperti orang terhipnotis aku memandangnya dengan tatapan kosong
“Hei biasa sajalah, kenapa kamu itu?” ucapnya
“Eh...” aku kembali sadar dan sedikit salah tingkah
“Ya kaget saja, padahal waktu nglamar bu dian kan romantis banget” ucapku sekenanya dan kembali memandang bulan tak sempurna itu
“Namannya juga ndak cocok” ucapnya. Suasana kembali hening dan angin kembali berbicara di sela-sela perbincangan kami berdua
“Bu...” ucapku sambil kembali menoleh ke arahnya, dia hanya menjawab dengan anggukan tanpa menoleh ke arahku seakan tahu aku menoleh kearahnya. Senyumannya memandang bulan tak sempurna itu tampak bersinar
“Bisa kita pulang?” ucapku
“Eh kenapa?” ucapnya
“karena sudah tidak ada yang kita bicarakan lagi” ucapku
“eh... masih ada ar” ucapnya
“Apa? Mbak diah? Iya?” ucapku, dia hanya mengangguk
“jika alasan ibu tidak ingin jauh dari mahasiswanya, ibu tidak perlu membahas masalah pacar mahasiswanya kan? Dan itu sangat tidak relevan dan valid, jika dianalisis secara kuantitatif (analisa berdasarkan jumlah) tidak akan ketemu bu” ucapku santai dan sok kimia
“sok kimia kamu itu” ucapnya, aku hanya diam menunggu jawaban
“Ya kan aku harus tahu, paling tidak itu tidak mengganggu TA kamu” ucapnya menghindar
“Malah ndak mengganggu bu, selalu ada support bu, makannya saya hampir selesai dan bisa meninggalkan univ secepatnya” ucapku
“Eh...” bu dian kini menundukan kepala
“Lebih baik kita pulang bu, karena sudah tidak ada yang kita bicarakan lagi” ucapku sedikit kesal
“Masih ada ar, masih itu... aku mau minta...” ucapnya terpotong
“Lho kok pada diem saja?” ucap seorang wanita dari belakang kami da tidak begtu asing bagiku. Aku kemudian menoleh ke belakang dengan wajah kaget begitu pula Bu Dian, Ibu.
“Mbak Diah... eh itu mbak... maaf kalau...” ucap Bu Dian yang sedikit ketakutan
“Eh... kenapa kok?” ucapku sedikit kaget
“Sudah jangan kaget begitu dong kalian, kaya lihat setan saja” ucap Ibu
Ibu kemudian melangkah berputar ke arahku, tepat di depanku di daratkannya kecupan di keningku dengan jari menyilang di bibirku. Kulirik Bu Dian, wajahnya tampak seidkit berbeda. Ibu kemudian duduk disampingku, menghadap ke Bu Dian dan sedikit bersandar di lenganku. Aku hanya diam tak bisa bicara karena ibu sudah mengisyaratkan aku untuk diam. Ibu memakai kaos lengan panjang tanpa belahan di lehernya yang longgar, dan rok hingga dibawah lutut serta tas dengan tali panjang yang menggantung di bahunya.
“Kenapa yan?” ucap Ibu
“Eh ndak papa kok mbak” ucap bu dian
“Wajahnya kok beda, tadi kelihatan senang waktu ketemu arya” ucap Ibu
“Maaf mbak... sebenarnya aku Cuma mau ngobrol sama arya bukan maksud aku...” ucap bu dian
“Ngobrol apa ngobrol? Kok berduaan? Disini lagi, romantis banget” ucap Ibu
“Maaf mbak bukan maksudku untuk merusak hubungan mbak dengan arya...” ucap bu dian, tampak dari samping ibu hanya tersenyum melihat tingkah bu dian
“mmm... mungkin sebaiknya aku pulang mbak, maaf sekali lagi mbak” ucap Bu Dian
Bu Dian lalu berdiri dan sedikit membungkukan badan ke arah Ibu, aku melihatnya hanya sedikit aneh saja dengan tingkahnya. Ibu dengan sedikit menggeser duduknya menarik tangan bu dian. Dengan senyuman khas Ibu, ditariknya dengan lembut tangan bu dian hingga dia duduk kembali.
“Sudah ndak papa, disini dulu, kamu takut aku putus sama arya ya yan? Gara-gara kamu ketemuan?” ucap Ibu
“Eh...” bu dian yang kini duduk hanya mengangguk
“Aku tidak bakalan putus sama arya yan” ucap Ibu, bu dian hanya tersenyum dan mengangguk walau tidak memandang ibu
“Karena aku punya hubungan lebih dari seorang pacar” ucap Ibu
“Eh, berarti mbak diyah sudah...?” ucap Bu Dian dengan isyarat tangan yang memperlihatkan gerakan memasukan cincin ke jari manis kiri
“ehm ehm ehm ehm” ibu tertawa tertahan, Bu Dian hanya terheran-heran. Tiba-tiba, ibu bangkit dan duduk di dekat bu dian
“Rambut kamu itu sering disisir ya yan, jelek kalau begini ini”
“terus, lipstiknya ndak usah tebal-tebal ya sayang” ucap Ibu yang berlagak seperti tukang rias
“Eh mbak..” ucap bu dian
“Kenapa? aku dulu sudah pengen banget punya anak cewek, tapi ya mau bagaimana lagi, setelah arya lahir, ayahnya ndak mau punya anak lagi” ucap Ibu yang masih sibuk menata rambut bu dian
“Jadi... mbak itu...” ucap Bu Dian
“Apa? Pacarnya? Makasih lho ya sudah panggil mbak, jadi merasa lebih muda lagi” ucap Ibu santai sambil kedua tangannya memainkan pipi Bu Dian
“Eh bukan, berati mbak itu ibunya arya?” ucap bu dian yang tidak mempedulikan ibu merias wajahnya itu
“iya sayangku hi ...” jawab ibu dengan sedikit terkekeh-kekeh
“maaf mbak, eh tante...” ucap bu dian
“ndak papa lho dipanggil mbak hi hi hi, seneng banget masih ada yang melihat aku sebagai gadis muda” ucap ibu terkekeh
“iiih kamu itu cantik banget cup cup” ucap ibu yang kemudian mencium pipi kanan dan kiri bu dian
“eh iya mba... eh tante terima kasih” ucap bu dian
“Ya sudah aku pulang dulu yan cup cup cup” ucap ibu yang kemudian menciumi pipi kiri, kanan dan kenning bu dian
“Sayang, pacarmu ini mau pulang dulu hi hi hi cup” ucap Ibu yang kemudian mengecup keningku
“Ibu apaan sih” ucapku
“dadah... ingat ar, jangan pulang malam kasihan dian” ucap Ibu yang kemudian melangkah, tampak sebuah taksi sudah menunggu ibu. Dan setelahnya ibu naik taksi dan kemudian menghilang hanya tinggal kami berdua. Kami berdua tampak seperti orang yang terkena permainan tommy rafael (master hipnotis) memandang ibu dari awal hingga dia menghilang.
Kembali kami berdua disini, ditempat yang masih sama seperti sebelumnya. Dengan hiasan sinar rembulan malam bersama kami. kulirik wajah bu dian tampak sedikit tersenyum. Raut wajahnya 180 derajat berubah total jika dibandingkan sewaktu ibu hadir di awal tadi. Kenapa juga Ibu membongkar identitasnya, kalau begini kan jadi susah, aku ndak punya alasan lagi kalau ada apa-apa ke depannya.
“ternyata benar seperti yang aku duga... ehem...” ucapnya sambil tersenyum yang masih memandang bulan tak sempurna itu
“Benar apanya bu?” ucapku sedikit menoleh ke arahnya
“tante diah bukan pacar kamu kan, tapi bolehkah aku tahu.. emmm...”
“kenapa tante diah mengaku sebagai pacar kamu?” ucap bu dian
“itulah ibuku, dia selalu mengaku sebagai pacar aku bu setiap kali ada seorang cewek kerumah bersamaku, hanya untuk melihat keseriusan dari si cewek” ucapku
“maksudnya?” ucap bu dian
“ya, maksudnya kalau memang serius mau jadi mantunya ya harus berani face to face sama ibu, bicara ke ibu gitu” ucapku yang mengingat kata-kata ibu, dimana ibu pernah berkata padaku jika aku punya pacar. Pacarku harus berhadapan dengan ibu dan berbicara langsung dengannya perihal hubungannya dengan aku.
“oh... begitu, tapi ibumu cantik dan menyenangkan ya?” ucapnya
“iya..” jawabku singkat
“Seandainya saja aku punya ibu seperti tante diah, hmmm... pasti menyenangkan” ucapnya
“Eh...”
“Bu, sudah saja lebih baik kita pulang, karena kelihatannya sudah tidak ada lagi yang harus dibicarakan dan akan saya usahakan TA saya cepat selesai, agar mahasiswa ibu ini tidak membuat ibu pusing lagi” ucapku menyela
“Can we...”
“Re-Starting all over again?” ucapnya tiba-tiba tanpa menjawab pertanyaanku
“Eh... maksud ibu apa?” ucapku
“Ya kembali memulai dari awal lagi” ucapnya
“Apa yang dimulai dari awal lagi bu?TA-nya? Jangan bu... kan TA saya sudah benar semua tinggal bimbingan dan ujian” ucapku
“bukan TA, ar...” ucapnya
“terus apa bu?” ucapku
“Aku ingin kita seperti awal lagi ar, seperti ketika kita pertama kali bekerja sama mengerjakan Karya tulis ilmiah hingga kita bisa makan malam bersama, dan... ”
“Aku harap kamu bisa melupakan semua kejadian setelah makan malam itu” ucapnya yang kemudian berdiri dan bergerak kearahku
“Cup...” ciuman mendarat di pipi kiriku tapi tidak membuatku kaku seperti dulu lagi, kemudian Bu Dian melangkah bergerak meninggalkan aku
“jujur saja bu, aku tidak mengerti bu....” ucapku, bu dian lalu berbalik dan memandang ke arahku
“Suatu saat kamu akan mengerti, tapi bukan sekarang. Aku ingin memperbaiki hubungan kita agar semuanya baik dari awal ar, dan aku berharap kamu bisa kembali seperti dulu lagi. Agar tidak terjadi kesalah pahaman lagi, dan...” ucapnya terpotong, Bu Dian menghela nafas yang panjang
“Dan apa bu?” ucapku
“Dan... aku harap kita bisa selalu membicarakan apapun itu jika suatu saat terjadi kesalah pahaman” ucapnya
“Bu Dian... Bu Dian... Ibu itu aneh sekali” ucapku
“Maksud kamu?” ucapnya
“Bu, coba ibu ingat-ingat lagi, kita itu dosen dan mahasiswa bu, sampai kapanpun juga seperti itu, kenapa juga kita harus memperbaiki hubungan kita, membicarakan kesalah pahaman dan lain-lain. Kalau kita pacaran terus balikan mungkin itu bisa kita lakukan, sedangkan saat ini saya bukan apa-apanya bu dian, kenapa harus seserius itu bu? Kan malah lebih baik, ibu sebagai dosen saya dan saya sebagai mahasiswa ibu, masing-masing dari kita menjalani kehidupan kita masing-masing. Hubungan dosen dan mahasiswa kita lanjutkan secara normal, dan tidak per...” ucapku terpotong
“mungkin di awal kita memulai kita dosen dan mahasiswa tapi kita tidak tahu di akhir” ucapnya yang kemudian berbalik membelakangiku
“Bersikaplah lebih dewasa lagi ar, karena aku yakin kita bisa membuat semuanya lebih baik lagi” lanjutnya
“Ibu suka sama saya?” ucapku dengan PD-nya
“kamu jadi laki-laki pede sekali ar, memang kalau aku menemui seperti ini, aku suka sama kamu?” ucapnya sambil membalikan badannya lagi. Aku menjawab dengan mengangkat bahuku
“Dasar cowok! Pikirannya pendek!” ucapnya sambil membentak dan diakhiri senyuman
“Lha terus? Kenapa juga waktu itu ibu selalu menanyakan mbak diah, mbak diah terus?” ucapku
“Ya ndak tahulah kan aku Cuma pengen tahu saja, memang kalau cewek tanya ke cowok masalah pacarnya berarti cewek itu suka sama cowok yang ditanya?” ucapnya
“Ah... bingung aku bu bu...” ucapku
“Makanya kalau mikir jangan kejauhan” ucapnya
“Mending aku ngobrol sama mbak erlin, lebih jelas dan tidak membingungkan” ucapku
“Eh..."
“Owh... sekarang erlin yang akan kamu majukan kalau nanti aku ngeganggu kamu?” ucapnya
“Ndak, dia sudah aku anggap kakak perempuanku” ucapku sambil membuang muka
Trap trap trap... cup... aku langsung menoleh kembali ke arah bu dian yang kini sudah melangkah berbalik meninggalkan aku
“Aku hanya berharap setelah ini sesuai dengan harapanku” ucapnya meninggalkan aku
“Semoga saja tidak ada acara lamaran segala” ucapku yang kemudian berdiri dan membelanginya, kini posisi aku dan budian saling membelakangi
“cemburu ya? Hi hi hi kamu suka sama aku ar?” ucapnya
“he he ngapain juga cemburu, mahasiswa cemburu kok sama dosen, kasihan dosennya, mahasiswa kan bukan levelnya dosen” ucapku
“Hmmm... kalau cemburu bilang saja kenapa?” ucap bu dian
“Dosennya mungkin yang cemburu, nanya-nanya mbak diah, eh... terus langsung pulang waktu ada mbak erlin. Lagian ngapain coba dosen ngajak ketemuan mahasiswanya?” ucapku
“Hmm... wah iya ya, apa mungkin dosennya cemburu ya? Kayaknya ndak deh, kan tadi ada yang bilang kasihan dosennya kalau cemburu, ndak level” ucapnya
“ergghhhh... sudah bu, aku kalah, aku mau pulang dulu” ucapku
“Hm... yang kalah berarti yang cemburu” ucapnya, aku diam mematung sesaat
Aku dengan seketika membalikan badanku dan kulihat bu dian sudah melangkah jauh meninggalkan aku. Kulihat langkah anggunnya meninggalkan aku. Cara melangkah yang sangat indah sekali, mungkin ada sedikit ingatan akan lagu pop jadul.
Lihat cara dia berjala oh mengagumkan oh mengagumkan
Ikutilah jalan pikirannya oh mengesankan oh mengesankan
Ingin sekali kutunjukkan betapa berarti senyumnya untukku
Ikutilah gerak jarinya, kau kan terkesan kau kan terkesan
Dengarlah dia bernyanyi, Kau kan terharu lalu membisu
Ingin sekali kukatakan, Betapa berarti tingkahnya bagiku
Karna aku slalu pasti mengagumi dengan hati
Di setiap jengkal indahnya, di setiap jengkal buruknya
Karna aku slalu pasti mengikuti lewat mimpi
Di setiap sudut terangnya, di setiap sudut gelapnya
Wanita? tanyakan pada wanita apa mau mereka. Tak ada yang mengerti tentang keinginan mereka. Coba saja mungkin dari sekian banyak laki-laki ada yang mengalami hal yang aneh ketika berhadapan dengan seorang wanita. Wanita itu indah, coba saja buka pakaiannya pasti indah, lha wong tidak dibuka saja kadang sangat indah apalagi dibuka. Wanita kadang sulit dipahami, itulah dia makannya wanita itu misterius tapi kalau sudah ada maunya harus dituruti. Benteng pertahanan laki-laki adalah wanita dan senjata paling mematikan untuk laki-laki adalah wanita. Coba lihat saja sejarah-sejarah, contohnya saja Napoleon bertekuk lutut dihadapan Cleopatra, padahal Napoleon bisa saja menaklukan semua wanita di Prancis. Satu laki-laki bisa menaklukan banyak perempuan tapi satu laki-laki itu juga pasti takluk terhadap satu perempuan. Lihat saja, laki-laki bujang nyari uang banyak akhirnya untuk nikah dan untuk semua wanitanya. Seandainya uangnya kebanyakan pasti buat beli mobil seporet, rumah mewah, motor keLen tapi apa hanya dengan itu saja hidup laki-laki lengkap? Pasti harus ada wanita kalau ndak istri ya cewek seksi yang ikut nunggangi mobil seporet, menghiasi rumah mewah, dan juga meluk si laki-laki ketika ngendarai motor kerennya. Hidup laki-laki ndak akan lengkap tanpa wanita, namanya juga “HP” butuh “flip cover”-lah. ah bodoh ah, itu hanya pendapatku saja jadi jangan di bahas lagi, pendapat yang tidak ada relevansinya sama sekali, tidak signifikan. Terus kenapa aku harus mengutarakan pendapatku? Arya... arya... bikin bingung saja. Tapi, kenapa wanita susah dimengerti? Contohnya saja laki-laki ketemu sama ceweknya yang lagi ngambek gara-gara menstruasi atau habis dimarahi ortu atau dimarahi dosen.
Cowok : sayang kenapa?
Cewek : ndak papa!
Cowok : cerita sama aku dong sayang, mungkin bisa meringankan beban pikiranmu
Cewek : aku bilang ndak papa ya ndak papa, kamu itu malah bikin bete
Cowok : maaf sayang, aku Cuma pengen kamu tersenyum
Cewek : yang bikin aku ndak bisa senyum itu kamu selalu tanya-tanya terus
Cowok : iya deh, aku diem sekarang
Cowok kemudian diam tak berani bertanya kepada si cewek
Cewek : kamu itu gimana to? Malah diem! Aku tuh lagi sedih habis dimarahi Ibu tadi, bukannya menghibur malah diem saja, dasar nyebelin! Ndak peka!
Cowok hanya mampu bengong seperti di tengah laut, ketimpa pesawat jet, di sapu ombak, di tabrak titanik, kebentur karang, diseret hiu, di setrum ubur-ubur, dilahap paus kemudian disemburkan keluar, terombang ambing lagi ditengah laut dan terakhir dihantam meteor!
Nah loh! Gimana coba kalau begitu? Apa coba yang harus aku lakukan? Mengungkapkan perasaanku sama dosen judes itu? Iya kalau suka, kalau ndak? Dari percakapan tadi, jujur saja aku menangkap sinyal kalau dia suka sama aku, tapi candaanya di belakang bikin ngedrop saja. Kembali memulai dari awal lagi? Emang kaset diputer ulang? Udah nancepin paku di kayu kamu cabut, ya jelaslah ada lubangnya. Kalau mau tutupin itu lubang, dia yang harusnya nutupin bukannya aku yang harus mengungkapkan kan? Emang aku cowok apapun? Dasar dosen judes!
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, memang seharusnya aku yang ngomong duluan ke Bu Dian. Tapi dia mintanya semuanya diperbaiki dulu dari awal. Memang Nagasaki dan Hirosima, habis di bom atom langsung dibangun lagi. Iya sich dibangun lagi, tapi coba lihat imbas radiasi nuklir yang mengenai orang-orang disekitarnya. Gen mereka berubah, bayi dalam kandungan lahir cacat, yang masih hidup tidak bisa menikah karena gen sudah berubah ditakutkan anak yang lahir dari pernikahannya cacat permanen. Bangunan memang bisa dibangun lagi woi! Tapi efek yang ditimbulkan sulit untuk diperbaiki woi! Dosen judes woi! Aku memang suka sama kamu, tapi kamunya itu judes, jutek minta ampun! Dian judes, dian jutek, dian jelek, dian jengkelin, dian dian dian dian dian kamu cantik aku suka. Argh!
Pagi menjelang, aku beranjak dari tempat tidurku. Tak ada yang dapat aku lakukan hari ini, karena harus menunggu teman sekampusku selesai PPL. Ya aku jurusan murni dan jurusan pendidikan biasanya harus menyelsaikan PPL-nya terlebih dahulu. KKN akan dimula secara bersamaan ya anak murni ya anak pendidikan. Untuk hari ini biasa setor cerita sama Ibu, biasa di ruang TV. Ayah? Kerjalah dinas ke lokalisasi mungkin.
“hi hi hi... berarti hmmmm....” ucap Ibu
“Apa bu?” ucapku
“Kamu jatahnya dikurangi ya sayang?” ucap Ibu
“lho kok begitu?” ucapku
“Sekarang ini kamu kan sedang memulai dari awal, jadi satu minggu sekali saja sama ibu ya?” ucap Ibu dengan tersenyum
“kan aku pengennya setiap hari” ucapku
“Iya kalau kamu ndak lagi pdkt sama cewek, lha ini kan kamu lagi pdkt sama dian. Dia suka lho sama kamu, dan Ibu juga sukaa sama dian hi hi hi” ucap ibu
“Cewek judes sekaligus membingungkan kaya gitu di pdkt-in bu bu” ucapku
“tapi kamu suka kan?” ucap Ibu
“suka sih suka, tapi kalau membayangkan dia jadi pacar atau istri aku, hancur duniaku” ucapku
“Cup cup cup... “ ucap Ibu
“pengen?” ucap Ibu
“He’em...” ucapku
“besok lusa saja ya, nunggu isinya penuh lagi hi hi hi” ucap ibu
“yah, ibu kok gitu, kan pengen” ucapku
“kan ada erlina” ucap ibu
“lebih baik aku dirumah saja bu” ucapku
“Tapi jangan perkosa ibu, kalau kamu maksa ibu ndak akan ada untuk hari selanjutnya. Dan tidak boleh merangsang ibu, awas! Kalau hari ini, itu masuk ke dalam ibu, selesai!” ucap dengan sedikit membentak. Seketika itu pula dedek arya menciut memilih untuk bertekuk lutu kepada vaginawatinya
“iya bu iya... arya janji ibuku sayang dindaku sayang” ucapku
“nah begitu sayang cup” ucap ibu dengan kecupan di bibirku. Ibu kemudian meninggalkan aku sendiri di ruang TV. centung. BBM. Bu Dian
(Ergh sok akrab ni si judes!)
Bener-bener memang ini dosen, kalau saja semalam ibu ndak dateng. Pasti dia ndak bakal sok akrab sama aku, dan aku bakal lebih enjoy lagi hari ini. enjoy dengan ibu, kentang banget hari ini. hufttt.... tiba-tiba
“Ibu apaan sih, kembalikan bu” ucapku meminta sematponku yang di rebut ibu
“Anak baik diam!” ucap ibu, seakan dihipnotis aku diam
“ihirrrr... akrab sama dosennya ya” ucap Ibu
“Akrab apaan bu? Judes kaya gitu di akrabin” ucapku sinis
“Ya sudah, jangan ngambek gitu, kalau ngambek gitu tandanya kamu itu sayang, cinta sama dian” ucap Ibu
“ah ibu, bikin bete saja” ucapku sambil bangkit mencoba meraih kembali sematponku
“eit ndak bisa-ndak bisa ha ha ha” ucap ibu sambil berlari menjauhiku
Aku berlari mengejar ibu di dapur, layaknya adik dan kakak kami main kejar-kejaran. Senyum mengembang, tawa meledak diantara kami. seakan-akan tak pernah ada kejadian buruk terjadi diantara kami. aku melihatnya seperti halnya seorang anak melihat seorang ibu. Hingga aku bisa memeluk ibu dan meraih kembali sematponku. Ibu kemudian membetet hidungku dengan gemas, aku hanya menjulurkan lidahku ke arah ibu. setelah lelah bermain kejar-kejaran di dalam rumah, aku dan ibu beristirahat di ruang TV kembali. Kebahagiaan terpancar di wajah kamu berdua. Kepalaku rebah di paha Ibu dan ibu membersihkan telingaku.
“iiih jorok banget, masa ada tempat pembuangan sampah di telinga?” ucap Ibu
“Yeee... itu bukan tempat pembuangan sampah bu, tapi rest area buat kotoran” ucapku
“emang mau mudik, pakai rest area segala hi hi hi” ucapnya
“paling bu, kotorannya lagi mudik ke telingaku nanti kalau arus balik paling hilang sendiri he he he” balasku
“kamu itu jorok” ucap Ibu
“makanya bu dibersihin doooong” balasku, tiba-tiba
“aw... Ibu apaan sih?” protesku yang tiba-tiba tangan ibu meremas dedek arya
“Lho kok tidur, padahal ibu sudah nempel-nempelin susu ibu dikepalamu lho” ucap ibu menggodaku
“jangan-jangan kamu... sudah ndak suka perempuan???” lanjutnya
“ndak tahu bu, seneng saja hari ini bisa bercanda dan tidak melulu membicarakan masalah berbau ex ex ex” ucapku
“Berarti kita mendekati kehidupan normal lagi sayang ehemmm...” ucap ibu santai
“mungkin bu, tapi bu...” ucapku
“We will back to normal, dear” ucap Ibuku, aku hanya tersenyum dengan pandangan ke arah TV
“After he’s gone” ucapku
“Yupz that’s right” ucap Ibu
Kami bercanda seperti biasanya, tak ada dalam pikiranku untuk menghunuskan dedek arya ke dalam tubuh ibu. Entah kenapa kali ini tampak berbeda, apakah karena pertemuan semalam dengan bu dian? Padahal jika aku memutar balikan waktu, seminggu yang lalu kami melakukannya dengan sangat ganas di dekat ayah. Namun kali ini aku merasakan hal yan berbeda. Mungkin memang adanya bu dian merubah segalanya. Aku pun terlelap dalam pangkuan ibuku hingga siang hari. Tepat pukul 13:00 aku bangun dan tak kudapati ibu di sofa. Aku kemudian bangkit dan kembali ke kamar, kulihat ibu sedang membersihkan pekarangan rumah. Selepasnya aku berganti pakaian, ingin rasanya keluar main. Aku turun dan menghampiri ibu di pekarangan belakang rumah.
“Aku mau main ke wongso bu” ucapku sambil mencium pipinya
“Iya hati-hati” ucap Ibu
“Ingat, ndak usah main-main lagi sama cewek lho, kasihan tuh yang didalem bisa pingsan tujuh turunan” ucap Ibu
“yee ibu bisa saja, aku berangkat dulu bu” ucapku
“Iya sayang, hati-hati pelan-pelan saja bawa motornya” ucap ibu
“oke ibu” ucapku
Dengan REVIA aku kembali ke jalanan daerahku. Kuhirup udara panas di daerahku yang bercampur dengan karbon dioksida dan karbon monoksida serta sedikit oksigen. Sudah jelaskan kenapa sekarang udara menjadi kotor? Banyak pohon yang ditebangi, industri dimana-mana menggusur zona hijau. Ditambah lagi makin banyaknya motor dan mobil yang berlalu lalang, memang sih ndak bisa disalahkan karena kita semua butuh transportasi yang memadai. Lama aku mengendarai motor, hingga akhirnya aku sampai di dekat warung wongso. Kulhat mobil yang tidak asing lagi bagiku, tapi sayang ingatanku buruk. Kuparkir motorku di depan warung wongso dan masuk ke dalam tanpa menoleh ke kanan dan kekiri.
“Kulonuwun (permisi)” teriakku dan semua pelanggan menoleh ke arahku
“O... lha wong edan (orang gila) pelan kenapa? memangnya di goa, teriak-teriak” ucap wongso
“Ya menawane (mungkin saja) kamu budeg wong” ucapku
“Lihat telingaku masih normal” ucap wongso sambil memperlihatkan telinganya
“Iya itu, dasar orang katrok!” ucap seorang wanita di belakangku, aku menoleh ke arah belakang
“Huh, mau katrok atau ndak, bukan urusan situ kali” ucapku, wongso hanya bengong melihat perdebatan kami
“Ya memang bukan urusan aku, tapi mbok yaho tahu sopan santun kenapa, dasar preman takut setan” ucap Bu Dian, aku tak menggubris kata-kata dari si judes ini
“Bu’e (ibu)... lama tak jumpa bu” ucapku sambil menghampiri ibunya wongso, segera aku mencium tangan ibunya wongso. Disitu juga ada asmi yang sedang membantu ibunya wongso berjualan.
“Lho As, ndak kuliah?” ucapku
“Kan habis PKL Ar, kamu sendiri?” ucap asmi
“sama saja, habis PKL, seneng deh PKL sudah selesai, nilai sudah keluar dan juga ndak perlu ketemu DE-PE-EL ku lagi, seneng bangeeeeeeeeeet rasanya ndak ketemu DE-PE-EL ku lagi As” ucapku dengan suara menekan pada kata DPL
“Lho ar, DPL kamu itu kan... kan... kan....” ucap wongso yang aku lihat menggerakan bola matanya ke arah bu dian
“ada apa kamu wong? DE-PE-EL-ku itu kan dah ndak ada urusan sama aku lagi” ucapku
“Enak saja, aku bisa rubah nilai kamu sekarang juga! Huh!” ucap bu dian yang sekarang tampak lebih judes, tanpa menghiraukannya aku langsung ambil makanan
“makan dulu ahhhhh...” ucapku santai. Wongso, asmi dan ibunya wongso tampak terheran-heran melihat sikap kami berdua.
“Aku makan di teras rumah kamu saja wong, takut makan disini, ada yang nggigit nanti” ucapku langsung ngeloyor ke belakang warung. Belakang warung wongso adalah rumahnya.
“Arya!’ teriak bu dian membuat seisi warung bengong, tapi aku tidak menggubrisnya sama sekali
Aku kini duduk di teras rumah wongso. Wongso kemudian menyusulku begitupula asmi, diikuti bu dian dengan wajah judes dan wajah jengkelnya. Wongso kemudian duduk di sebelahku, Asmi duduk bersebelahan di hadapanku dan wongso.
“Ngomong apa kamu tadi hm!” ucap bu dian yang berdiri di kananku sambil memegang tangan kananku
“bu ini aku lagi makan bu, ndak boleh diganggu” ucapku yang tadinya mulutku sudah siap melahap makanan disendok yang aku angkat
“tadi kamu bilang apa? Siapa yang ngegigit kamu?!” ucap bu dian
“lha ibu merasa mau menggigit tidak?” ucapku santai
“Tidak!” ucapnya
“Ya sudah ibu tenang, duduk, dan nikmati hidangan di warung ibunya wongso, bereskan” ucapku dengan suara datar dan diplomatis
“Awwwww.....” teriakku, kaget karena tiba-tiba tanganku digigit bu dian dan semua makanan di sendokku tumpah
“Rasain!” ucapnya judes yang kemudian duduk di sebelah asmi
“Sebentar, sebentar ada apa dengan bu dian dan kamu ar? Kok sekarang tampak berbeda?” ucap wongso
“He’em kok akrab banget sekarang?” ucap asmi
“Akrab sama dosenku ini, ndak lah, kasihan dosennya, mahsiswanya kan bukan levelnya dosen” ucapku sambil makan
“Orang seperti arya jangan di akrab-i, bisa-bisa makanan sewarung habis nanti wong” ucap Bu dian yang tampak mulai bisa membaur dengan wongso dan asmi
“Ada apa to bu?” ucap asmi
“Tanya saja sama mahasiswa yang suka bohongin cewek” ucap bu dian
“Eh, bu kok aku pembohong?” ucapku, pandangan wongso dan asmi ke arahku
“Iyalah, nyatanya, yang kamu akui sebagai pacar bukan pacar kamu kan?” ucapnya, pandangan wongso dan asmi ke arah bu dian
“Yeee... kapan saya mengakui kalau saya punya pacar, coba diingat-ingat lagi, kapan saya melakukan klaim kalau aku punya pacar?” ucapku pandangan wongso dan asmi ke arahku
“Eh... ya pokoknya kamu bohong sama aku” ucap bu dian dengan wajah cemberutnya namun tetap cantik, dan pandangan wongso dan asmi ke arah bu dian
“Dosen sukanya kok ngeles, kasihan mahasiswanya kalau begitu itu, ndak valid” ucapku, kini pandangan wongso dan asmi kembali ke arahku
“Emang penelitian, pakai valid segala” ucapnya, kembali lagi pandangan wongso dan asmi ke arah bu dian
“ya kan mahasiswa butuh pembelajaran yang valid, kalau yang disampaikan dosen ndak valid bagaimana nasib mereka di dunia kerja” ucapku, lagi pandangan wongso dan asmi ke arahku
“Dasar Mahasiswa ndak tahu terima kasih” ucap bu dian, dan lagi pandangan wongso dan asmi ke arah bu dian
“Sudah-sudah tenang, bisa kita bicarakan pelan-pelan kan?” ucap wongso
“Bu dian, biarkan arya makan dulu”
“Ar, jangan diteruskan lagi ndak baik makan sambil berbicara” ucap asmi
Kulihat wongso hanya menaikan bahunya ketika memandang asmi. Begitupula asmi, entah kenapa hubunganku dengan bu dian malah seperti musuh besar ketika bertemu. Sekalipun begitu. Aku sering mencuri-curi pandang ke arah bu dian. Kadang pandangan kami bertemu dan kami saling melempar senyum.
“Sudah selesaiiiii... nyam... kenyaaaaang” ucapku
“Bayar dulu tuh” ucap bu dian
“Ya jelaslah, aku kan punya uang” ucapku santai
“Kirain mau hutang” ucap bu dian
Kembali wongso dan asmi hanya geleng-geleng kepala dengan pertengkaran kami. tak ada satupun dari mereka yang bisa menyela pertengkaran kami.
“MANDEK MANDEK! Wis tuo kok yo do padu wae (BERHENTI BERHENTI! Sudah tua kok ya adu mulut terus)” ucap ibunya wongso yang datang tiba-tiba dan mendaratkan jeweran di telingaku
“Bu dian, maafkan arya ya, arya memang sukannya kalau berbicara suka kelepasan” ucap ibunya wongso ke bu dian
“Oh iya bu ndak papa, ya saya sudah tahu kalau arya itu seperti itu” ucap bu dian
“Eh.. ndak..” ucapku terpotong karena tangan wongso membekap mulutku
“Ar, kalau kamu adu mulut lagi, ibu suruh kamu nyuci piring sampai malam nanti” ucap ibunya wongso dan membuatku tidak berkutik sama sekali
Kulihat Bu Dian tersenyum manis, dan kemudian tertawa yang tertutup oleh tangan kananku. Aku tahu jika dia sedang menertawakanku. Aku hanya diam, membuang muka namun mata ini tak sanggup jika tidak meliriknya sebentar saja. Mungkin seperti lagu lama yang di aransemen ulang oleh MUSE, can’t take my eyes off you. Wajahnya, senyumnya, judesnya, juteknya, jengkelinnya membuat perasaanku menjadi satu. Apa itu? Kalian pasti sudah tahu. Akhirnya aku tidak berani lagi mendebat atau mengejek bu dian, kami berempat berbincang sederhana. Hingga akhirnya bu dian pulang.
“Ar, jangan lupa besok bimbingan” ucap bu dian
“iya bu, besok akan saya bawakan TA saya ke ibu” ucapku
“Ya sudah, wong, as aku pulang dulu” ucapnya yang kemudian masuk ke warung dan pamitan kepada ibu wongso. Asmi kemudian kembali lagi ke warung membantu ibu wongso. Dengan dunhill bersamaku dan wongso kami duduk bersama di depan rumahnya
“Kemarin saja kamu formal sama bu dian, sekarang kok kaya anjing sama kucing?” ucap wongso
“Ndak tahulah wong, aku juga bingung sama itu cewek” ucapku
“kamu suka sama dia kan ar?” ucapnya, dan aku hanya mengangguk
“Ya sudah, dekati saja kenapa ambil pusing” ucapnya
“bukannya ambil pusing, dia dosen dan sudah kerja, lagian dia sudah bilang sama aku kalau aku bukan levelnya” ucapku
“di mulut kan ar? Bukan di hatinya” ucapnya
“maksudmu?” ucapku
“Iya dia bilangnya di mulutnya saja kan, kalau dilihat dari sikapnya, kelihatannya hatinya menginginkan sang pangeran ini ha ha ha” ucapnya
“bodoh ah, pusing, mending mikir kapan cepet lulus”
“Lha kamu, sekarang kuliah ikut adik tingkat?” ucapku
“Ya iyalah, kan aku cuti satu tahun ar” ucapnya
Perbincangan demi perbincangan menemani kami hingga malam. Seperti biasa, ketika warung ramai aku jug aikut membantu kalau warung lenggang aku dan wongso kembali mengobrol. Hingga warung wongso tutup dan wongso mulai mengantar asmi pulang akupun juga ikut angkat kaki dari warung wongso. Sesampainya dirumah, aku melihat ibu di depan TV senyumnya masih tetap sama. Kami bercanda bersama. Tiba-tiba...
“akukan sudah bilang, Pokoknya kita berempat saja, buku bisa hancurkan kita”
“setelah kita berempat bertemu, kita akan singkirkan buku”
Aku dan ibu berpandangan mendengar teriakan keras ayah dari pekarangan rumah. Ibu kemudian menyilangkan jari telunjuknya di bibirnya. Aku hanya diam sejenak dan mulai mendengarkan percakapan ayah. Namun, percakapan berikutnya tidak membahas mengenai penyingkiran buku.
“Tenang saja, buku tidak bakalan tahu, kita akan bagi menjadi empat saja, nanti aku atur”
“Kamu tenang saja reng, kamu ndak usah takut kaya ngelihat setan saja kamu itu”
Setelahnya Ayah menutup telepon dan beranjak dari pekarangan rumah. Ayah menyapaku seperlunya saja dan kemudian masuk kamar, tidur. Ibu membisikan kepadaku untuk segera istirahat dan tidak membahas apa yang baru saja didengar. Karena jika membahas sekarang Ayah bisa saja tahu mengenasi aku sebagai pemegang sematpon KS. Aku akhirnya kembali ke kamarku, ku buka sematponku dan tak ada pesan BBM. Email om nico juga nihil. Aku kemudian beristirahat menanti pagi.
Cowok : sayang kenapa?
Cewek : ndak papa!
Cowok : cerita sama aku dong sayang, mungkin bisa meringankan beban pikiranmu
Cewek : aku bilang ndak papa ya ndak papa, kamu itu malah bikin bete
Cowok : maaf sayang, aku Cuma pengen kamu tersenyum
Cewek : yang bikin aku ndak bisa senyum itu kamu selalu tanya-tanya terus
Cowok : iya deh, aku diem sekarang
Cowok kemudian diam tak berani bertanya kepada si cewek
Cewek : kamu itu gimana to? Malah diem! Aku tuh lagi sedih habis dimarahi Ibu tadi, bukannya menghibur malah diem saja, dasar nyebelin! Ndak peka!
Cowok hanya mampu bengong seperti di tengah laut, ketimpa pesawat jet, di sapu ombak, di tabrak titanik, kebentur karang, diseret hiu, di setrum ubur-ubur, dilahap paus kemudian disemburkan keluar, terombang ambing lagi ditengah laut dan terakhir dihantam meteor!
Nah loh! Gimana coba kalau begitu? Apa coba yang harus aku lakukan? Mengungkapkan perasaanku sama dosen judes itu? Iya kalau suka, kalau ndak? Dari percakapan tadi, jujur saja aku menangkap sinyal kalau dia suka sama aku, tapi candaanya di belakang bikin ngedrop saja. Kembali memulai dari awal lagi? Emang kaset diputer ulang? Udah nancepin paku di kayu kamu cabut, ya jelaslah ada lubangnya. Kalau mau tutupin itu lubang, dia yang harusnya nutupin bukannya aku yang harus mengungkapkan kan? Emang aku cowok apapun? Dasar dosen judes!
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, memang seharusnya aku yang ngomong duluan ke Bu Dian. Tapi dia mintanya semuanya diperbaiki dulu dari awal. Memang Nagasaki dan Hirosima, habis di bom atom langsung dibangun lagi. Iya sich dibangun lagi, tapi coba lihat imbas radiasi nuklir yang mengenai orang-orang disekitarnya. Gen mereka berubah, bayi dalam kandungan lahir cacat, yang masih hidup tidak bisa menikah karena gen sudah berubah ditakutkan anak yang lahir dari pernikahannya cacat permanen. Bangunan memang bisa dibangun lagi woi! Tapi efek yang ditimbulkan sulit untuk diperbaiki woi! Dosen judes woi! Aku memang suka sama kamu, tapi kamunya itu judes, jutek minta ampun! Dian judes, dian jutek, dian jelek, dian jengkelin, dian dian dian dian dian kamu cantik aku suka. Argh!
Pagi menjelang, aku beranjak dari tempat tidurku. Tak ada yang dapat aku lakukan hari ini, karena harus menunggu teman sekampusku selesai PPL. Ya aku jurusan murni dan jurusan pendidikan biasanya harus menyelsaikan PPL-nya terlebih dahulu. KKN akan dimula secara bersamaan ya anak murni ya anak pendidikan. Untuk hari ini biasa setor cerita sama Ibu, biasa di ruang TV. Ayah? Kerjalah dinas ke lokalisasi mungkin.
“hi hi hi... berarti hmmmm....” ucap Ibu
“Apa bu?” ucapku
“Kamu jatahnya dikurangi ya sayang?” ucap Ibu
“lho kok begitu?” ucapku
“Sekarang ini kamu kan sedang memulai dari awal, jadi satu minggu sekali saja sama ibu ya?” ucap Ibu dengan tersenyum
“kan aku pengennya setiap hari” ucapku
“Iya kalau kamu ndak lagi pdkt sama cewek, lha ini kan kamu lagi pdkt sama dian. Dia suka lho sama kamu, dan Ibu juga sukaa sama dian hi hi hi” ucap ibu
“Cewek judes sekaligus membingungkan kaya gitu di pdkt-in bu bu” ucapku
“tapi kamu suka kan?” ucap Ibu
“suka sih suka, tapi kalau membayangkan dia jadi pacar atau istri aku, hancur duniaku” ucapku
“Cup cup cup... “ ucap Ibu
“pengen?” ucap Ibu
“He’em...” ucapku
“besok lusa saja ya, nunggu isinya penuh lagi hi hi hi” ucap ibu
“yah, ibu kok gitu, kan pengen” ucapku
“kan ada erlina” ucap ibu
“lebih baik aku dirumah saja bu” ucapku
“Tapi jangan perkosa ibu, kalau kamu maksa ibu ndak akan ada untuk hari selanjutnya. Dan tidak boleh merangsang ibu, awas! Kalau hari ini, itu masuk ke dalam ibu, selesai!” ucap dengan sedikit membentak. Seketika itu pula dedek arya menciut memilih untuk bertekuk lutu kepada vaginawatinya
“iya bu iya... arya janji ibuku sayang dindaku sayang” ucapku
“nah begitu sayang cup” ucap ibu dengan kecupan di bibirku. Ibu kemudian meninggalkan aku sendiri di ruang TV. centung. BBM. Bu Dian
“Ibu apaan sih, kembalikan bu” ucapku meminta sematponku yang di rebut ibu
“Anak baik diam!” ucap ibu, seakan dihipnotis aku diam
“ihirrrr... akrab sama dosennya ya” ucap Ibu
“Akrab apaan bu? Judes kaya gitu di akrabin” ucapku sinis
“Ya sudah, jangan ngambek gitu, kalau ngambek gitu tandanya kamu itu sayang, cinta sama dian” ucap Ibu
“ah ibu, bikin bete saja” ucapku sambil bangkit mencoba meraih kembali sematponku
“eit ndak bisa-ndak bisa ha ha ha” ucap ibu sambil berlari menjauhiku
Aku berlari mengejar ibu di dapur, layaknya adik dan kakak kami main kejar-kejaran. Senyum mengembang, tawa meledak diantara kami. seakan-akan tak pernah ada kejadian buruk terjadi diantara kami. aku melihatnya seperti halnya seorang anak melihat seorang ibu. Hingga aku bisa memeluk ibu dan meraih kembali sematponku. Ibu kemudian membetet hidungku dengan gemas, aku hanya menjulurkan lidahku ke arah ibu. setelah lelah bermain kejar-kejaran di dalam rumah, aku dan ibu beristirahat di ruang TV kembali. Kebahagiaan terpancar di wajah kamu berdua. Kepalaku rebah di paha Ibu dan ibu membersihkan telingaku.
“iiih jorok banget, masa ada tempat pembuangan sampah di telinga?” ucap Ibu
“Yeee... itu bukan tempat pembuangan sampah bu, tapi rest area buat kotoran” ucapku
“emang mau mudik, pakai rest area segala hi hi hi” ucapnya
“paling bu, kotorannya lagi mudik ke telingaku nanti kalau arus balik paling hilang sendiri he he he” balasku
“kamu itu jorok” ucap Ibu
“makanya bu dibersihin doooong” balasku, tiba-tiba
“aw... Ibu apaan sih?” protesku yang tiba-tiba tangan ibu meremas dedek arya
“Lho kok tidur, padahal ibu sudah nempel-nempelin susu ibu dikepalamu lho” ucap ibu menggodaku
“jangan-jangan kamu... sudah ndak suka perempuan???” lanjutnya
“ndak tahu bu, seneng saja hari ini bisa bercanda dan tidak melulu membicarakan masalah berbau ex ex ex” ucapku
“Berarti kita mendekati kehidupan normal lagi sayang ehemmm...” ucap ibu santai
“mungkin bu, tapi bu...” ucapku
“We will back to normal, dear” ucap Ibuku, aku hanya tersenyum dengan pandangan ke arah TV
“After he’s gone” ucapku
“Yupz that’s right” ucap Ibu
Kami bercanda seperti biasanya, tak ada dalam pikiranku untuk menghunuskan dedek arya ke dalam tubuh ibu. Entah kenapa kali ini tampak berbeda, apakah karena pertemuan semalam dengan bu dian? Padahal jika aku memutar balikan waktu, seminggu yang lalu kami melakukannya dengan sangat ganas di dekat ayah. Namun kali ini aku merasakan hal yan berbeda. Mungkin memang adanya bu dian merubah segalanya. Aku pun terlelap dalam pangkuan ibuku hingga siang hari. Tepat pukul 13:00 aku bangun dan tak kudapati ibu di sofa. Aku kemudian bangkit dan kembali ke kamar, kulihat ibu sedang membersihkan pekarangan rumah. Selepasnya aku berganti pakaian, ingin rasanya keluar main. Aku turun dan menghampiri ibu di pekarangan belakang rumah.
“Aku mau main ke wongso bu” ucapku sambil mencium pipinya
“Iya hati-hati” ucap Ibu
“Ingat, ndak usah main-main lagi sama cewek lho, kasihan tuh yang didalem bisa pingsan tujuh turunan” ucap Ibu
“yee ibu bisa saja, aku berangkat dulu bu” ucapku
“Iya sayang, hati-hati pelan-pelan saja bawa motornya” ucap ibu
“oke ibu” ucapku
Dengan REVIA aku kembali ke jalanan daerahku. Kuhirup udara panas di daerahku yang bercampur dengan karbon dioksida dan karbon monoksida serta sedikit oksigen. Sudah jelaskan kenapa sekarang udara menjadi kotor? Banyak pohon yang ditebangi, industri dimana-mana menggusur zona hijau. Ditambah lagi makin banyaknya motor dan mobil yang berlalu lalang, memang sih ndak bisa disalahkan karena kita semua butuh transportasi yang memadai. Lama aku mengendarai motor, hingga akhirnya aku sampai di dekat warung wongso. Kulhat mobil yang tidak asing lagi bagiku, tapi sayang ingatanku buruk. Kuparkir motorku di depan warung wongso dan masuk ke dalam tanpa menoleh ke kanan dan kekiri.
“Kulonuwun (permisi)” teriakku dan semua pelanggan menoleh ke arahku
“O... lha wong edan (orang gila) pelan kenapa? memangnya di goa, teriak-teriak” ucap wongso
“Ya menawane (mungkin saja) kamu budeg wong” ucapku
“Lihat telingaku masih normal” ucap wongso sambil memperlihatkan telinganya
“Iya itu, dasar orang katrok!” ucap seorang wanita di belakangku, aku menoleh ke arah belakang
“Huh, mau katrok atau ndak, bukan urusan situ kali” ucapku, wongso hanya bengong melihat perdebatan kami
“Ya memang bukan urusan aku, tapi mbok yaho tahu sopan santun kenapa, dasar preman takut setan” ucap Bu Dian, aku tak menggubris kata-kata dari si judes ini
“Bu’e (ibu)... lama tak jumpa bu” ucapku sambil menghampiri ibunya wongso, segera aku mencium tangan ibunya wongso. Disitu juga ada asmi yang sedang membantu ibunya wongso berjualan.
“Lho As, ndak kuliah?” ucapku
“Kan habis PKL Ar, kamu sendiri?” ucap asmi
“sama saja, habis PKL, seneng deh PKL sudah selesai, nilai sudah keluar dan juga ndak perlu ketemu DE-PE-EL ku lagi, seneng bangeeeeeeeeeet rasanya ndak ketemu DE-PE-EL ku lagi As” ucapku dengan suara menekan pada kata DPL
“Lho ar, DPL kamu itu kan... kan... kan....” ucap wongso yang aku lihat menggerakan bola matanya ke arah bu dian
“ada apa kamu wong? DE-PE-EL-ku itu kan dah ndak ada urusan sama aku lagi” ucapku
“Enak saja, aku bisa rubah nilai kamu sekarang juga! Huh!” ucap bu dian yang sekarang tampak lebih judes, tanpa menghiraukannya aku langsung ambil makanan
“makan dulu ahhhhh...” ucapku santai. Wongso, asmi dan ibunya wongso tampak terheran-heran melihat sikap kami berdua.
“Aku makan di teras rumah kamu saja wong, takut makan disini, ada yang nggigit nanti” ucapku langsung ngeloyor ke belakang warung. Belakang warung wongso adalah rumahnya.
“Arya!’ teriak bu dian membuat seisi warung bengong, tapi aku tidak menggubrisnya sama sekali
Aku kini duduk di teras rumah wongso. Wongso kemudian menyusulku begitupula asmi, diikuti bu dian dengan wajah judes dan wajah jengkelnya. Wongso kemudian duduk di sebelahku, Asmi duduk bersebelahan di hadapanku dan wongso.
“Ngomong apa kamu tadi hm!” ucap bu dian yang berdiri di kananku sambil memegang tangan kananku
“bu ini aku lagi makan bu, ndak boleh diganggu” ucapku yang tadinya mulutku sudah siap melahap makanan disendok yang aku angkat
“tadi kamu bilang apa? Siapa yang ngegigit kamu?!” ucap bu dian
“lha ibu merasa mau menggigit tidak?” ucapku santai
“Tidak!” ucapnya
“Ya sudah ibu tenang, duduk, dan nikmati hidangan di warung ibunya wongso, bereskan” ucapku dengan suara datar dan diplomatis
“Awwwww.....” teriakku, kaget karena tiba-tiba tanganku digigit bu dian dan semua makanan di sendokku tumpah
“Rasain!” ucapnya judes yang kemudian duduk di sebelah asmi
“Sebentar, sebentar ada apa dengan bu dian dan kamu ar? Kok sekarang tampak berbeda?” ucap wongso
“He’em kok akrab banget sekarang?” ucap asmi
“Akrab sama dosenku ini, ndak lah, kasihan dosennya, mahsiswanya kan bukan levelnya dosen” ucapku sambil makan
“Orang seperti arya jangan di akrab-i, bisa-bisa makanan sewarung habis nanti wong” ucap Bu dian yang tampak mulai bisa membaur dengan wongso dan asmi
“Ada apa to bu?” ucap asmi
“Tanya saja sama mahasiswa yang suka bohongin cewek” ucap bu dian
“Eh, bu kok aku pembohong?” ucapku, pandangan wongso dan asmi ke arahku
“Iyalah, nyatanya, yang kamu akui sebagai pacar bukan pacar kamu kan?” ucapnya, pandangan wongso dan asmi ke arah bu dian
“Yeee... kapan saya mengakui kalau saya punya pacar, coba diingat-ingat lagi, kapan saya melakukan klaim kalau aku punya pacar?” ucapku pandangan wongso dan asmi ke arahku
“Eh... ya pokoknya kamu bohong sama aku” ucap bu dian dengan wajah cemberutnya namun tetap cantik, dan pandangan wongso dan asmi ke arah bu dian
“Dosen sukanya kok ngeles, kasihan mahasiswanya kalau begitu itu, ndak valid” ucapku, kini pandangan wongso dan asmi kembali ke arahku
“Emang penelitian, pakai valid segala” ucapnya, kembali lagi pandangan wongso dan asmi ke arah bu dian
“ya kan mahasiswa butuh pembelajaran yang valid, kalau yang disampaikan dosen ndak valid bagaimana nasib mereka di dunia kerja” ucapku, lagi pandangan wongso dan asmi ke arahku
“Dasar Mahasiswa ndak tahu terima kasih” ucap bu dian, dan lagi pandangan wongso dan asmi ke arah bu dian
“Sudah-sudah tenang, bisa kita bicarakan pelan-pelan kan?” ucap wongso
“Bu dian, biarkan arya makan dulu”
“Ar, jangan diteruskan lagi ndak baik makan sambil berbicara” ucap asmi
Kulihat wongso hanya menaikan bahunya ketika memandang asmi. Begitupula asmi, entah kenapa hubunganku dengan bu dian malah seperti musuh besar ketika bertemu. Sekalipun begitu. Aku sering mencuri-curi pandang ke arah bu dian. Kadang pandangan kami bertemu dan kami saling melempar senyum.
“Sudah selesaiiiii... nyam... kenyaaaaang” ucapku
“Bayar dulu tuh” ucap bu dian
“Ya jelaslah, aku kan punya uang” ucapku santai
“Kirain mau hutang” ucap bu dian
Kembali wongso dan asmi hanya geleng-geleng kepala dengan pertengkaran kami. tak ada satupun dari mereka yang bisa menyela pertengkaran kami.
“MANDEK MANDEK! Wis tuo kok yo do padu wae (BERHENTI BERHENTI! Sudah tua kok ya adu mulut terus)” ucap ibunya wongso yang datang tiba-tiba dan mendaratkan jeweran di telingaku
“Bu dian, maafkan arya ya, arya memang sukannya kalau berbicara suka kelepasan” ucap ibunya wongso ke bu dian
“Oh iya bu ndak papa, ya saya sudah tahu kalau arya itu seperti itu” ucap bu dian
“Eh.. ndak..” ucapku terpotong karena tangan wongso membekap mulutku
“Ar, kalau kamu adu mulut lagi, ibu suruh kamu nyuci piring sampai malam nanti” ucap ibunya wongso dan membuatku tidak berkutik sama sekali
Kulihat Bu Dian tersenyum manis, dan kemudian tertawa yang tertutup oleh tangan kananku. Aku tahu jika dia sedang menertawakanku. Aku hanya diam, membuang muka namun mata ini tak sanggup jika tidak meliriknya sebentar saja. Mungkin seperti lagu lama yang di aransemen ulang oleh MUSE, can’t take my eyes off you. Wajahnya, senyumnya, judesnya, juteknya, jengkelinnya membuat perasaanku menjadi satu. Apa itu? Kalian pasti sudah tahu. Akhirnya aku tidak berani lagi mendebat atau mengejek bu dian, kami berempat berbincang sederhana. Hingga akhirnya bu dian pulang.
“Ar, jangan lupa besok bimbingan” ucap bu dian
“iya bu, besok akan saya bawakan TA saya ke ibu” ucapku
“Ya sudah, wong, as aku pulang dulu” ucapnya yang kemudian masuk ke warung dan pamitan kepada ibu wongso. Asmi kemudian kembali lagi ke warung membantu ibu wongso. Dengan dunhill bersamaku dan wongso kami duduk bersama di depan rumahnya
“Kemarin saja kamu formal sama bu dian, sekarang kok kaya anjing sama kucing?” ucap wongso
“Ndak tahulah wong, aku juga bingung sama itu cewek” ucapku
“kamu suka sama dia kan ar?” ucapnya, dan aku hanya mengangguk
“Ya sudah, dekati saja kenapa ambil pusing” ucapnya
“bukannya ambil pusing, dia dosen dan sudah kerja, lagian dia sudah bilang sama aku kalau aku bukan levelnya” ucapku
“di mulut kan ar? Bukan di hatinya” ucapnya
“maksudmu?” ucapku
“Iya dia bilangnya di mulutnya saja kan, kalau dilihat dari sikapnya, kelihatannya hatinya menginginkan sang pangeran ini ha ha ha” ucapnya
“bodoh ah, pusing, mending mikir kapan cepet lulus”
“Lha kamu, sekarang kuliah ikut adik tingkat?” ucapku
“Ya iyalah, kan aku cuti satu tahun ar” ucapnya
Perbincangan demi perbincangan menemani kami hingga malam. Seperti biasa, ketika warung ramai aku jug aikut membantu kalau warung lenggang aku dan wongso kembali mengobrol. Hingga warung wongso tutup dan wongso mulai mengantar asmi pulang akupun juga ikut angkat kaki dari warung wongso. Sesampainya dirumah, aku melihat ibu di depan TV senyumnya masih tetap sama. Kami bercanda bersama. Tiba-tiba...
“akukan sudah bilang, Pokoknya kita berempat saja, buku bisa hancurkan kita”
“setelah kita berempat bertemu, kita akan singkirkan buku”
Aku dan ibu berpandangan mendengar teriakan keras ayah dari pekarangan rumah. Ibu kemudian menyilangkan jari telunjuknya di bibirnya. Aku hanya diam sejenak dan mulai mendengarkan percakapan ayah. Namun, percakapan berikutnya tidak membahas mengenai penyingkiran buku.
“Tenang saja, buku tidak bakalan tahu, kita akan bagi menjadi empat saja, nanti aku atur”
“Kamu tenang saja reng, kamu ndak usah takut kaya ngelihat setan saja kamu itu”
Setelahnya Ayah menutup telepon dan beranjak dari pekarangan rumah. Ayah menyapaku seperlunya saja dan kemudian masuk kamar, tidur. Ibu membisikan kepadaku untuk segera istirahat dan tidak membahas apa yang baru saja didengar. Karena jika membahas sekarang Ayah bisa saja tahu mengenasi aku sebagai pemegang sematpon KS. Aku akhirnya kembali ke kamarku, ku buka sematponku dan tak ada pesan BBM. Email om nico juga nihil. Aku kemudian beristirahat menanti pagi.
Pagi menjelang, aku pun segera beranjak dari tempat ternyaman di seluruh dunia. Ku lipat selimut putih yang tebal pemberian Ibu dan kurapikan hamparan sprei agar terlihat lebih rapi. Segera aku melakukan aktifitasku seperti biasa, hingga aku berkumpul di meja makan bersama keluarga. Ayah, Ibu dan aku, indah bukan. Indah, dari penglihatan semua yang memandang walau sebenarnya banyak misteri yang tersembunyi di dalamnya. Seperti kedondong, halus namun rasanya masam di dalamnya. Mungkin aku akan memilih durian, walau dari luar tampak buruk tapi di dalamnya manis dan banyak yang mencari.
Ngeeeeeeeeeeeeeeeng... sekarang aku sudah berada di atas si bodi montok REVIA. Melaju dengan kecepatan optimum, dimana semua motor menyalipku dengan mudahnya. Kunikmati putaran demi putaran roda menuju kampus tercintaku. Akhirnya dengan iringan hembusan angin pagi aku sampai di kampusku tepat pukul setengah sembilan pagi. Segera aku melangkah cepat menuj jurusan dimana seorang wanita cantik nan judes sudah menungguku disana.
“Mas, Arya!” teriak pegawai TU yang aku lihat sedang mengorbol dengan seseorang di pintu masuk TU. Segera aku memindahkan halauan kakiku menuju TU dan wanita tersebut masuk ke dalam TU
“Iya bu, ada apa?” ucapku ketika masuk TU dan wanita itu tampak sibuk mencari sesuatu
“Ini ada kiriman dari tepat mas Arya PKL” ucapnya sembari menyodorkan sebuah amplop
“Apa ini bu?” ucapku
“nilai mungkin” ucapnya
“Owh... ya bu terima kasih” ucapku, agak sedikit bingung juga ketika mendapati amplop berisi nilai dikirimkan ke jurusan. Aneh, biasanya sudah ada nilainya ketika penarikan.
Aku melangkah keluar dan kemudian ku buka amplop tersebut. Betapa kagetnya aku melihat sepulu uang berwarna merah sedang berpelukan di dalam amplop. Ada sebuah surat di dalamnya.
Tepuk jidat akunya, hanya bisa menggeleng-geleng kepala setelah membaca surat dari mbak echa. Segera aku sobek-sobek menjadi kecil ketika tak ada orang di sekitarku, takutnya kalau ada orang yang melihat dikira lagi patah hati. Kubuang sobekan itu ke dalam tong sampah. Masih terngiang dalam ingatanku sebuah pertempuran dahsyat di laboratorium dan rumah mbak echa, dan hanya bisa membuatku geleng-geleng kepala. Sambil mengingat aku melangkah menuju ke ruang dosen.
Tok tok tok tok....
“Masuk...” ucap wanita di dalam, aku pun masuk setelah suara itu menghilang
“Bu Dian...” ucapku
“Owh, silahkan duduk” ucapnya
“Terima kasih bu”
“Maaf bu sesuai dengan instruksi dari ibu untuk bimbingan tugas akhir, ini Tugas Akhir saya mohon bimbingannya” ucapku
“Owh TA ya? Memang aku menginstruksikan untuk bimbingan hari ini?” ucapnya
“Maaf bu, kemarin yang di BBM, ibu menyuruh saya untuk bimbingan” ucapku
“Memang benar saya? Ada buktinya? Saya ndak merasa tuh” ucap bu dian yang judesnya mulai kelihatan
“maaf bu, saya tidak mungkin salah baca, ibu mengrimkan bbm ke saya untuk bimbingan dan bukti percakapan masih ada bu” ucapku mencoba membela diri
“Saya tidak merasa mengirimkan bbm ke kamu ar” ucapnya
“Eh... ya sudah saya mohon maaf, kalau begitu saya undur diri dulu dan maaf mengganggu waktu ibu” ucapku sambil berdiri dan sedikit membungkukan badan. Tanganku pun bergerak meraih tumpukan kertas bertuliskan Tugas Akhir itu.
“Sudah, sudah... kamu duduk lagi saja, karena kamu sudah disini ya bimbingan saja” ucapnya sambil tersenyum mengejekku yang ditutupi tangan kirinya
“Tidak usah saja bu, ndak enak mengganggu ibu” ucapku
“DU.... DUK!” ucapnya sedikit membentak
“I... iya bu...” ucapku yang kemudian duduk dihadapanya kembali
“Dasar cewek judes, jutek nyebelin seenaknya saja mempermainkan aku, belum tahu apa berapa cewek yang sudah aku lumpuhkan! Dasar coba saja kamu tahu kehebatanku, aku pasti.... bertekuk lutut dihadapanmu cantik hiks hiks hiks” bathinku
Kulihat bu dian membolak-balikan tugas akhirku. Tampak wajahnya yang serius membaca tugas akhirku membuat aku terhipnotis dengan mulutku sedikit terbuka. Wajahnya, keanggunannya, kenapa baru kali ini aku bisa melihatnya?
“Ar...”
“Ar...”
“Aryaaaa.....” ucapnya dengan nada sedikit keras
“Eh eh iya bu dian, maaf bu maaf melamun” ucapku
“Kenapa belum pernah lilhat cewek cantik ya? Sampek ngelamun begitu? Ngelamun apa kamu?” ucapnya
“Eh ndak bu ndak, hanya agak sedikit capek saja” ucapku
“kenapa? capek bertengkar sama cewek judes dan jutek ya kemarin di warung?” ucapnya
“Bukan itu bukan bu, ibu salah lihat orang mungkiin” elakku
“Ya ndak mungkin salah lihat... wong aku melihatnya pake mata kepala saya sendiri” ucapnya
Aku hanya mampu terdiam dan menunduk. Benar-benar sial hari ini, kenapa juga kemarin aku harus bertengkar dengannya. Dia kan dosenku yang seharusnya aku hormati, tapi dia wanita yang buat aku bingung. Benar-benar sial yang aku rasakan, tak berani aku melihat apalagi memandangnya. Hanya melihat kedua pahaku sendiri yang berbalutkan celana jeans.
“Kenapa diam? Kok ndak kaya kemarin, menggebu-gebu bales setiap omonganku?” ucapnya dan aku hanya diam saja
“Ini TA, diperbaiki lagi, penulisan banyak yang salah. Apa ndak bisa ngetik? Masa mahasiswa S1 ndak bisa ngetik? Payah!” ucapnya
“Iya bu maaf... akan segera saya perbaiki” ucapku tanpa ada keberanian membalas omongannya
Tanganku kemudian meraih tugas akhir yang diserahkan kepadaku. Tanpa melihat wajahnya sedikit pun aku letakan tugas akhirku di atas pahaku. Suasana hening dan tak ada tegur sapa antara kami berdua.
“Sudah?” ucapnya
“iya bu sudah terima kasih atas bimbingannya” ucapku
“kalau sudah tidak ada lagi, kamu bisa meninggalkan ruangan” ucapnya. Namun kaki ini tidak bisa beranjak dari tempat duduk, pikiranku kacau balau entah kenapa aku tidak ingin meninggalkan tempat ini, entah mengapa aku masih ingin bersamanya
“kok ndak pergi? Masih betah berhadapan sama cewek judes?” ucapnya, aku hanya terdiam dan kemudian....
“Maaf bu, boleh bertanya?” ucapku memberanikan diri
“Apa? Tanya tinggal nanya kok susah to?” ucapnya
“eh... terima kasih bu..mmmm” ucapku terhenti
“Apa? Cepetan!” ucapnya dengan sejuta judes dan jutek di tiap kata-katanya
“iya bu iya, sabar bu...”
“Ibu kalau malam minggu suka berpergian tidak?” ucapku
“Memang apa urusan kamu?” ucapnya
“Maaf bu saya hanya tanya, kalau menyinggung perasaan ibu, saya mohon maaf” ucapku
“ndak, kalau malam minggu dirumah saja, memang kenapa?!” ucapnya
“ini bu saya dapat uang saku dari perusahaan, kalau ibu berkenan saya ingin mengajak makan malam” ucapku semakin berani
“oh....” hanya itu yang aku dengar darinya dan tak ada lanjutan
“Sudah dulu, aku mau mengajar sudah ditunggu mahasiswa-mahasiswaku yang ganteng-ganteng” ucapnya sambil berdiri dan membawa buku yang dipeluknya
“Eh... iya bu maaf, kalau tadi saya lancang” ucapku sambil memandang bu dian melangkah mendekari pintu
Klek... suara daun pintu
“Jam setengan delapan aku tunggu, dirumah” ucapnya tanpa memandangku dan langsung melangkah pergi
“YES!” teriakku sedikit keras
“SSStttt.. diam, ini jurusan” ucapnya yang tiba-tiba membuka pintu
“Eh... maaf bu” ucapku kembali tertunduk
Dalam heningku aku hanya bisa tersenyum dan masih duduk di ruangan dosenku ini. kudengar suara langkah kakinya menjauh diiringi tawa cekikikan. Aku pun sedikit tersenyum dengan tingkahku dihadapannya. Aku kemudian bangkit dan berjalan menuju tempat parkir. Biasanya siang-siang seperti ini aku makan bersama dengan Rahman, tapi dia masih PKL dan selesainya 3 hari sebelum pemberangkatan PKL.
Sampai dirumah aku bercerita kepada ibuku mengenai sikap bu dian. Ibu hanya tertawa dan menertawakanku berkali-kali. Ibu heran kepadaku kenapa aku bisa seberaninya seperti hari ini. ibu semakin menertawakanku ketika aku bercerita kejadian di warung wongso. Aku semakin jengkel dengan sikap ibu yang menertawakanku, bukan jengkel karena marah tapi jengkel karena ditertawakan terus-terusan. Ibu hanya menyarankan kepadaku agar aku lebih memakai perasaan ketika bertemu dengan bu dian. Ya mungkin itu yang akan aku aplikasikan besok malam minggu.
“bu... boleh?” ucapku sambil memeluknya dan mengusap-usapkan kepalaku di susunya
“yeee... ndak dulu sayang, kan minggu kemarin sudah rapel banyak sekali, setiap hari lagi” ucap ibu
“ya kan, kemarin ibu sendiri yang kasih” ucapku
“hi hi hi selama kamu pdkt pokoknya kamu harus bisa mengalihkan perhatian kamu dari ini” ucap ibu sambil menunjuk susunya
“kenapa?” ucapku
“Agar kamu bisa lebih fokus lagi, ndak selengekan kaya gini, okay dear?” ucap ibu sambil tersenyum manis kepadaku. Aku pun tersenyum melihat kesungguhan ibu yang mendukungku
“Okay mom” ucapku
Hari berganti waktupun berlalu, tak ada kesibukan yang berarti bagiku. Hanya membenarkan beberapa kesalahan di tugas akhirku. Akhirnya Malam minggu tiba, aku kemudian bersiap menuju ke rumah bu dian. Tampak Ibu dengan mengepalkan tangannya keatas, dengan senyum manisnya yang khas memberiku semangat. Dengan aroma wangi parfum “KAPAK” aku menuju kerumah bu dian. Sesampainya disana, baru saja motorku bernti tiba-tiba pintu gerbang rumahnya terbuka.
“Ndak usah dimatikan” ucapnya sambil mengunci pintu gerbang rumahnya.
Setelahnya bu dian langsung melangkah ke arahku, tanpa bicara bu dian langsung membonceng di belakangku. Aku hanya diam melihatnya takjub dengan keindahan wanita yang baru saja melintas dihadapanku yang sekarnag sudah dibelakangku. Bagaimana tidak? Wanita dengan pakaian yang menutupi sikunya, tidak ketat hanya saja memperlihatkan dada yang membusung tapi tanpa ada belahan dada pada pakaian yang dikenakannya. Pada bagian perutnya pakaiannya tampak sangat longgar tidak sedikitpun memperlihatkan bentuk perutnya. Bagian bawah dihiasi oleh celana jeans legging dengan sepatu karet hitam, mungkin sepatu karet maklumlah malam hari tidak begitu jelas. Dengan helm putihnya menghiasi kepalanya. Ya begitulah ciri-ciri wanita yang baru saja melintas di hadapanku, sekarang? Sudah aku bilang di belakangku kan tadi?
“Ayo jalan, malah bengong” ucapnya
“Eh... iya bu” ucapku
“Sekali lagi kamu panggil aku dengan kata bu atau mbak di depan, aku turun, lebih baik tidur saja drumah” ucapnya
“Eh.. iya bu eh mbak eh dian” ucapku agak sedikit gugup entah kenapa aku merasakan hal yang sama terulang lagi seperti ketika aku pertama kali bersamanya
“Jalan!” ucapnya
“sssssshhhhh huffffffffth....” hela nafasku mencoba menenangkan tubuhku yang seakan menggigil
“iya iya... sabar, kaya naik tukang ojek saja” ucapku sedikit mencoba mengakrabinya
“marah niiiiih?” ucapnya
“Endak marah yan diaaaaan” ucapku
“hi hi hi hi...” tawanya
“kok malah ketawa?” ucapku
“berani sekali kamu manggil nama aku, aku itu dosen kamu lho hi hi hi” ucapnya
“Eh... terus gimana tadi minta dipanggil nama sekarang... argghhh bingung aku” ucapku
“iya iya dipanggil dian saja ndak papa mas aryaaaa” ucapnya
“dah ayo jalan sudah lapar nungguin kamu ni” lanjutnya
“Oke siap!” ucapku yang langsung menarik gas ditangan kananku
“Eh bentar” ucapnya, membuat aku mengeram mendadak ciit.... dan dada yang membusung itu langsung menghantam punggungku
“Aduh, pelan kenapa? cari kesempatan ya?” ucapnya
“Yeee siapa yang nyari kesempatan, kamu ngomongnya juga mendadak tadi” ucapku
“iiiih... sama cewek ndak mau ngalah” ucapnya sambil mencubit punggungku
“Adaaaaaaaaaow... iya, iya maaf” ucapkku
“hi hi hi, kita mau makan dimana?” ucapnya
“Di cafe miliknya pacarnya dira, yang dulu itu” ucapku
“Oke, yuk jalan” ucapnya
REVIA berjalan dengan dua orang yang menunggangi, satu orang sedang dalam suasana hati yang bahagia yang satunya entahlah, namanya juga cewek susah dimengerti isi hatinya. Jalan malam aku telusuri dan akhirnya aku sampai di cafe milik eko pacar sudira alias suka jadi waria. Setelah beberapa bulan aku tidak ke cafe ini, tampak perubahan besar-besaran ada di dalam cafe. Kami mencari tempat yang lebih nyaman, tepatnya dekat dengan kolam ikan. Pelayan pun datang dan menawarkan kami makanan, kami sudah tampak akrab dengan pelayan-pelayan disini maklumlah 2 kejadian perkelahian melibatkan aku dan dian di dalamnya. Pelayan tersebut kemudian pergi setelah kami menulis pesanan kami.
“Kok celingak-celinguk, nyari apa? Lihatin cewek ya? Dasar ndak sopan! Sudah ada cewek di depannya masih nyari yang lain” ucapnya
“ndak begitu dian, dosenku...”
“Cuma mencoba lebih waspada saja, kalau tiba-tiba ada yang menggebrak meja dan nyiram mukaku lagi, perih masalahnya he he he” ucapku
“iiiih apaan sich kamu itu awas!” ucapnya aku hanya tertawa cengengesan melihatnya mencoba mencubit tanganku.
Sedikitnya kami bercanda walau aku masih tetap menganggap ada batas diantara kami berdua, maklumlah dia kan dosen aku. Setiap kali aku melihat wajahnya, hati ini merasa sangat nyaman sekali. Indah benar makhluk yang ada didepanku ini. Pelayan kemudian datang, membawakan makanan pesanan kami dan juga minuman. Kami berdua kemudian makan, tapi nakalnya mataku ini selalu saja mencoba mencuri pandang wajah indahnya.
“Kalau makan ya makan, ndak usah lihat kemana-mana? Ndak pernah llihat cewek cantik ya?” ucapnya
“Hmmm... siapa yang lihatin kamu, aku Cuma lihatin tuh air mancur dibelakang kamu yan, bagus sekali” ucapku dengan sedikit makanan di dalam mulutku
“owh gitu ya? Ya sudah” ucap bu dian yang kemudian menggeser tempat duduknya
“lho kok pindah?” ucapku
“dah sekarang lihatin saja itu ari mancur sepuasnya, katanya bagus” ucapnya
“Eh...” mati kutu dah aku
Aku kemudian melanjutkan makanku lagi, dengan bu dian berada di sampingku. Tapi mata ini seperti kena tarikan magnet yang sangat kuat membuat bola mata ini tak henti-hentinya bergeser kesamping untuk sekedar melihatnya makan. Dia tampak sangat cuek sekali, setiap kali makan dia melihat ke depan tanpa melirikku.
“Apa lagi sekarang? Ada air mancur dibelakangku?” ucapnya tanpa sedikit melihat ke arahku
“Eh... ndak, ada bidadari” ucapku santai dan kemudian melanjutkan makan lagi. Kulirik dia memandangku dengan senyuman dan melanjutkan makan lagi.
“Iiiiiih.... sebel banget deh, kok bisa-bisanya ya ndak main ke kos mbaknya, ndak ngabari gimana gitu, eh tahu-tahunya makan malam bareng sama cewek dasar adik laki kurang ajar!” ucap seorang wanita di belakangku, kami berdua menoleh ke arah suara itu
“Mbak erlin...” ucapku, sedikit kulirik bu dian dia hanya tersenyum kemudian melanjutkan makannya lagi. Terlukis sebuah gambaran ketidak sukaan ketika mbak erlin datang.
“Duduk sini ahh.... sayang, duduk di sebelahku sini” ucap mbak erlina kepada seorang laki-laki dibelakangnya
“kenalin ar, pacar aku...” ucapnya
“Alan...” ucap pacar mbak erlina
“Arya...” ucapku
“Mbak, kenalin pacar aku” ucap mbak erlin ke bu dian
“Dian...” ucap bu dian
“Alan...” ucap alan
“kok mbak ada disini?” ucapku
“Yeee... terserah aku dong, kan aku lagi pacaran emang kamu? Ndak jelas hi hi hi” ucap mbak erlin
“ndak jelas gimana?” ucapku
“ndak tahu dech...” ucap mbak erlina
Kulihat raut wajah bu diah semakin suntuk, tak ada guratan senyum yang terlukis di wajahnya kembali. Beberapa kali mbak erlina mencoba untuk mengajak bu dian berbicara pun dijawabnya secukupnya saja. Benar-benar terlihat judes sekali. Tapi bu dian tetap melempar senyum ke arah mbak erlina dan alan walau senyum yang sangat terpaksa.
“Eh... mbak dian, sudah jadian ya sama arya” ucap mbak erlina
“belum, dia mahasiswaku” ucapnya
“kan ndak papa, mahasiswa sama dosen, benar ndak sayang?” ucap mbak erlina
“kelihatannya ndak mungkin” ucap bu dian sembari melihat kearahku penuh arti
Aku malah kebingungan dengan tatapan matanya. Kenapa tatapan mata itu memperlihatkan sesuatu tuntutan. Tuntutan agar aku yang menjawabnya. Aku tak mampu memandang mata indah itu, aku benar-benar belum mampu. Aku hanya tertunduk dan menghabiskan makanku. Mbak erlina dan alan tampak berbisik-bisik sesuatu dan kemudian tertawa cekikikan sendiri melihat tingkah polah kami berdua. Pesanan mbak erlina datang dan makanku sudah selesai, serti biasa dunhill.
“ndak usah merokok” ucap bu dian sambil mencabut rokok di bibirku dan langsung di buang. Diraihnya dunhill sebungkus dan korek api yang ada di meja, diremah dan hilang sudah. Aku hanya melongo menyaksikankejadian pembunuhan rokok dan peremasan sebungkus dunhill itu. Aku tidak mampu protes karena dari matanya dapat aku tangkap ketidak nyamanan dia berada disini.
“tuh, perhatian tanda sayang lho ar” ucap mbak erlina
“Eh... mbak erlina, sudah deh kasihan dian” ucapku
“Lho kok dian? Wah dah jadian niiiiih” ucap mbak erlina
“Kelhatanya sich sudah jadian sayang” ucap alan
Kulihat bu dian hanya diam saja tidak memandang ke arahku. Pandangannya dibuang ke arah kolam ikan yang berisi ikan koi. Aku sedikit salah tingkah dengan sikap bu dian ditambah lagi mbak erlina dan alan yang selalu saja mencandai aku dan bu dian. Lambat laun setelah suasana hening sesaat, bu dian akhirnya bisa memulai pembicaraan kembali dengan sikapnya yang tidak judes lagi. Kadang kakiku di injak oleh mbak erlina ketika bu dian sudah mulai bercanda dengan kami, tapi ingat judesnya masih ada.
“Dah malam pulang yuk ar” ucap bu dian
“Eh iya...”
“mbak, mas aku pulang dulu ya” ucapku kepada mbak erlina dan alan
“oke, hati-hati ya ar dijagain lho dian” ucap mbak erlina
“dijaga, dianter sampai rumah” ucap alan
“iya.. iya...” ucapku
Setelah membayar aku kemudian memboncengkan bu dian pulang. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut kami. jujur saja aku menjadi merasa bersalah dengan suasana ini. tapi jika dilihat lagi, kami bertemu dengan mbak erlin dan alan juga tidak disengaja. Hingga akhirnya aku melwati pos satpam perumahan ELITE, tiba-tiba bu dian memelukku dengan sangat erat.
“Pelan saja” ucapnya, aku kemudian menurunkan laju REVIA
“Maaf...” ucapnya
“buat apa bu?” ucapku
“Sikapku tadi ketika erlina datang” ucapnya
“Dian ndak salah kok, aku yang salah, kalau saja tidak di cafe itu mungkin ndak akan ketemu mereka” ucapku
“Aku ndak suka” ucapnya
“Eh...” aku sedikit terkejut dengan kata-katanya, REVIA berhenti tepat di depan rumahnya dan bu dian masih memelukku. aku tak mampu berkata-kata.
“Aku ndak suka kalau kita sedang makan diganggu cewek” ucapnya terasa mulutnya di benamkan di bahu kananku
“Pokoknya malam minggu besok keluar makan lagi, di tempat lain” ucapnya
“Eh... aku ndak tahu tempat lainnya yan” ucapku
“Pokoknya makan ditempat lain, Cuma aku sama kamu titik, aku ndak mau di cafe itu lagi, pokoknya ndak mau, ndak mau ketemu sama orang yang dikenal” ucapnya yang kini terlihat manja dengan suara serak seakan mau menangis
“Eh iya... minggu depan kita makan ditempat lain, iya aku bayarin lagi pokoknya” ucapku
“He’em...” ucapnya kemudian turun
“Janji ya?” ucapnya tepat di sampingku, aku mengangguk pelan dan tersenyum kepadanya
Tiba-tiba, dibukanya helmku olehnya. Seperti orang terhipnotis dan cup... pipi kananku di kecupnya. Aku tersenyum mendapatkan kecupan manisnya kembali. Dipakaikannya helmku kembali dan dia melangkah menuju ke gerbang pintu. Dibukanya gembok gerbang itu dan kemudian berdiri di depannya memandangku dengan senyum sambil kedua tangannya dibelakang. Tersadar akan waktu yang semakin malam.
“Aku pulang dulu yan” ucapku
“He’em...” ucapnya sambil menganggukan kepala
“hati-hati ya ar, ndak usah ngebut” ucapnya sambil tangannya men-dadah-iku
“iya,...” ucapku sembari menganggukan kepala dan tersenyum kepadanya
Kuputar revia dan kutarik gas motorku. Semakin aku menjauh kulihat dari spion motorku dia masih berada di depan pintu gerbangnya dan memandangku. Hingga revia membelok, hilang sudah bidadari itu. Dalam perjalanan menuju rumah, aku tersenyum-senyum sendiri dengan sikap manjanya. Kalau saja dia istriku dan manja seperti itu, wow seklai pastinya hari-hariku. Sesampainya dirumah, aku menemui ibuku dan ku ajak Ibu ke kamar lalu menceritakan semua yang terjadi. Ayah, lagi nonton TV bro.
“berarti banyakin puasa ini ya?” ucap Ibu sambil menunjukan ke arah susunya
“kenapa kaitanya sama itu to bu?” ucapku
“biar kamu itu, fokus, kan ibu sudah bilang bagaimana kita mau kembali seperti dulu kalau kamu ndak bisa melupakan ini” ucap ibu
“Ibu adalah ibu kamu, dan ibu berharap kamu juga mempunyai istri sayang tapi ingat jangan kamu terkam dian sebelum waktunya, awas!” ucap ibu
“Kalau ndak dapat jatah dan ada kesempatan ya diterkam saja bu he he he” ucapku
“Adaaaaaaaaaaow...” pukulan ringan dikepalaku
“ndak boleh, Ibu suka sama dian dan kamu ndak boleh sekali-kali menyentuhnya, ingat itu! Harus tepat pada waktunya” ucap Ibu
Aku tersenyum melihat kesungguhan kalimat ibu. mungkin dianlah yang bisa menghentikan kegilaanku saat ini. tapi bagaimana caranya? Aku juga belum tahu.
“Ibu akan selalu mendukungmu selama kamu dengan dian, dan setelahnya ibu akan jadi ibu kamu, okay? I want thebest for you son” ucapnya
“I hope i can let you go someday” ucapku
“you can! I promise” ucapnya
Akhirnya ibu meninggalkan kamarku dengan wajah bahagia. Tapi aku bisa melihat sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dian, kamu bisa menghentikan kegilaan aku dan ibu tapi apakah kamu bisa menerimaku seandainya kamu tahu semuanya? Centung, Bu dian
Hari-hariku semakin indah dengan kehadiran bu dian saat ini. Entah sesaat atau selamanya aku juga belum tahu. Sikap manjanya yang terakhir itu membuatku seakan-akan menjadi laki-laki yang hebat dan gagah. Ibu pun semakin mendukungku, walau aku tidak mengatakan kepada ibu jika memang suatu saat nanti ada seorang wanita yang ingin bersamaku, aku akan mengatakan rahasiaku. Aku tidak suka berbohong. Dian dan Ibu, aku harap bisa menjadi menantu dan ibu mertua yang akur.
Bimbingan dengan bu dian tampak sedikit berbeda dengan minggu lalu. Senyumya selalu terlukis ketika memberitahukan kesalah-kesalahan di tugas Akhirku. Di sini aku tetap memanggilnya dengan sebutan bu, dikampus harus ada formalitas juga kan?. Kulihat senyuman-senyuman indah itu seakan membius nadiku dan membuat seluruh tubuhku kaku dan membeku. Hanya leherku saja yang dapat bergerak dan mengangguk-angguk setiap ucapannya. Ada apa ini? kemarin aku begitu sangat kecewa dengannya tapi kenapa sekarang malah seperti ini. wanita ini jangan-jangan jelmaan medusa? Atau dia adalah dewi kecantikan yunani? Hanya itu pikiran yang terlntas di otakku hingga bimbingan selesai dan aku disadarkan oleh kata-kata indahnya.
“Arya, sudah...” ucapnya lembut
“Eh.. eh iya bu sudah, terima kasih”
“Saya mohon undur diri dulu” ucapku
“Iya, jangan lupa besok ya, ingat janjimu” ucapnya
“Iya yan, eh bu dian...” ucapku
Hingga di rumahpun aku masih tidak bisa menyangka sikapnya yang sekarang sangat begitu anggun dan menyentuh hatiku. Ibu duduk disampingku dan tersenyum ke arahku. Aku bercerita mengenai semua yang aku lalui hari demi hari walau sebenarnya aku seudah menceritakannya. Dan yang terbaru adalah perasaanku ketika bimbingan tadi.
“Jujur saja ibu suka sekali dengan dian dan kasihan sama kamu” ucap Ibu
“maksud ibu?” ucapku
“Suka sama dian, tapi kasihan itu kamu tuh, ndak keluar-keluar pasti sakit ya?” ucap Ibu
“Ibu sich ndak mau kasih” ucapku sambil memeluknya
“Ibu ndak enak sama dian, sayang. Ibu wanita, dian juga, ibu ndak mau melukai hatinya walau dia tidak pernah mengetahuinya. Ibu hanya ingin kamu benar-benar bisa meraih hatinya dan bisa melupakan kegilaan kita. Itu yang ibu harapkan” ucapnya
“Ya bu, tapi entah arya bisa atau tidak. Akan arya usahakan yang terbaik” ucapku dengan pikiran mengawang ke arah yang tidak menentu
“hei, jangan melamun sayang. Tenang kita pasti bisa melaluinya” ucap Ibu
Kupandangi wajah Ibu sejenak, wajah yang meneduhkanku. Aku pun tersenyum kepadanya, dibalasnya senyumanku dengan senyuman indahnya. Hening sesaat yang hanya dihiasi oleh senyuman kami berdua. Tiba-tiba ibu mencubit kedua pipiku dan mengecup kedua pipiku secara bergantian lalu dibetetnya hidungku dengan sangat keras. Aku mengaduh kesakitan, Ibu langsung berlari menjauhiku. Kami saling kejar-kejaran dan tertawa terbahak-bahak seakan-akan tak terjad sesuatu yang salah diantara kami berdua.
Hubunganku dengan mbak erlina pun seperti biasanya namun untuk kali ini tidak ada jatah kepadaku. Aku sempat kebingungan menahan kentang di dedek arya, bagaimana tidak? Jaminan 2 orang wanita yang akan selalu membuang kentang dari dedek arya semuanya tidak bisa hingga aku berangkat KKN. Ibu tidak ingin melakukannya karena tidak ingn mengganggu pikiranku, agar aku benar-benar bisa mendapatkan hati dian tanpa harus memikirkan hubungan “gelapku” dengan Ibu. Mbak erlina? Mungkin memang dia harapanku satu-satunya tapi pacarnya mendapatkan tugas untuk di daerahku. Lengkap sudah, tak mungkin aku ke kos mbak erlina hanya untuk minta jatah karena dari penuturan mbak erlina pacarnya selalu berada di kos.
Mbak echa atau mbak ela? Mungkin bisa tapi bisa gila kalau aku terus-terusan main bertiga. Bisa copot semua tulangku. Kalaupun main dengan mbak echa pastinya dia akan mengajak mbak ela tapi bisa saja aku mengondisikan agar aku hanya dengan mbak ela atau mbak echa saja. Aarghh... tidaklah, terlalu beresiko dengan mereka berdua ditambah lagi sekarang mbak ela serumah dengan mbak echa. Mbak ela sudah menjadi istri kedua suami mbak echa namun hanya secara “de facto” untuk secara “de jure” akan disahkan ke depannya. De facto? Nikah siri, de jure? Nikah sah yang diakui oleh negara yang semakin amburadul ini.
Ngeeeeeeeeeeeeeeeng... sekarang aku sudah berada di atas si bodi montok REVIA. Melaju dengan kecepatan optimum, dimana semua motor menyalipku dengan mudahnya. Kunikmati putaran demi putaran roda menuju kampus tercintaku. Akhirnya dengan iringan hembusan angin pagi aku sampai di kampusku tepat pukul setengah sembilan pagi. Segera aku melangkah cepat menuj jurusan dimana seorang wanita cantik nan judes sudah menungguku disana.
“Mas, Arya!” teriak pegawai TU yang aku lihat sedang mengorbol dengan seseorang di pintu masuk TU. Segera aku memindahkan halauan kakiku menuju TU dan wanita tersebut masuk ke dalam TU
“Iya bu, ada apa?” ucapku ketika masuk TU dan wanita itu tampak sibuk mencari sesuatu
“Ini ada kiriman dari tepat mas Arya PKL” ucapnya sembari menyodorkan sebuah amplop
“Apa ini bu?” ucapku
“nilai mungkin” ucapnya
“Owh... ya bu terima kasih” ucapku, agak sedikit bingung juga ketika mendapati amplop berisi nilai dikirimkan ke jurusan. Aneh, biasanya sudah ada nilainya ketika penarikan.
Aku melangkah keluar dan kemudian ku buka amplop tersebut. Betapa kagetnya aku melihat sepulu uang berwarna merah sedang berpelukan di dalam amplop. Ada sebuah surat di dalamnya.
Tok tok tok tok....
“Masuk...” ucap wanita di dalam, aku pun masuk setelah suara itu menghilang
“Bu Dian...” ucapku
“Owh, silahkan duduk” ucapnya
“Terima kasih bu”
“Maaf bu sesuai dengan instruksi dari ibu untuk bimbingan tugas akhir, ini Tugas Akhir saya mohon bimbingannya” ucapku
“Owh TA ya? Memang aku menginstruksikan untuk bimbingan hari ini?” ucapnya
“Maaf bu, kemarin yang di BBM, ibu menyuruh saya untuk bimbingan” ucapku
“Memang benar saya? Ada buktinya? Saya ndak merasa tuh” ucap bu dian yang judesnya mulai kelihatan
“maaf bu, saya tidak mungkin salah baca, ibu mengrimkan bbm ke saya untuk bimbingan dan bukti percakapan masih ada bu” ucapku mencoba membela diri
“Saya tidak merasa mengirimkan bbm ke kamu ar” ucapnya
“Eh... ya sudah saya mohon maaf, kalau begitu saya undur diri dulu dan maaf mengganggu waktu ibu” ucapku sambil berdiri dan sedikit membungkukan badan. Tanganku pun bergerak meraih tumpukan kertas bertuliskan Tugas Akhir itu.
“Sudah, sudah... kamu duduk lagi saja, karena kamu sudah disini ya bimbingan saja” ucapnya sambil tersenyum mengejekku yang ditutupi tangan kirinya
“Tidak usah saja bu, ndak enak mengganggu ibu” ucapku
“DU.... DUK!” ucapnya sedikit membentak
“I... iya bu...” ucapku yang kemudian duduk dihadapanya kembali
“Dasar cewek judes, jutek nyebelin seenaknya saja mempermainkan aku, belum tahu apa berapa cewek yang sudah aku lumpuhkan! Dasar coba saja kamu tahu kehebatanku, aku pasti.... bertekuk lutut dihadapanmu cantik hiks hiks hiks” bathinku
Kulihat bu dian membolak-balikan tugas akhirku. Tampak wajahnya yang serius membaca tugas akhirku membuat aku terhipnotis dengan mulutku sedikit terbuka. Wajahnya, keanggunannya, kenapa baru kali ini aku bisa melihatnya?
“Ar...”
“Ar...”
“Aryaaaa.....” ucapnya dengan nada sedikit keras
“Eh eh iya bu dian, maaf bu maaf melamun” ucapku
“Kenapa belum pernah lilhat cewek cantik ya? Sampek ngelamun begitu? Ngelamun apa kamu?” ucapnya
“Eh ndak bu ndak, hanya agak sedikit capek saja” ucapku
“kenapa? capek bertengkar sama cewek judes dan jutek ya kemarin di warung?” ucapnya
“Bukan itu bukan bu, ibu salah lihat orang mungkiin” elakku
“Ya ndak mungkin salah lihat... wong aku melihatnya pake mata kepala saya sendiri” ucapnya
Aku hanya mampu terdiam dan menunduk. Benar-benar sial hari ini, kenapa juga kemarin aku harus bertengkar dengannya. Dia kan dosenku yang seharusnya aku hormati, tapi dia wanita yang buat aku bingung. Benar-benar sial yang aku rasakan, tak berani aku melihat apalagi memandangnya. Hanya melihat kedua pahaku sendiri yang berbalutkan celana jeans.
“Kenapa diam? Kok ndak kaya kemarin, menggebu-gebu bales setiap omonganku?” ucapnya dan aku hanya diam saja
“Ini TA, diperbaiki lagi, penulisan banyak yang salah. Apa ndak bisa ngetik? Masa mahasiswa S1 ndak bisa ngetik? Payah!” ucapnya
“Iya bu maaf... akan segera saya perbaiki” ucapku tanpa ada keberanian membalas omongannya
Tanganku kemudian meraih tugas akhir yang diserahkan kepadaku. Tanpa melihat wajahnya sedikit pun aku letakan tugas akhirku di atas pahaku. Suasana hening dan tak ada tegur sapa antara kami berdua.
“Sudah?” ucapnya
“iya bu sudah terima kasih atas bimbingannya” ucapku
“kalau sudah tidak ada lagi, kamu bisa meninggalkan ruangan” ucapnya. Namun kaki ini tidak bisa beranjak dari tempat duduk, pikiranku kacau balau entah kenapa aku tidak ingin meninggalkan tempat ini, entah mengapa aku masih ingin bersamanya
“kok ndak pergi? Masih betah berhadapan sama cewek judes?” ucapnya, aku hanya terdiam dan kemudian....
“Maaf bu, boleh bertanya?” ucapku memberanikan diri
“Apa? Tanya tinggal nanya kok susah to?” ucapnya
“eh... terima kasih bu..mmmm” ucapku terhenti
“Apa? Cepetan!” ucapnya dengan sejuta judes dan jutek di tiap kata-katanya
“iya bu iya, sabar bu...”
“Ibu kalau malam minggu suka berpergian tidak?” ucapku
“Memang apa urusan kamu?” ucapnya
“Maaf bu saya hanya tanya, kalau menyinggung perasaan ibu, saya mohon maaf” ucapku
“ndak, kalau malam minggu dirumah saja, memang kenapa?!” ucapnya
“ini bu saya dapat uang saku dari perusahaan, kalau ibu berkenan saya ingin mengajak makan malam” ucapku semakin berani
“oh....” hanya itu yang aku dengar darinya dan tak ada lanjutan
“Sudah dulu, aku mau mengajar sudah ditunggu mahasiswa-mahasiswaku yang ganteng-ganteng” ucapnya sambil berdiri dan membawa buku yang dipeluknya
“Eh... iya bu maaf, kalau tadi saya lancang” ucapku sambil memandang bu dian melangkah mendekari pintu
Klek... suara daun pintu
“Jam setengan delapan aku tunggu, dirumah” ucapnya tanpa memandangku dan langsung melangkah pergi
“YES!” teriakku sedikit keras
“SSStttt.. diam, ini jurusan” ucapnya yang tiba-tiba membuka pintu
“Eh... maaf bu” ucapku kembali tertunduk
Dalam heningku aku hanya bisa tersenyum dan masih duduk di ruangan dosenku ini. kudengar suara langkah kakinya menjauh diiringi tawa cekikikan. Aku pun sedikit tersenyum dengan tingkahku dihadapannya. Aku kemudian bangkit dan berjalan menuju tempat parkir. Biasanya siang-siang seperti ini aku makan bersama dengan Rahman, tapi dia masih PKL dan selesainya 3 hari sebelum pemberangkatan PKL.
Sampai dirumah aku bercerita kepada ibuku mengenai sikap bu dian. Ibu hanya tertawa dan menertawakanku berkali-kali. Ibu heran kepadaku kenapa aku bisa seberaninya seperti hari ini. ibu semakin menertawakanku ketika aku bercerita kejadian di warung wongso. Aku semakin jengkel dengan sikap ibu yang menertawakanku, bukan jengkel karena marah tapi jengkel karena ditertawakan terus-terusan. Ibu hanya menyarankan kepadaku agar aku lebih memakai perasaan ketika bertemu dengan bu dian. Ya mungkin itu yang akan aku aplikasikan besok malam minggu.
“bu... boleh?” ucapku sambil memeluknya dan mengusap-usapkan kepalaku di susunya
“yeee... ndak dulu sayang, kan minggu kemarin sudah rapel banyak sekali, setiap hari lagi” ucap ibu
“ya kan, kemarin ibu sendiri yang kasih” ucapku
“hi hi hi selama kamu pdkt pokoknya kamu harus bisa mengalihkan perhatian kamu dari ini” ucap ibu sambil menunjuk susunya
“kenapa?” ucapku
“Agar kamu bisa lebih fokus lagi, ndak selengekan kaya gini, okay dear?” ucap ibu sambil tersenyum manis kepadaku. Aku pun tersenyum melihat kesungguhan ibu yang mendukungku
“Okay mom” ucapku
Hari berganti waktupun berlalu, tak ada kesibukan yang berarti bagiku. Hanya membenarkan beberapa kesalahan di tugas akhirku. Akhirnya Malam minggu tiba, aku kemudian bersiap menuju ke rumah bu dian. Tampak Ibu dengan mengepalkan tangannya keatas, dengan senyum manisnya yang khas memberiku semangat. Dengan aroma wangi parfum “KAPAK” aku menuju kerumah bu dian. Sesampainya disana, baru saja motorku bernti tiba-tiba pintu gerbang rumahnya terbuka.
“Ndak usah dimatikan” ucapnya sambil mengunci pintu gerbang rumahnya.
Setelahnya bu dian langsung melangkah ke arahku, tanpa bicara bu dian langsung membonceng di belakangku. Aku hanya diam melihatnya takjub dengan keindahan wanita yang baru saja melintas dihadapanku yang sekarnag sudah dibelakangku. Bagaimana tidak? Wanita dengan pakaian yang menutupi sikunya, tidak ketat hanya saja memperlihatkan dada yang membusung tapi tanpa ada belahan dada pada pakaian yang dikenakannya. Pada bagian perutnya pakaiannya tampak sangat longgar tidak sedikitpun memperlihatkan bentuk perutnya. Bagian bawah dihiasi oleh celana jeans legging dengan sepatu karet hitam, mungkin sepatu karet maklumlah malam hari tidak begitu jelas. Dengan helm putihnya menghiasi kepalanya. Ya begitulah ciri-ciri wanita yang baru saja melintas di hadapanku, sekarang? Sudah aku bilang di belakangku kan tadi?
“Ayo jalan, malah bengong” ucapnya
“Eh... iya bu” ucapku
“Sekali lagi kamu panggil aku dengan kata bu atau mbak di depan, aku turun, lebih baik tidur saja drumah” ucapnya
“Eh.. iya bu eh mbak eh dian” ucapku agak sedikit gugup entah kenapa aku merasakan hal yang sama terulang lagi seperti ketika aku pertama kali bersamanya
“Jalan!” ucapnya
“sssssshhhhh huffffffffth....” hela nafasku mencoba menenangkan tubuhku yang seakan menggigil
“iya iya... sabar, kaya naik tukang ojek saja” ucapku sedikit mencoba mengakrabinya
“marah niiiiih?” ucapnya
“Endak marah yan diaaaaan” ucapku
“hi hi hi hi...” tawanya
“kok malah ketawa?” ucapku
“berani sekali kamu manggil nama aku, aku itu dosen kamu lho hi hi hi” ucapnya
“Eh... terus gimana tadi minta dipanggil nama sekarang... argghhh bingung aku” ucapku
“iya iya dipanggil dian saja ndak papa mas aryaaaa” ucapnya
“dah ayo jalan sudah lapar nungguin kamu ni” lanjutnya
“Oke siap!” ucapku yang langsung menarik gas ditangan kananku
“Eh bentar” ucapnya, membuat aku mengeram mendadak ciit.... dan dada yang membusung itu langsung menghantam punggungku
“Aduh, pelan kenapa? cari kesempatan ya?” ucapnya
“Yeee siapa yang nyari kesempatan, kamu ngomongnya juga mendadak tadi” ucapku
“iiiih... sama cewek ndak mau ngalah” ucapnya sambil mencubit punggungku
“Adaaaaaaaaaow... iya, iya maaf” ucapkku
“hi hi hi, kita mau makan dimana?” ucapnya
“Di cafe miliknya pacarnya dira, yang dulu itu” ucapku
“Oke, yuk jalan” ucapnya
REVIA berjalan dengan dua orang yang menunggangi, satu orang sedang dalam suasana hati yang bahagia yang satunya entahlah, namanya juga cewek susah dimengerti isi hatinya. Jalan malam aku telusuri dan akhirnya aku sampai di cafe milik eko pacar sudira alias suka jadi waria. Setelah beberapa bulan aku tidak ke cafe ini, tampak perubahan besar-besaran ada di dalam cafe. Kami mencari tempat yang lebih nyaman, tepatnya dekat dengan kolam ikan. Pelayan pun datang dan menawarkan kami makanan, kami sudah tampak akrab dengan pelayan-pelayan disini maklumlah 2 kejadian perkelahian melibatkan aku dan dian di dalamnya. Pelayan tersebut kemudian pergi setelah kami menulis pesanan kami.
“Kok celingak-celinguk, nyari apa? Lihatin cewek ya? Dasar ndak sopan! Sudah ada cewek di depannya masih nyari yang lain” ucapnya
“ndak begitu dian, dosenku...”
“Cuma mencoba lebih waspada saja, kalau tiba-tiba ada yang menggebrak meja dan nyiram mukaku lagi, perih masalahnya he he he” ucapku
“iiiih apaan sich kamu itu awas!” ucapnya aku hanya tertawa cengengesan melihatnya mencoba mencubit tanganku.
Sedikitnya kami bercanda walau aku masih tetap menganggap ada batas diantara kami berdua, maklumlah dia kan dosen aku. Setiap kali aku melihat wajahnya, hati ini merasa sangat nyaman sekali. Indah benar makhluk yang ada didepanku ini. Pelayan kemudian datang, membawakan makanan pesanan kami dan juga minuman. Kami berdua kemudian makan, tapi nakalnya mataku ini selalu saja mencoba mencuri pandang wajah indahnya.
“Kalau makan ya makan, ndak usah lihat kemana-mana? Ndak pernah llihat cewek cantik ya?” ucapnya
“Hmmm... siapa yang lihatin kamu, aku Cuma lihatin tuh air mancur dibelakang kamu yan, bagus sekali” ucapku dengan sedikit makanan di dalam mulutku
“owh gitu ya? Ya sudah” ucap bu dian yang kemudian menggeser tempat duduknya
“lho kok pindah?” ucapku
“dah sekarang lihatin saja itu ari mancur sepuasnya, katanya bagus” ucapnya
“Eh...” mati kutu dah aku
Aku kemudian melanjutkan makanku lagi, dengan bu dian berada di sampingku. Tapi mata ini seperti kena tarikan magnet yang sangat kuat membuat bola mata ini tak henti-hentinya bergeser kesamping untuk sekedar melihatnya makan. Dia tampak sangat cuek sekali, setiap kali makan dia melihat ke depan tanpa melirikku.
“Apa lagi sekarang? Ada air mancur dibelakangku?” ucapnya tanpa sedikit melihat ke arahku
“Eh... ndak, ada bidadari” ucapku santai dan kemudian melanjutkan makan lagi. Kulirik dia memandangku dengan senyuman dan melanjutkan makan lagi.
“Iiiiiih.... sebel banget deh, kok bisa-bisanya ya ndak main ke kos mbaknya, ndak ngabari gimana gitu, eh tahu-tahunya makan malam bareng sama cewek dasar adik laki kurang ajar!” ucap seorang wanita di belakangku, kami berdua menoleh ke arah suara itu
“Mbak erlin...” ucapku, sedikit kulirik bu dian dia hanya tersenyum kemudian melanjutkan makannya lagi. Terlukis sebuah gambaran ketidak sukaan ketika mbak erlin datang.
“Duduk sini ahh.... sayang, duduk di sebelahku sini” ucap mbak erlina kepada seorang laki-laki dibelakangnya
“kenalin ar, pacar aku...” ucapnya
“Alan...” ucap pacar mbak erlina
“Arya...” ucapku
“Mbak, kenalin pacar aku” ucap mbak erlin ke bu dian
“Dian...” ucap bu dian
“Alan...” ucap alan
“kok mbak ada disini?” ucapku
“Yeee... terserah aku dong, kan aku lagi pacaran emang kamu? Ndak jelas hi hi hi” ucap mbak erlin
“ndak jelas gimana?” ucapku
“ndak tahu dech...” ucap mbak erlina
Kulihat raut wajah bu diah semakin suntuk, tak ada guratan senyum yang terlukis di wajahnya kembali. Beberapa kali mbak erlina mencoba untuk mengajak bu dian berbicara pun dijawabnya secukupnya saja. Benar-benar terlihat judes sekali. Tapi bu dian tetap melempar senyum ke arah mbak erlina dan alan walau senyum yang sangat terpaksa.
“Eh... mbak dian, sudah jadian ya sama arya” ucap mbak erlina
“belum, dia mahasiswaku” ucapnya
“kan ndak papa, mahasiswa sama dosen, benar ndak sayang?” ucap mbak erlina
“kelihatannya ndak mungkin” ucap bu dian sembari melihat kearahku penuh arti
Aku malah kebingungan dengan tatapan matanya. Kenapa tatapan mata itu memperlihatkan sesuatu tuntutan. Tuntutan agar aku yang menjawabnya. Aku tak mampu memandang mata indah itu, aku benar-benar belum mampu. Aku hanya tertunduk dan menghabiskan makanku. Mbak erlina dan alan tampak berbisik-bisik sesuatu dan kemudian tertawa cekikikan sendiri melihat tingkah polah kami berdua. Pesanan mbak erlina datang dan makanku sudah selesai, serti biasa dunhill.
“ndak usah merokok” ucap bu dian sambil mencabut rokok di bibirku dan langsung di buang. Diraihnya dunhill sebungkus dan korek api yang ada di meja, diremah dan hilang sudah. Aku hanya melongo menyaksikankejadian pembunuhan rokok dan peremasan sebungkus dunhill itu. Aku tidak mampu protes karena dari matanya dapat aku tangkap ketidak nyamanan dia berada disini.
“tuh, perhatian tanda sayang lho ar” ucap mbak erlina
“Eh... mbak erlina, sudah deh kasihan dian” ucapku
“Lho kok dian? Wah dah jadian niiiiih” ucap mbak erlina
“Kelhatanya sich sudah jadian sayang” ucap alan
Kulihat bu dian hanya diam saja tidak memandang ke arahku. Pandangannya dibuang ke arah kolam ikan yang berisi ikan koi. Aku sedikit salah tingkah dengan sikap bu dian ditambah lagi mbak erlina dan alan yang selalu saja mencandai aku dan bu dian. Lambat laun setelah suasana hening sesaat, bu dian akhirnya bisa memulai pembicaraan kembali dengan sikapnya yang tidak judes lagi. Kadang kakiku di injak oleh mbak erlina ketika bu dian sudah mulai bercanda dengan kami, tapi ingat judesnya masih ada.
“Dah malam pulang yuk ar” ucap bu dian
“Eh iya...”
“mbak, mas aku pulang dulu ya” ucapku kepada mbak erlina dan alan
“oke, hati-hati ya ar dijagain lho dian” ucap mbak erlina
“dijaga, dianter sampai rumah” ucap alan
“iya.. iya...” ucapku
Setelah membayar aku kemudian memboncengkan bu dian pulang. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut kami. jujur saja aku menjadi merasa bersalah dengan suasana ini. tapi jika dilihat lagi, kami bertemu dengan mbak erlin dan alan juga tidak disengaja. Hingga akhirnya aku melwati pos satpam perumahan ELITE, tiba-tiba bu dian memelukku dengan sangat erat.
“Pelan saja” ucapnya, aku kemudian menurunkan laju REVIA
“Maaf...” ucapnya
“buat apa bu?” ucapku
“Sikapku tadi ketika erlina datang” ucapnya
“Dian ndak salah kok, aku yang salah, kalau saja tidak di cafe itu mungkin ndak akan ketemu mereka” ucapku
“Aku ndak suka” ucapnya
“Eh...” aku sedikit terkejut dengan kata-katanya, REVIA berhenti tepat di depan rumahnya dan bu dian masih memelukku. aku tak mampu berkata-kata.
“Aku ndak suka kalau kita sedang makan diganggu cewek” ucapnya terasa mulutnya di benamkan di bahu kananku
“Pokoknya malam minggu besok keluar makan lagi, di tempat lain” ucapnya
“Eh... aku ndak tahu tempat lainnya yan” ucapku
“Pokoknya makan ditempat lain, Cuma aku sama kamu titik, aku ndak mau di cafe itu lagi, pokoknya ndak mau, ndak mau ketemu sama orang yang dikenal” ucapnya yang kini terlihat manja dengan suara serak seakan mau menangis
“Eh iya... minggu depan kita makan ditempat lain, iya aku bayarin lagi pokoknya” ucapku
“He’em...” ucapnya kemudian turun
“Janji ya?” ucapnya tepat di sampingku, aku mengangguk pelan dan tersenyum kepadanya
Tiba-tiba, dibukanya helmku olehnya. Seperti orang terhipnotis dan cup... pipi kananku di kecupnya. Aku tersenyum mendapatkan kecupan manisnya kembali. Dipakaikannya helmku kembali dan dia melangkah menuju ke gerbang pintu. Dibukanya gembok gerbang itu dan kemudian berdiri di depannya memandangku dengan senyum sambil kedua tangannya dibelakang. Tersadar akan waktu yang semakin malam.
“Aku pulang dulu yan” ucapku
“He’em...” ucapnya sambil menganggukan kepala
“hati-hati ya ar, ndak usah ngebut” ucapnya sambil tangannya men-dadah-iku
“iya,...” ucapku sembari menganggukan kepala dan tersenyum kepadanya
Kuputar revia dan kutarik gas motorku. Semakin aku menjauh kulihat dari spion motorku dia masih berada di depan pintu gerbangnya dan memandangku. Hingga revia membelok, hilang sudah bidadari itu. Dalam perjalanan menuju rumah, aku tersenyum-senyum sendiri dengan sikap manjanya. Kalau saja dia istriku dan manja seperti itu, wow seklai pastinya hari-hariku. Sesampainya dirumah, aku menemui ibuku dan ku ajak Ibu ke kamar lalu menceritakan semua yang terjadi. Ayah, lagi nonton TV bro.
“berarti banyakin puasa ini ya?” ucap Ibu sambil menunjukan ke arah susunya
“kenapa kaitanya sama itu to bu?” ucapku
“biar kamu itu, fokus, kan ibu sudah bilang bagaimana kita mau kembali seperti dulu kalau kamu ndak bisa melupakan ini” ucap ibu
“Ibu adalah ibu kamu, dan ibu berharap kamu juga mempunyai istri sayang tapi ingat jangan kamu terkam dian sebelum waktunya, awas!” ucap ibu
“Kalau ndak dapat jatah dan ada kesempatan ya diterkam saja bu he he he” ucapku
“Adaaaaaaaaaaow...” pukulan ringan dikepalaku
“ndak boleh, Ibu suka sama dian dan kamu ndak boleh sekali-kali menyentuhnya, ingat itu! Harus tepat pada waktunya” ucap Ibu
Aku tersenyum melihat kesungguhan kalimat ibu. mungkin dianlah yang bisa menghentikan kegilaanku saat ini. tapi bagaimana caranya? Aku juga belum tahu.
“Ibu akan selalu mendukungmu selama kamu dengan dian, dan setelahnya ibu akan jadi ibu kamu, okay? I want thebest for you son” ucapnya
“I hope i can let you go someday” ucapku
“you can! I promise” ucapnya
Akhirnya ibu meninggalkan kamarku dengan wajah bahagia. Tapi aku bisa melihat sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dian, kamu bisa menghentikan kegilaan aku dan ibu tapi apakah kamu bisa menerimaku seandainya kamu tahu semuanya? Centung, Bu dian
Bimbingan dengan bu dian tampak sedikit berbeda dengan minggu lalu. Senyumya selalu terlukis ketika memberitahukan kesalah-kesalahan di tugas Akhirku. Di sini aku tetap memanggilnya dengan sebutan bu, dikampus harus ada formalitas juga kan?. Kulihat senyuman-senyuman indah itu seakan membius nadiku dan membuat seluruh tubuhku kaku dan membeku. Hanya leherku saja yang dapat bergerak dan mengangguk-angguk setiap ucapannya. Ada apa ini? kemarin aku begitu sangat kecewa dengannya tapi kenapa sekarang malah seperti ini. wanita ini jangan-jangan jelmaan medusa? Atau dia adalah dewi kecantikan yunani? Hanya itu pikiran yang terlntas di otakku hingga bimbingan selesai dan aku disadarkan oleh kata-kata indahnya.
“Arya, sudah...” ucapnya lembut
“Eh.. eh iya bu sudah, terima kasih”
“Saya mohon undur diri dulu” ucapku
“Iya, jangan lupa besok ya, ingat janjimu” ucapnya
“Iya yan, eh bu dian...” ucapku
Hingga di rumahpun aku masih tidak bisa menyangka sikapnya yang sekarang sangat begitu anggun dan menyentuh hatiku. Ibu duduk disampingku dan tersenyum ke arahku. Aku bercerita mengenai semua yang aku lalui hari demi hari walau sebenarnya aku seudah menceritakannya. Dan yang terbaru adalah perasaanku ketika bimbingan tadi.
“Jujur saja ibu suka sekali dengan dian dan kasihan sama kamu” ucap Ibu
“maksud ibu?” ucapku
“Suka sama dian, tapi kasihan itu kamu tuh, ndak keluar-keluar pasti sakit ya?” ucap Ibu
“Ibu sich ndak mau kasih” ucapku sambil memeluknya
“Ibu ndak enak sama dian, sayang. Ibu wanita, dian juga, ibu ndak mau melukai hatinya walau dia tidak pernah mengetahuinya. Ibu hanya ingin kamu benar-benar bisa meraih hatinya dan bisa melupakan kegilaan kita. Itu yang ibu harapkan” ucapnya
“Ya bu, tapi entah arya bisa atau tidak. Akan arya usahakan yang terbaik” ucapku dengan pikiran mengawang ke arah yang tidak menentu
“hei, jangan melamun sayang. Tenang kita pasti bisa melaluinya” ucap Ibu
Kupandangi wajah Ibu sejenak, wajah yang meneduhkanku. Aku pun tersenyum kepadanya, dibalasnya senyumanku dengan senyuman indahnya. Hening sesaat yang hanya dihiasi oleh senyuman kami berdua. Tiba-tiba ibu mencubit kedua pipiku dan mengecup kedua pipiku secara bergantian lalu dibetetnya hidungku dengan sangat keras. Aku mengaduh kesakitan, Ibu langsung berlari menjauhiku. Kami saling kejar-kejaran dan tertawa terbahak-bahak seakan-akan tak terjad sesuatu yang salah diantara kami berdua.
Hubunganku dengan mbak erlina pun seperti biasanya namun untuk kali ini tidak ada jatah kepadaku. Aku sempat kebingungan menahan kentang di dedek arya, bagaimana tidak? Jaminan 2 orang wanita yang akan selalu membuang kentang dari dedek arya semuanya tidak bisa hingga aku berangkat KKN. Ibu tidak ingin melakukannya karena tidak ingn mengganggu pikiranku, agar aku benar-benar bisa mendapatkan hati dian tanpa harus memikirkan hubungan “gelapku” dengan Ibu. Mbak erlina? Mungkin memang dia harapanku satu-satunya tapi pacarnya mendapatkan tugas untuk di daerahku. Lengkap sudah, tak mungkin aku ke kos mbak erlina hanya untuk minta jatah karena dari penuturan mbak erlina pacarnya selalu berada di kos.
Mbak echa atau mbak ela? Mungkin bisa tapi bisa gila kalau aku terus-terusan main bertiga. Bisa copot semua tulangku. Kalaupun main dengan mbak echa pastinya dia akan mengajak mbak ela tapi bisa saja aku mengondisikan agar aku hanya dengan mbak ela atau mbak echa saja. Aarghh... tidaklah, terlalu beresiko dengan mereka berdua ditambah lagi sekarang mbak ela serumah dengan mbak echa. Mbak ela sudah menjadi istri kedua suami mbak echa namun hanya secara “de facto” untuk secara “de jure” akan disahkan ke depannya. De facto? Nikah siri, de jure? Nikah sah yang diakui oleh negara yang semakin amburadul ini.
0 komentar: