WILD LOVE???? #11
Di sebuah rumah perumahan ELITE, dimana seorang wanita sedang rebah dengan wajah sumringahnya. Setelah hari ini, tepatnya malam ini dia telah melewati malam yang baginya adalah malam indah, malam yang sangat indah. Bertemu dengan sorang lelaki yang menurut dia adalah lelaki yang lucu dan gentle. Sambil tersenyum sumringah dia menatap langit-langit kamarnya.
“Hmmmm... anaknya ternyata lucu juga hi hi hi hi” bathin wanita tersebut, dengan wajah yang sumringah
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sematponku berbunyi dengan sangat keras di awal semester enam ini, membuat kuping ini serasa berdengung. Aku terperanjat kaget, segera aku raih sematpon KW super-ku ini. terlihat pukul 05.00. Dengan secepat kilat bagai petir yang menyambar aku mandi dan mempersiapkan semua keperluanku Kuliah hari ini. ini adalah hari pertamaku kuliah di semester 6, semester tua menurut beberapa temanku karena ini adalah semester terakhir bagiku. Di semester 7 nanti akan lebih banyak kegiatan kuliah di luar kampus, KKN dan PKL, selebihnya tidak ada kuliah di kampus. Di semester 6 ini aku menganmbil jadwal pagi di hari senin yaitu pukul 07.30 selebihnya pukul 08.30 jadi aku harus berangkat dari rumah jam 06.00.
Dibawah Romo tampak masih santai dengan kaos oblong dan sarungnya sedangkan Ibu juga masih terlihat menyiapkan sarapan pagi. Senyum sapa kepada Ibu yang tulus dan senyum sapa palsu terhadap Ayahku. Tidak bisa aku memungkiri jika dalam hati ini masih terbesit sebuah kekesalan terhadap Ayahku. Segera aku menyantap sarapan pagiku, sambil sarapan kulirik jam dinding menunjukan pukul 05.50. Kupercepat sarapan pagi ini dan segera aku bangkit pamit dengan kedua orang tuaku lalu melaju menyusuri jalanan daerahku menuju kampus tercinta.
“Hati-hati tidak usah ngebut-ngebut nanti Nak” ucap Ibuku yang mengantarku sampai depan garasi
“Iya Ibuku tercintaaaaa” ucapku dengan senyuman, ditariknya aku kedalam garasi dan kami berciuman lembut di dalam sana. Setelah adgena yang lumayan panas di dalam garasi walau hanya ciuman dibibir, segera aku keluar dari garasi dan memacu REVIA.
Kecepatan penuh aku tarik dengan tangan kananku, hembusan angin dingin menerpa tubuh ini. terasa dingin walau sudah mengenakan jaket sport yang tebal. Kecepata maksimum hingga sebuah motor roda tiga bisa menyalipku dengan santainya. Maklum kecepatan maksimum REVIA sudah menurun dan tidak bisa semaksimal ketika REVIA masih muda. Dan ciiiiiiiiiiiiiit... sampailah aku didepan kampus tercintaku. Aku melangkah menuju ke kampus idaman semua lulusan SMA di daerahku, dengan langkah cepat.
Bughh....
“Adiauuuuhhhhhhhhh....” sebuah pukulan ringan mendarat dikepalaku tanpa aku sadari
“Mangkanya, kalau jalan ndak usah cepet-cepet Ar” ucap Rahman dari belakangku
“Wooooo... dasar kamu kang” balasku, kami kemudian melangkah bersama ke ruang kelas
“Ssssttt... kemarin ente beneran lihat ane?” bisik rahman
“Lihat” jawabku dengan senyum cengengesan
“berarti ente tahu siapa cewek yang sedang ane kikuk-kikuk?” bisik rahman dengan wajah tegang
“ndak kelihatan kang, emang siapa kang?” jawabku
“Fyuuuuuuuuuhhhh untunglah kalau begitu, ya udah masuk kelas saja, dah hampir setengah delapan” ucap rahman sembari menepuk bahuku. Aku berdiri dan tidak bergerak melihat gelagat aneh Rahman, biasanya dia akan cerita mengenai siapa wanita tersebut kepadaku dan kali ini berbeda. Segera aku melangkah masuk ke kelas yang berada di lantai dua ini. ketika satu kakiku masuk kekelas aku menengok kearah kananku, ke arah kelas sebelah yang ditempati oleh adik tingkatku.
Seorang wanita dengan mengenakan pakaian putih yang ditutup oleh blazer hitam serta celana panjang kain bukan jeans yang tidak begitu ketat memandangku. Bu Dian, dia tersenyum manis kepadaku, rasanya hati ini jatuh kelantai meleleh dan menguap menjadi gas yang berhembus masuk kedalam hatinya. Aku hanya mampu tersenyum dan menganggukan kepalaku. Bu Dian kemudian masuk ke dalam kelas dan begitu pula denganku. Selang beberapa menit dosen masuk ke dalam kelas, Dia adalah Bu Ernaningsih, seorang dosen muda yang sudah menikah wajahnya sama seperti semua dosen wanita di kampusku, JUDES!
“Okay, Good Morning ladies ang gentlemen” ucap Bu Erna
“Morning Miss....” ucap serentak semua mahasiswa
“Before we start iur study today, let’s pray toogether” ucap bu erna, yang kemudian semua mahasiswa berdoa menurut agama dan kepercayaannya masing-masing
Bu Erna kemudian memberikan kontrak kuliah yang begitu kejam kepada kami, padahal dulu sewaktu kami masih semester 2. Kontrak kuliah Bu Erna masih fleksibel tapi sekarang semua mahasiswa tidak boleh ada yang terlambat masuk kuliah, pengumpulan tugas, dan tidak boleh bolos sekalipun walau sebenarnya ada peraturan 75% kehadiran. Benar-benar sadis, bagaimana coba kalau pada hari minggu malam aku ber-kikuk-kikuk sama Ibu, kan capek paginya. Kuliah dimulai dengan benatakan keras kepada kami semua, membuat semua menjadi tegang atas bawah khusus bagi laki-laki, kalau perempuan tegang atas saja (kepala maksundnya). Bagaimana tidak tegang bawah, lha wong pakaiannya saja kaya Teller Bank, rok diatas lutut, dan pakaian bagian atas sangat ketat.
Dua setengah jam kami lewati dengan sangaaaaaat lama, apalagi setiap pembelajaran yang di berikan Bu Erna selalu saja membingungkan. Kuliah telah selesai beberapa mahasiswa berhamburan menuju gedung jurusan kami untuk melihat dosen pembimbing Tugas Akhir (skripsi) kami.
“Ayo, Ar kita lihat dosbing kita” ajak rahman
“Oke kang” jawabku yang kemudian melangkah bersamanya
Di dalam gedung jurusan, terdapat tempelan –tempelan kertas yang terbagi-bagi. Semua mahasiswa hanya mendapatkan satu Dosbing tidak seperti tahun-tahun sebelumnya dimana satu mahasiswa memiliki dua dosen pembimbing. Kuamati baris satu persatu mencari nama seorang lelaki keren, Arya Mahesa Wicaksono. Kutemukan namaku dan kutarik kesamping, Dian Rahmawati. Raut mukaku tetap sama saja tapi di dalam hatiku, aku sedang bersalto melompat kegirangan.
“Bu Diaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan yes yes yes yes yes” teriak bathinku. Segera aku membaca note di bawah tempelan kertas itu “Segera temui dosen pembimbing untuk awal pembimbingan”.
“Enak ente Ar, dapat Bu Dian, masih muda cantik lagi” ucap Rahman
“Ya Nasib kang, kan tahu sendiri judes, mending kamu dapat Bu Endang, orangnya enak di ajak ngobrol” jawabku
“Iya sich, montok lagi, moga aja bisa menyentuh kemontokannya he he he” ucap Rahman
“Gundulmu isinya Cuma mesum doang Ha ha ha ha ha” candaku
Akhirnya mahasiswa angkatanku berada di depan gedung jurusan untuk menunggu Dosen Pembimbingnya. Jika diamati mereka semua seperti gelandangan begitupula aku, Ada yang merokok, tiduran dilantai, ada yang pacaran, ada juga yang nonton pilem porno alias bokep. Lama menunggu satu persatu temanku masuk kedalam jurusan karena dosbingnya sudah pada datang semua. Sedangkan aku masih menunggu di depan gedung menanti kedatangan Bu Dian yang cantik imut dan muach-muach. Satu persatu mereka mulai meninggalkan aku sendiri di depan gedung jurusan begitu pula Rahman yang sudah tidak tahan terhadap laparnya.
“Hei, Ayo masuk” ucap seorang wanita yang menepuk bahuku
“Oh... Mbak eh Ibu, i... iya bu” ucapku
“sudah, tidak usah gugup seperti itu, biasa saja ya ehemmm...” ucapnya sambil tersenyum. Aku kemudian mengikutinya dari belakang dan masuk ke dalam ruang Dosen. Di sini setiap Dosen memiliki ruagan tersendiri, dimana 1 ruangan untuk 2 dosen saja.
“Duduk Ar...” ucap bu Dian lembut
“I.. iya Bu...” ucapku sedikit gugup
“iniiii, kemarin kan kita sudah buat KTI bersama jadi saya usul ke ketua jurusan agar kamu masuk dalam bimbingan saya”
“kamu tinggal melanjutkan KTI ini dengan menambah atau mengubah variabel bebasnya ya” ucap Bu Dian
“I... Iya bu...” ucapku
“Jangan gugup gitu dong, kaya lihat setan saja” ucap bu dian
“ee.... e... bukan begitu bu, grogi” ucapku
Kleeeek.... suara pintu terbuka
“kalau orang grogi biasanya orang itu suka sama yang di grogi’in lho Ar” Ucap Bu Erna yang masuk ke dalam ruangan. Ya Bu Erna memang satu ruangan dengan Bu Dian
“E... E... bukan aduh... itu bu... anu... ehhh... aaaahhhh” ucapku gugup
“yan, tuh Arya naksir sama kamu” ucap bu Erna yang kemudian duduk di kursinya
“Apaan sich mbak, kasihan Arya ni lho mbak” ucap Bu Dian
“Ya ndak papa to Yan, sama Arya saja daripada kamu menunggu yang tidak pasti” ucap Bu Erna
“Eh...” aku terkejut dengan ucapan Bu Erna, menunggu yang tidak pasti, apakah Bu Dian memiliki seseorang yang ditunggunya untuk menyatakan cinta dan perkataan itu seakan-akan ditujukan kepada laki-laki lain selain diriku. Perkataan Bu Erna membuatku tertunduk lesu dihadapan Bu Dian.
“Apakah status BBM-nya bukan untukku tapi untuk orang lain” bathinku
“Sudah jangan didengarkan omongan Bu Erna Ar, ya?” ucap Bu Dian. Kuangkat kepalaku dan memandang senyumannya.
“Eh... Iya Bu” ucapku. Kuhela nafas panjang, ku kondisikan diriku agar tidak gugup lagi.
“Aduuuuh, Arya kasihan, kalau Bu Dian ndak mau sama Bu Erna saja, Bu Erna mau kok hi hi hi” ucap Bu Erna yang seakan-akan meyakinkan aku mengenai lelaki misterius itu
“Waduh bu, bisa dibunuh sama suami Ibu nanti he he he” ucapku kepada Bu Erna
“Ya Diem-diem dong hi hi hi” ucap bu erna melanjutkan
“Mbak! Sudah deh ah!” ucap Bu Dian agak sedikit keras, Bu Erna hanya terkekeh-kekeh melihat reaksi Bu Dian
“Eeee... Bu Dian, terima kasih, nanti proposal akan segera saya buat, dan saya usahakan minggu depan akan segera saya berikan ke Bu Dian, mohon bimbingannya ya Bu” ucapku lancar dengan tersenyum
“I... Iya, saya tunggu”ucap Bu Dian dengan wajah agak sedikit gugup
“Kalau begitu saya pamit dulu Bu Dian, Bu erna, Mari” ucapku kepada mereka berdua dan dijawab oleh mereka berdua
Kulangkahkan kakiku menuju ke warung biasa aku dan rahman nongkrong. Kulihat dia sedang memainkan sematponnya. Aku menghampirinya setelah memesan makan siang kepada penjaga warung tersebut. Dengan lagak Rahman yang sok cuek aku duduk disebelahnya, ku amati layar sematponnya, Pilem Bokep sedang diputar.
“Udah ente makan dulu, nanti ane kasih Ar” ucap Rahman
“Dasar otak Mesum!” ucapku yang dibalas dengan gelak tawa rahman
Segera kulahap makan siangku, sesekali aku amati wajah rahman seakan-akan menyimpan sebuah rahasia kepadaku. Ya, aku tahu karena setiap kali dia menatap layar sematponnya itu raut wajahnya tidak sama dengan sebelum-sebelumnya. Apa mungkin tentang Ajeng? Atau Ayahnya? Atau mungkin dia tahu hubunganku dengan Ibunya? Mati aku.
“Kamu kenapa to kang?” ucapku setelah makanan di piring telah habis aku lahap
“Masalah cewek Ar biasa?” jawabnya
“Ajeng?” balasku
“Bukan” jawabnya
“Lalu?” ucapku
“Nanti kamu akan aku kasih tahu tapi bukan sekarang, pokoknya bisa bikin aku gila Ar” ucap Rahman
“Kalau Ajeng?” ucapku
“Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah....” dia menghela nafas panjang, menatap langit warung makan, kemudian memandangku dengan tatapan serius
“Ar, boleh aku jujur sama ente?” ucapnya, dan aku hanya mengangguk
“Ane tidak pernah mencintai ajeng, ane memacarinya karena ane ingin mendekati teman kosnya, hanya itu saja, dan sekarang dia mau menikah, bebaslah ane he he he” ucapnya membuat aku emosi
“Terserah ente mau bilang apa atau mau menghardiku bahkan menghajarku, jujur Ar, ane tidak punya perasaan apapun, semua yang ane katakan ke ente adalah bohong, Dia sebenarnya sukanya sama ente, karena sebelum jadian sama ane dia curhatnya tentang kamu terus, ya ane manfaatin buat ngedeketin teman kosnya, lagian dia ceweknya kurang asyik ndak mau tak sentuh, kasihan dong dedek-ku” jelasnya yang membuat darahku mendidih, mendengar penjelasannya seakan-akan aku melhat Om Nico dalam dirinya. Sesorang yang hanya ingin kesenangan saja.
“Tega kamu...” ucapku pelan
“Ane tidak ingin melanjutkannya lagi Ar, terserah pandangan ente terhadap ane apa, dan ane minta maaf karena ane memanfaatkan cewek yang seharusnya menjadi pacar kamu” ucapnya sambil menyulut Dunhill. Aku hanya tertunduk, kuraih bungkus rokok dunhill milik Rahman dan kusulut sebatang. Perasaanku semakin galau dengan semua yang terjadi, ingin aku menghajar orang didepanku ini tapi dia sahabatku. Di sisi lain aku juga telah menikmati tubuh Ibunya walau bukan aku yang menginginkannya tapi tetap saja aku menusuknya dari belakang. Kupandang wajahnya seakan-akan sudah tidak peduli lagi dengan ajeng, mungkin telah terjadi peterngakaran diantara mereka.
“Aku pulang...” ucapku pelan kepada Rahman, segera aku membayar makananku dan melangkah melewatinya yang sedang duduk
“Maafkan ane Ar, bukan maksudku mempermainkannya, tapi....” ucapnya ketika aku melangkah didepannya dan berhenti sejenak, kembali mengambil rokoknya dan kusulut sebatang lagi
“dia sendiri yang memintanya agar dia bisa dekat denganmu, tak ada perasaan antara ane dan dia, sama sekali tidak ada, semua yang aku katakan kepadamu adalah bohong mengenai persetubuhan-persetubuhan dengannya”
“Ane sempat jatuh cinta kepada Ajeng, tapi sisi kerasnya yang selalu menginginkanmu yang membuat ane menyerah Ar, hingga aku akhirnya memutuskan untuk bermain-main dengannya, terkadang aku juga bermain cinta dihadapannya dengan teman kosnya, karena aku sangat cemburu kepadamu Ar dan kecewa dengan ajeng” jelas Rahman membuat mataku terbelalak dan memandangnya, sedikit ada rasa sesal dalam hatiku
“Sejak Ajeng memutuskan untuk menikah dan meninggalkan ane dengan alasan ane tidak serius, ane menyetujuinya karena pada saat itu adalah saat ane sudah merasa muak dengannya. Tentang semuanya, tentang dia dan juga cinta dia kepada ente. Ane benar-benar muak. Jika ente ingin dia kembali disini, hanya ente yang bisa menghentikan pernikahan itu dan ane tidak akan mengganggu kalian berdua” jelas Rahman, dalam berdiriku aku menatap Rahman
“Aku sudah bertemu dengannya...” ucapku, rahman hanya tertunduk dan tersenyum melihat layar sematponnya
“Aku tidak bisa...” ucapku pelan
“Kenapa?” ucap Rahman
“Karena cinta tidak bisa dipaksakan, dan pernikahan adalah hal yang sakral” ucapku pelan
“Sudah ane duga ente akan menolaknya, karena ane ente Bro... ente bukan orang yang mudah jatuh cinta dan mudah menerima, you are too hard to understand” ucap rahman
“Sekalipun pernikahan itu tidak dilangsungkan apakah ente tetap pada pendirianmu?” lanjut Rahman
“Aku tidak ingin membohongi perasaanya, percuma aku dengan dia jika hanya tubuh ini yang mau menerimanya tapi hati menolaknya” ucapku. Hening sesaat antara aku dan Rahman
“Apakah ente mau memaafkan ane? Semua ini tak akan terjadi jika saja ane tidak memanfaatkannya” ucap Rahman
“Kamu tidak memanfaatkannya, nyatanya kamu jatuh cinta padanya walau pada akhirnya dia tidak mencintaimu, semua ini terjadi juga karena kesalahanku juga, aku juga tidak jujur pada diriku sendiri ketika kamu mengatakan kepadaku akan mengejarnya, di saat itu aku sebenarnya menyukainya tapi sekarang sudah ada yang mengisi hatiku” jelasku
“Haaaaaaaaaaah... hmmmm...” dilemparnya pandangannya keluar warung, melihat motor-motor yang berlalu-lalang
“terima kasih... ane bersyukur memiliki sahabat seperti ente Ar” ucap Rahman
“Sama-sama aku juga bersyukur” balasku
Tossss.... suara tos dari kedua tangan kami. ya mungkin adalah sebuah kesalahan ketika aku mundur dan Rahman maju untuk mendapatkan Ajeng. Itu semua terjadi karena ketidak terbukaanya aku terhadap Rahman juga sebaliknya. Memang dalam persahabatan selalu ada masalah, tapi semua bisa diatasi jika saja selalu ada keterbukaan antar keduanya. Mungkin ini adalah pembelajaran bagiku dan Rahman. Akhirnya kami berppisah dan aku menuju jalan pulang ke rumahku. Sebelum berpisah rahman mengatakan kepadaku bahwa dia memiliki sebuah masalah yang besar, namun dia enggan untuk menceritakannya kepadaku untuk sementara ini. Akhirnya aku sampai di rumah dengan perasaan yang sangat lelah. Ibu menyambutku ramah, dan senyuman inilah yang sampai sekarang memiliki bius di hatiku.
“Capek sayang?” ucap Ibu, aku hanya mengangguk
“Istirahat dulu saja ya, dan kamu harus cerita kepada Ibu, tuh dikepala kamu banyak tulisan-tulisan yang belum diterjemahkan hi hi hi” ucap Ibu
“Ah Ibu bisa saja, Arya Istirahat dulu ya Bu” ucapku kemudian melangkah naik ke kamarku
Ingin sekali aku bercerita kepada Ibu, karena hanya dia yang dapat menjadi tempat curhatku selama ini. Namun dengan keberadaan Ayah yang ada dirumah membuatku tak bisa berlama-lama dengan Ibu. Dengan segala kegelisahan dalam pikiranku, Aku merebahkan tubuhkudi kasur empukku, kubuka sematponku ada notifikasi BBM yang belum aku buka. Bu Dian. Dan kubalas secukupnya saja.
Tak ada balasan dari sms bu Dian hanya saja ada status Bu Dian berubah.
Dan ku balas
Bu Dian, sebenarnya bagaimana perasaanmu kepadaku? Apa arti kecupan tempo hari itu? Kau buart aku terbang tinggi sekarang? Akankah kau terbang bersamaku atau malah menjatuhkan aku? Beberapa pertanyaan bergelayut di dalam pikiranku hingga mata ini terpejam dengan sendirinya. Aku kemudian terbangun karena sura teriakan Ayah yang memaki-maki orang yang berada di dalam sematponnya. Aku langsung bangkit dan membuka sedikit pintu kamarku , mencoba mendengarkan percakapan Ayah.
“Tidak, bisa! Kita harus segera menemukan orang itu! Dia sudah mengambil banyak!” Bentak Ayah kepada seseorang yang berada di telepon cerdasnya sambil berjalan ke arah pekarangan rumah. Dalam hatiku aku berharap tidak ada keterangan mengenai si pengambil uang tabungannya. Kualihkan pandanganku ke bawah, kulihat Ibu yang berada di depan TV kemudian menatap kearah pintu kamarku, dia tersenyum dan kemudian bangkit menuju ke kamarku, masuk dan menutup pintu.
“Sssst... biarkan dia teriak-teriak paling sebentar lagi dia tidur” ucap Ibuku dalam posisi kedua tangannya berada di bahuku
“Beneran Bu..” ucapku yang kemudian dibalasnya dengan anggukan manja. Ku majukan bibirku tapi Ibu menghindarinya
“Cerita dulu...” ucap Ibuku, kemudian aku dan Ibu duduk di pinggiran ranjang, dan Ibu duduk didepanku smabil kupeluk. Ini adalah momen terindah yang aku inginkan, bisa memeluknya dan menceritakan keluh kesahku. Kuceritakan semua yang terjadi di hari ini dari bimbingan dengan Bu Dian, perkataan Bu Erna dan percakapan dengan Rahman. Dengan manjanya Ibu menyandarkan tubuhnya di tubuhku sambil mendengarkan ceritaku
“Sudah tenang saja sayangku, everything’s gonna be okay” ucap Ibuku dengan senyumannya. Senyumannya membuat aku menjadi lebih tenang.
“Nimas!” teriak Ayah dari lantai bawah
“Iya, sebentar...” teriak Ibu dari dalam kamarku, Ibu kemudian keluar menemui Ayah. Sebelum Ibu keluar dengan bahasa tubuhnya dia melarangku untuk keluar dari kamar. Aku tidak tahu menahu apa yang dilakukan Ibu dibawah sana, sedikit aku intip dari pintu kamarku. Ibu hanya melakukan kegiatan Ibu Rumah Tangga biasa saja.
Malam semakin larut, Ayah kemudian berada di teras depan rumah, merokok dan menelepon temannya. Mungkin itu adalah telepon penting dari temannya aku tidak tahu. Ibu menarikku untuk duduk bersamaya di depan TV.
“Itulah Romomu...”
“Dia tidak ingin Ibu terlalu dekat denganmu, karena waktu itu sewaktu kamu pergi dan tak ada kabar. Dia itu keceplosan kalau dia tidak ingin masa lalunya terungkap, ya ketika memperkosa Ibu itu. Karena sejujurnya Dia itu takut kepadamu, sejak kejadian malam itu, ketika kamu menolong Ibu dari teman Romomu. Padahal kamu sudah tahu semuanya hi hi hi” jelas Ibu, walau dalam situasi apapun Ibu selalu mencoba untuk tenang
“Dia tahu tidak bu mengenai gerakanku?” tanyaku
“Tidak, sama sekali tidak, dia hanya kebingungan mengenai telepon KS dan uang dalam bank-nya hilang begitu saja. Dia sudah menghubungi pihak bank untuk menemukan pelaku, tapi yang didapat dari kamera CCTV tidak jelas, katanya orang itu tinggi dan kulitnya hitam, rambutnya gondrong” jelas Ibuku
“fyuuuuuuuuuuuuhh... syukurlah klaau begitu” ucapku, Ibuku hanya menatapku dengan senyuman. Dikecupnya bibir ku sebentar
“Maafin Ibu ya, belum bisa hi hi hi sabar ya sayang paling sebentar lagi dia pergi” ucap Ibu sambil meletakan kepalanya di bahu kananku. Kurangkul bahu kanan Ibu dengan kedua tanganku dan kudekap lembut. Dalam diam kami berpelukan, hingga suara pintu terbuka membuat kami berpisah. Aku kembali ke dalam kamarku.
Kunyalakan komputer kamarku dan ku kerjakan proposal Tugas Akhirku. Sambil mengerjakan proposal TA, aku juga membuka email Om Nico tapi tak ada pesan masuk ke dalam emailnya. Tak lupa aku mengirim BBM ke Bu Dian sekedar menanyakan kabar dan mencoba untuk memberikan perhatian kepadanya. Aku masih berharap untuk bisa jalan dengannya. Jam berdetak menunjukan waktu semakin malam hingga akhirnya aku menyudahi membuat proposal, mencoba menyambut esok pagi.
Pagi kembali beraksi dihadapanku, kini kuliah dimulai jam setengah sembilan pagi. Aku berangkat dengan sedikit berat hati karena hari ini Ayahku juga berangkat bersamaan denganku, sehingga tak ada kecupan dibibirku. Ku percepat laju motorku hingga kampus agar lepas penat ini. Ku temui beberapa temanku dan juga Rahman yang sudah berada didalam kelas. Pandangan matanya tampak sedikit kosong dan pikiranku selalu kembali ke Ajeng, mungkin Rahman ingin kembali ke Ajeng, hanya itu yang selalu dalam pikiranku.
“Kang, ada apa to?” ucapku
“Ah... bikin kaget saja ente itu” ucap Rahman
“Lha kamu kaya orang hilang ingatan gitu kok” ucapku
“Arghhh... bingung ane mau cerita sama ente, kapan-kapanlah, kalau ane sudah siap ane akan cerita ma ente” ucap Rahman
Tiba-tiba seorang Dosen Pria masuk ke dalam kelasku, ucapan salam dibalas serentak oleh kami semua. Pria bertubuh yang tingginya sama denganku, dan kulitnya lebih putih dari kulitku ya karena mungkin aku terlalu banyak kepanasan jadi kulitku tambah sedikit gelap. Semua mahasiswi dalam kelasku terpukau bahkan ada beberapa dari mereka yang memandangnya seperti memandang Artis Korea.
“Perkenalkan nama saya Felix, saya Dosen lama di kampus kalian, hanya saja selama tiga tahun ini saya melanjutkan S3 di luar negeri, jadi tidak pernah bertemu kalian” ucap Dosen tersebut, Felix namanya
“Ada yang mau ditanyakan?” ucap pak felix, sambil tersenyum dan menyapu ruang kelas
“Pak Felix? Sudah punya pacar?” tanya mahasiswi temanku
“Hmmm... bagaimana ya? Bisa punya bisa belum” jawab pak felix
“Belum saja pak, kita mau lho jadi pacar bapak he he he” jawab seorang mahasiswi lainnya, kemudian gelak tawa dari kami semua meramaikan suasana kelas
“GAK LEPEL KALI AMA KAMU!” Teriak teman mahasiswaku
“KAMU KALI YANG GAK LEPEL SAMA KITA!” teriak seorang mahasiswi lainya, diikuti gelak tawa para mahasiswi
“Sudah... sudah... kita lanjutkan tanya jawabnya ya, jangan yang terlalu personal” tenang pak felix
Perkenalan itu berlangsung cukup lama karena para mahasiswi selalu bertanya-tanya mengenai hal-hal yang tidak penting untuk dijawab. Dan para mahasiswa dikelasku selalu menimpalinya dengan hal-hal konyol. Aku sendiri tidak tertarik, lebih cenderung diam di dalam kelas mengamati setiap tingkah laku dari teman-temanku. Perkuliahan selesai tanpa adanya mata kuliah yang diajarkan dari pak Felix itu. Seperti biasa aku ajak Rahman untuk nongkrong di warung, tapi kali ini dia menolaknya. Aku mulai curiga kalau dia mengetahui sesuatu tentang aku, Ibunya, ataupun Ayahnya.
Sebulan bulan awal Semester enam ini kehidupanku berjalan sangat monton, tak ada yang spesial di dalamnya. Aku hanya menanti Dua orang sahabatku dari Geng Koplak pulang dari kesibukannya, ya selain mereka bersembilan sewaktu berada di cafe, masih ada 3 orang lagi yang disebutkan oleh Karyo masih membantu mama-mamanya. Udin alias Unik Dan Intelektual Ndase (Kepalanya), Si Andri Alias Anak mandiri dan yang terakhir adalah Hermawan alias Hebat Rupawan Manis dan menaWan. Dua yang terakhir sering sekali keluar kota untuk membantu Ibunya membeli dagangan yang akan dijual, karena diluar kota harganya lebih murah. Dan biasanya mereka akan sedikit longgar dibulan ke 5 dan ke 6. Pertemuan ini adalah yang pertama kalinya sejak kami semua lulus kuliah, kadang aku bertemu dengan mereka tapi hanya beberapa.
Rumah yang seharusnya menjadi sebuah tempat dimana seorang anak berkumpul dan berbagi kebahagiaan tidak aku rasakan sama sekali. Ayah masih sibuk dengan pekerjaanya, entah pekerjaan seperti apa yang dilakukannya, ingin sekali aku mengakhiri karirnya namun untuk saat ini sangat tidak mungkin. Ibu menjaga jarak denganku karena Ayah berada dirumah. Aku bersikap sangat patuh kepada Ayahnya dan juga Ibunya.
Perkuliahanku di hari-hari berikutnya dapat aku ikuti dengan baik. Selama satu bulan aku selalu ber-BBM ria dengan Bu Dian, ya mencoba untuk lebih dekat lagi dengan bu Dian. Selama itu pula aku belum bisa menemuinya untuk melangsungkan bimbingan dikarenakan Bu Dian memiliki kesibukan lain. Kelas yang diajarnya pun digantikan oleh dosen lain yang satu tim dalam mengajar mata kuliahnya. Aku jatuh hati kepada Bu dian? Bisa jadi, walau dalam hatiku aku masih terlalu sayang terhadap Ibu, tetapi ketika melihat wajah dan senyuman Ibu serta dorongan agar mencari wanita lain, aku kembali bersemangat. Ya sebenarnya hubungan ini memang salah tapi aku masih belum bisa benar-benar melepas Ibu. Lamanya aku tidak bertemu Bu Dian akhirnya aku sedikit memberanikan diriku untuk meneleponnya.
“Halo..”
“Halo Mbak, selamat Malam, ganggu tidak ya mbak?”
“Tidak Ar, ada apa tumben kamu telepon aku?”
“E....” (Aduh sialan kenapa juga telepon, mau apa coba aku)
“Ar... Halooo... kamu masih disitu?”
“Masih... masih mbak...”
“Kok malah bengong, kasihan yang ditelepon dong kalau kamu diem saja?”
“E... E... begini bu besok malam minggumbak ada acara tidak?”
“Ada...”
“Owh...”
“Ada acara kalau kamu ngajak aku keluar”
“Eh... maksudnya Mbak?”
“Ya ada acara kalau kamu ngajak keluar, tapi ya ndak ada acara kalau kamu nggak ngajak kemana-mana”
“Eh... iya bu eh mbak... jadi bisa kan mbak?”
“Bisa apanya?”
“E... kalau aku ajak keluar malam minggu, gitu maksudku? He he”
“Iya bisa”
Percakapan hangat antara kami masih berlangsung, aku dengarkan suara indahnya mengenai cerita-cerita pendek mengenai dirinya. Aku pun sedikit bercerita tentang diriku walau sebenarnya dia sudah pernah aku ceritakan. Akhirnya mencapai pada titik akhir percakapan dan kami mengakhirinya. Aku berharap malam ini dapat berlangsung dengan cukup cepat agar malam minggu segera hadir.
Malam minggu telah datang, malam yang aku tunggu-tunggu telah hadir. Kini aku telah di depan rumah Bu Dian, setelah sore tadi jam 14:00 aku berpamitan kepada Ayah dan Ibuku. Ibuku berpesan agar aku bersikap lebih jantan kepada Bu Dian. Aku datang lebih awal karena ingin membawa Bu Dian jalan-jalan dan menunjukan suatu tempat yang indah kepadanya. Lama aku menunggu akhirnya keluar juga seorang wanita yang mulai mengisi hati ini, dihadapan pintu gerbang rumahnya dia berdiri dan tersenyum manis kepadaku. Mengenakan Kaos putih longgar dan celana jeans hitam pensilnya serta sepatu karet berwarna putihnya. Memang wanita ini sungguh cantik sekali. Di hari sabtu sore ini aku ajak Bu Dian makan bersama di warung emperan, maklumlah aku ingin mentraktir Bu Dian dengan menggunakan uangku sendiri. Setelah makan bu Dian aku ajak ke tempat dimana aku dan Ibu pernah berduaan disana, di sebuah taman pinggiran bukit. Suasana masih ramai dengan pasangan muda mudi di sini. Hingga akhirnya aku mendapatkan tempat yang sama seperti yang aku tempati ketika aku ke tempat ini bersama Ibu. Kubelikan minuman pukari suwet dan aku duduk disebelahnya. Kami mulai mengobrol sedikit banyak mengenai perkulihan atau hal lain yag sekiranya bisa mencairkan suasana.
“Em... mbak, kok ndak pernah kelihatan mengajar?” tanyaku
“Ada urusan Ar”
“Kamu sudah sering kesini Ar?” Lanjut Bu Dian, mengalihkan tema pembicaraan
“Baru sekali mbak, dan kedua kali ini bersama mbak, mbak belum tahu tempat ini ya?” ucapku
“Belum, baru kali ini sama kamu. Yang pertama sama siapa Ar?” ucapnya dengan senyum manis
“Sama Ibu, waktu itu Ibu minta diajak jalan-jalan mbak” ucapku
“baik banget kamu sama ibu kamu ar” ucap Bu Dian
“kan anak satu-satunya mbak jadi ya apa permintaan Ibu aku turuti he he he” ucapku, kulihat wajah manisnya memandang rembulan sabit yang menggantung di langit. Mata indahnya seakan-akan menjadi cermin rembulan sabit tersebut. Tiba-tiba sebuah pesan di sematponnya masuk dengan bunyi notifikasi standarnya. Kupandangi wajahnya ketika membaca pesan tersebut. Setelah itu wajahnya menjadi seperti orang terkejut yang penuh kebimbangan.
“Mbak, apakah ada yang mbak pikirkan?” ucapku kepada Bu Dian
“Tidak, tidak ada” ucap Bu Dian
“Ada apa mbak? Mungkin Arya bisa bantu?” ucapku
“Tidak ada Ar, sudahlah jangan kamu tanyakan lagi” ucapnya.
“Ya, aku mungkin tidak begitu tahu masalah perempuan mbak, tapi kadang aku bisa kasih solusi mbak he he he” ucapku sedikit menghibur. Raut mukanya penuh kebimbangan kaki kananya yang ditumpuk di atas kaki kirinya terus bergoyang-goyang yang menandakan agar cepat bisa mengakhiri kebersamaan kami
“Mungkin sebaiknya kamu antar aku pulang sekarang” ucap Bu Dian. Dalam kebisuan aku mengantar Bu Dian pulang kerumahnya. Dia memelukku erat, dari dibelakangku. Wajahnya dibenamkannya di punggungku. Perjalanan aku percepat sesuai dengan keinginan Bu Dian. Sampailah aku di depan rumahnya, Bu Dian kemudian turun dari motor dan tersenyum penuh paksaan kepadaku. Kulepas Helmku untuk melihatnya.
“Terima kasih buat malam ini Ar... cup....” ucapnya sembari memberikan kecupan pada pipiku.
“Sama-sama mbak, terima kasih juga” ucapku. Kecupan kali ini terasa berbeda, ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bu Dian. Dia kemudian masuk kedalam rumahnya tanpa melihatku sama sekali. Dengan rasa kegundahan aku kemudian pulang. Dalam perjalanan pulang dan masih didalam kawasan Perumahan ELITE, aku berpapasan dengan sebuah mobil yang berad di seberang median jalan. Tampak mobil itu aku kenal tapi aku lupa dimana aku pernah melihatnya, masa bodohlah. Ahhh... Satu bulan yang lalu aku pulang dengan hati yang sumringah tapi hari ini, kurang lebih satu bulan setelahnya aku pulang dengan perasaan tidak menentu. Aku sampai dirumah dengan disambut oleh Ibu, dan Ibu seakan-akan tahu apa yang aku rasakan. Ibu tersenyum dan memberikan kecupan pada bibirku. Dan menagantarkan aku ke dalam kamar lalu meninggalkan aku sendiri, ya karena Ayah ada dirumah.
Di hari minggu siang aku mencoba menghubungi Bu Dian, karena proposal Tugas Akhirku sudah selesai aku rapikan dan kuperbaiki serta aku berikan beberapa tambahan. Akhirnya aku menelepon Bu Dian. Tuuuuuuuuuut tuuuuuuuuuuuut cklek telepon diangkat.
“Ya Halo”
“Selamat malam mbak, maaf mengganggu”
“Iya, Ar ada apa?”
“Emm... kapan ya mbak bisa bimbingan lagi?”
“Besok senin ya, emm... maaf Ar, aku sedang ada perlu bisa dilanjut lain waktu tidak teleponnya”
“Eh... bisa-bisa mbak, terima kasih mbak”
“Ya sama-sama” tuuuuuuut
Benar-benar sesuatu yang bertolak belakang dengan kejadian hari minggu yang telah lalu. Aku mencoba menerawang ingatanku kembali ke hari minggu itu, senyum dan sapanya masih sama ketika aku memandangnya di hari senin kemarin. Tapi setelah satu bulan lamanya Bu Dian tampak berbeda. Adakah yang salah denganku? Dari pertama kali bimbingan itu sikapnya masih wajar-wajar saja, tapi setelah itu untuk membalas pesan BBM-ku saja lama sekali padahal sebelum-sebelumnya aku tidak perlu menunggu lama untuk balasan BBM-ku. Apalagi setelah malam minggu ini, sikap dia seperti acuh kepadaku. Haruskah aku membuang perasaan ini? Ibu pasti akan marah karena Ibu sudah terlanjur suka kepada Bu Dian, tapi aku harus tetap realistis. Walau kemungkinannya sangat kecil aku tetap mengirimkan pesan penuh perhatian kepada Bu Dian walau tidak berbalas.
Hari berganti dengan cepat tanpa ada yang dapat aku lakukan di dalam rumah. Email Om Nico, Sematpon KS-pun tidak ada yang menarik. Mungkin semua ini berjalan agar aku bisa lebih fokus pada satu permasalahan, yaitu Bu Dian. Setelah kuliah dengan Bu Erna, aku kemudian menuju ke gedung jurusan untuk menemui Bu Dian.
Glodak... Glodak.. Glodak.. Glodak.. Glodak.. Gubrak. Ringtone telepon. Bu Dian dan kuangkat.
“Saya ada didepan gedung jurusan kamu turun saja untuk bimbingan” tuuuuuuuuuuuut
“Ada apa dengan Bu Dian?” bathinku. Aku kemudian langsung turun kebawah menuju tempat Bu Dian berada. Dia sedang berdiri di depan gedung jurusan.
“Mana?” ucap Bu Dian
“Ini Bu” ucapku sembari menyerahkan proposalnya. Dan langsung ditanda tanganinya.
“Kamu langsung urus semua kebutuhan kamu di laboratorium, buat surat ijin penelitian yang mengatas namakan saya dan segera memulai penelitian”
“Saya ada janji, kapan-kapan saya akan jenguk kamu di laboratorium” ucap Bu dian. Singkat padat, jelas dan akurat tanpa memberiku kesempatan untuk berbicara dia langsung pergi meninggalkan aku berdiri di sini sendiri.Ku tatap kepergiannya hingga masuk ke mobil fortune-nya dan menghilang.
“Ada yang berbeda dengan kamu mbak? Sangat berbeda, mungkin kamu malu jika bersama denganku, entah apa yang ada di hatimu aku tak akan pernah tahu” bathinku
Dihari berikutnya semua kelengkapan pengurusan ijin penelitan di laboratorium telah aku selesaikan. Penelitian aku lakukan atas nama Bu Dian karena pada semester enam biasanya mahasiswa belum diperbolehkan melakukan penelitian, diperbolehkan melakukan penelitian biasanya di semester 7. Mulai minggu depan aku akan langsung melakukan penelitian sesuai dengan proposal Tugas Akhirku.
Hampir dua bulan lamanya aku melakukan penelitian di dalam laboratorium untuk mendapatkan hasil. Penelitian aku mulai setelah jam kuliah selesai. DI awal peneletian aku masih bisa pulang lebih awal atau paling tidak pulang pada sore hari menjelang maghrib karena di langkah awal penelitianku hanya berisi preparasi sampel yang tidak memakan waktu yang lama. Sampai pada pertengahan penelitianku memakan waktu lebih lama, karena untuk sekali running proess paling tidak memerlukan waktu hingga malam hari. Ibu mendukungku penuh untuk segera menyelesaikan penelitianku agar setelah lulus nanti harapan Ibu aku melanjutkan S2.
Dalam masa penelitianku tak lupa setiap harinya aku selalu mengirimkan BBM kadang juga SMS ke Bu Dian yang berisi kata-kata bijak, kata motivasi dan perhatian untuk tidak lupa makan atau apapun itu. Tapi seseringnya aku mengirim pesan sesering itu pula tak ada balasan darinya walau terkadang aku mendapatkan balasan hanya sepatah dua patah kata.
Rahman? semakin hari dia semakin linglung dengan keadaanya, tak pernah mencoba untuk bercerita kepadaku. Ibu, menjadi sangat jarang berkumpul denganku walau hanya sekedar bercekap-cakap. Semua nampak semakin jauh dariku, entah karena kesibukanku atau karena kesalahan-kesalahan yang aku buat. Intensitas pertemuanku dengan Ibu dan Bu Dian berkurang, karena beberapa bulan ini Ayah selalu berada dirumah lebih awal sedangkan Bu Dian yang sudah berjanji untuk menjengukku pun tak kunjung datang. Di hari itu aku sedang menunggu proses yang kurang lebihnya harus aku tunggui hingga malam hari, tepatnya di hari kamis malam jumat.
Pada hari minggu kuturut ayah kekota naik delman istimewa kududuk dimuka. Ringotne telepon. Wongso.
“Woi wong, ada apa?”
“Besok malam minggu kumpul, ada sesuatu yang penting untuk dibahas”
“Oke aku bisa, memange ada apa Wong?”
“ini mengenai sesuatu yang penting dan kamu harus datang tepat waktu”
“iya iya, serius amat, amat saja gak serius, dimana?”
“kamu ke warungku dulu oke?”
“Siiip...”
Sedikit obrolan dengan wongso dan wongso mengakhirinya. Ketemu dengan teman-teman pastinya mereka pada mengajak para kekasihnya, mungkin aku bisa mengajak Bu Dian untuk kumpul bersamaku. Aku kemudian menelepon Bu Dian.
Tuuuuuuuuuuuuut.... tuuuuuuuuuuuuuuuuut.... ceklek
“Halo ar ada apa?”
“Eh... mbak, kok ndak jenguk aku di lab?”
“Aku lagi sibuk, banyak janji, pokoknya aku percaya saja sama kamu, gitu ya?”
“Iya mbak, emmm....”
“Ada apa Ar? Jika sudah tidak ada lagi, dilanjut kapan-kapan saja”
“Bentar-bentar mbak, ini aku mau mengajak mbak besok malam minggu kumpul sama temen-temenku yang kemarin itu nolong kita di cafe, bisa ndak mbak?”
“maaf ndak bisa, dah dulu ya aku lagi ada janji dengan seseorang. Maaf”
“sebentar mbak jangan ditutup dulu”
“iya ada apa? Aku itu lagi ketemu seseorang, tahu ndak sich!” (sedikit membentak)
“Maaf mbak, aku hanya ingin minta maaf mbak, karena mbak tidak seperti biasanya lagi, tampak berbeda”
“Terus aku harus bagaimana? Memohon maaf gitu sama kamu, ingat kamu itu mahasiswaku”
“iya mbak saya tahu, bukan maksud saya seperti yang mbak katakan, hanya saja aku Cuma ingin minta maaf kepada mbak, itu saja, Aku mohon mbak jangan marah”
“iya iya... Sudah kan?” tuuuuuuuuuuuuuuuut
Kecewa sangat kecewa, kenapa dia begitu kaku dan dingin kepadaku akhir-akhir ini? Dia yang memilihku menjadi mahasiswa bimbingannya jika ada akhirnya aku di cueki seperti ini? mending dengan dosen lain yang sekiranya bisa aku ajak bercengkrama. Mungkin memang benar jika ini semua hanya halusinasiku tentang dia menyukaiku.
Keesokan harinya pada hari jumat, aku tidak mengikuti kuliah tetapi sebelumnya aku meminta izin kepada dosen untuk meneruskan penelitianku karena akan memakan waktu yang sangat lama. Sebelum aku memulai penelitianku kembali di laboratorium aku menyempatkan diriku untuk kejurusan menemui Bu Dian, jujur saja aku merasa bersalah kepadanya. Gedung Jurusan nampak sepi dari mahasiswa dan juga dosen, hanya ada beberapa mahasiswa semester ataskku yang sedang menunggu dosbingnya. Kulangkahkan kakiku hingga didepan pintu masuk ruangan Budian dan Bu Erna yang terbuat dari kaca yang buram. Kudengar percakapan diantara keduanya.
“Eh, Yan, gimana Arya? Ditembak aja ganteng lho” ucap Bu Erna samar-samar tapi terdengar
“Kalau mbak mau ambil saja hi hi hi masa Dosen pacaran sama mahasiswanya, ya ndak level dong” balas Bu Dian
“Eh... eh... eh... jangan bilang gitu kualat lho nanti kamu” balas Bu Erna
“Eh jangan nyumpahin gitu dong” ucap Bu Dian. Tiba-tiba nada dering telepon berbunyi dari dalam ruangan tersebut.
“Bentar mbak ada telepon” ucap Bu Dian. Kulihat bayangan Bu Dian bangkit dari tempat duduknya dan menuju ke pintu. Aku pun segera melangkah menuju pintu samping (bukan pintu utama) gedung jurusan. Kleeeeeeeeeeeek...
“Halo sayang, ada apa?” ucap Bu Dian. Kudengar jelas perkataan itu dari mulut Bu Dian yang berada dibelakangku, aku tetap melangkah tanpa mempedulikannya
“Arya?!”
“Arya tunggu” teriak Bu Dian. Aku hanya berbalik dan tersenyum sambil membungkukan badanku kepada Bu Dian lalu melanjutkan langkahku kembali
“Nanti dilanjutkan lagi” ucap Bu Dian menutup teleponnya.
“Aryaaaa, tunggu sebentar” teriak Bu Dian lagi, aku berhenti dan melihat Bu Dian
“Bukannya kamu ada jam kuliah sekarang? Kenapa di Jurusan?” ucap Bu Dian
“Mohon maaf Bu, saya mohon izin untuk melanjutkan penelitian di Lab” ucapku tanpa menjawab pertanyaan dari Bu Dian, dan langsung kembali melangkah
“Tunggu sebentar! Saya ini sedang berbicara dengan kamu” ucap Bu Dian
“Sebenarnya saya hanya ingin memberikan laporan penelitian saja selama dua bulan ini bu, tapi kelihatannya Ibu sibuk jadi saya berniat melanjutkan penelitian dulu baru minggu depan akan saya laporkan setelah kuliah” ucapku dengan senyuman untuk menutupi kekecewaanku
“Ja.. jadi kamu sudah disini dari tadi?” ucap Bu Dian
“Baru saja kok Bu he he he” ucapku dengan senyum cengengesanku dan menggaruk-garuk kepala bagian belakangku
“Saya mohon undur diri dulu Bu, mohon doanya agar penelitian saya cepat selesai dan lekas lulus dari universitas” ucapku tersenyum dengan membungkukan badan, kemudian melangkah meninggalkan Bu Dian
“kamu mendengarnya?” ucap Bu Dian tiba-tiba
“Saya tidak mendengar percakapan Ibu, beneran kok bu saya tidak mendengarnya sama sekali” ucapku yang kembali menghadap kembali ke Bu Dian. Aku sudah tidak bisa melihat apa yang ada diwajahnya, sedikit sakit
“Berarti kamu mendengarnya dan saya har...” ucap Bu Dian
“Maaf Bu Boleh saya melanjutkan penelitian saya? Saya hanya seorang mahasiswa yang berusaha untuk cepat lulus dan meninggalkan universitas ini untuk menempuh hidup baru sebagai seorang pekerja diluar sana” ucapku, aku kemudian melangkah meninggalkan Bu Dian. Tak ada sepatah katapun dari Bu Dian.
“Ya aku hanya mahasiswa dan dia adalah seorang Dosen” bathinku.
Aku kembali ke peradabanku di laboratorium tempat aku melakukan penelitian. Baru saja aku menjalankan proses, semua tampak begitu suram, aku sudah tidak dapat berpikir jernih. Otakku hanya berputar-putar pada perkataan Bu Dian dan Bu Erna. Tiga jam terlewati begitu saja menjalankan proses, Aku hanya bisa meletakan kepalaku di atas tumpukan tanganku yang berada dimeja. Kuberesi semua peralatanku dan kumasukan ke dalam almari, aku mengakhiri penellitianku kali ini.
“Lho mas, kok sudah selesai? Bukannya penelitiannya masih lama mas?” ucap Pak Laboran
“Minggu depan saja pak, saya mau pamit pulang, badan saya lagi ndak enak” ucapku
“Oh ya sudah, hati-hati dijalan ya mas” ucap Pak Laboran
“Iya pak...” ucapku
Aku keluar dari gedung laboratorium dengan wajah yang muram. Segera aku melangkah menuju ke tempat parkir, ditengah-tengah perjalananku menuju tempat parkir aku bertemu dengannya lagi.
“Lho sudah selesai Ar?” ucap Bu Dian
“Senin saja saya lanjutkan Bu, untuk laporannya mungkin selasa atau rabu bu, mohon maaf” ucapku
“Kamu baik-baik saja?” ucapnya yang mencoba memberikan perhatian kepadaku
“Sangat baik bu, sangat baik “ ucapku yang tersenyum lebar didepannya. Entah kenapa pandangan Bu Dian seakan-akan merasa bersalah kepadaku. Aku melanjutkan langkahku, dan tiba-tiba tangan Bu Dian memgang lengan kananku.
“Tunggu Ar, aku mau bicara” ucap Bu Dian yang berada dibelakangku
“Maaf saya sedang banyak urusan Bu” ucapku tanpa menoleh kebelakang. Segera aku menarik kembali tanganku dengan keras, masa bodoh kalaupun aku tidak lulus karena mengacuhkan dosen pembimbingku, aku tidak peduli lagi. Aku masih bisa meminta ganti dosbing yang lainnya. Aku melangkah menjauhinya, aku sudah tidak mempedulikan lagi apa yang akan terjadi minggu depan.
Sesampainya dirumah, rumah tampak sepi. Kubuka sematponku terdapat sms dari Ibu, Ibu sekarang berada dirumah tante ratna karena tante ratna ditinggal dinas oleh suaminya dan Ibu dimintai tolong untuk menemaninya hingga besok senin. Ayah pun tidak berada dirumah, dari penuturan Ibu Ayah sedang dinas luar kota. Lengkap sudah penderitaan ini, aku sudah mulai muak melihat kampusku lagi. Kurebahkan tubuhku di kamar, serasa malas untuk memecahkan setiap masalah yang hadir dalam hidupku. KS, Mahesa, Nico, Si Buku, Si tukang, Si Aspal, Pak Koco, Tante Warda kulupakan sejenak semua itu. Ting! Bunyi notifikasi BBM-ku.
Sebuah pesan yang kembali mengangkat motivasiku, ya aku masih punya Ibu.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Malam minggu telah tiba, aku kirimkan pesan ke Ibu kalau aku akan berkumpul dengan sahabat-sahabatku semasa SMA. Setelah mendapatkan izin dari Ibu aku langsung berangkat menuju warung Wongso. Dengan secepat kilat, penuh semangat aku memacu REVIA. Sampailah aku di warung wongso, di sedang menghembuskan asap didepan warungnya.
“Wehhh... tumben datang lebih awal cat?” ucap wongso. Aku kemudian turun dari motroku yang aku parkir didekat motornya lalu aku menuju tempat wongso duduk
“Di rumah ndak ada orang, daripada telat di maki-maki kamu sama yang lain, mending datang awal”
“Minta rokoknya” ucapku
“Nih...”
“Oh ya kita langsung saja ke TKP bagaimana? Anak-anak langsung ke sana”
“Oh ya aku tapi nanti jemput pacarku dulu, lha cewek kamu itu kemana?” lanjutnya
“oh lagi ada urusan ndak bisa kumpul” ucapku
“Wah, dia itu jadi primadona pembicaraan temen-temen kelasku lho Ar” ucap Wongso yang satu fakultas denganku tapi berbeda jurusan
“Alah, ndak usah dibahas lagi, ntar kita ketinggalan wong” ucapku yang langsung menuju ke arah motorku
“Lagi da masalah kamu?” ucap wongso yang berjalan disampingku
“May be Yes, May Be No” ucapku
Aku kemudian mengikuti wongso menuju rumah pacarnya, pacarnya sudah menunggunya didepan rumah. Kemudian aku dan wongso melanjutkan perjalanan menuju tempat berkumpulnya Geng Koplak. Tempat kumpul kami berada di sebuah tempat pusat orang-orang berpacaran dan tempat orang-orang nongkrong, tapi malam ini tampak sepi dikarenakan di alun-alun ada konser musik. Ditempat kami berkumpul, ada sebuah taman berbentuk lingkaran ditengah-tengahnya. Taman berbentuk lingkaran itu berada diantara jajaran pohon-pohon besar yang tertata rapi dihiasi pedagang kaki lima yang masih bertahan berjualan walaupun jumlahnya sedikit (imajinasi bentuk taman –O–, lingkaran adalah taman, strip adalah jajaran pohon).
Tampak beberapa sahabatku sudah berkumpul disana. Aku menghampiri mereka yang sudah berada disana bersama pacar-pacarnya. Salam sapa penuh canda mengiringi pertemuan ini. kemudian beberapa dari kami mulai berdatangan. Satu-persatu mulai berkumpul dan yang terakhir adalah Sudira, lengkap sudah Geng Koplak.
“Lho Ar, cewekmu mana?” ucap Dira sambil berjalan kearah kami dari motornya
“Sedang ada urusan Dir” ucapku kepada Dira
“Asyik Arya, sendirian jadi kita bisa pacaran dong Ar hi hi hi” ucap Dira
“Woi, itu teman sendiri jangan diembat!” kata hermawan, diikuti gelak tawa kami semua
“Eh dir, itu dada kenapa gede sekali, diisi berapa lliter balonnya” ucap Karyo
“E... e... e... enak saja balon, asli tahu!” ucap Dira santai
“masa asli?” ucap parjo
“Ngapusinan! (Suka berbohong)” ucap Joko dan aris bersamaan
“Aku kasih lihat tapi jangan nafsu lho hi hi hi” ucap Dira
“nih...” ucap dira sembari membuka bajunya
“EDAAAAAAAAAAN! Asli!” ucap kami serentak. Langsung pacar-pacar mereka menutupi mata sahabat-sahabatku
“Sudah diberitahu kok ndak percaya, hayo jangan nafsu, kalau nafsu ndak papa sich, nanti Dira kasih dech” ucap dira sembari menutup kembali bajunya
“HUEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEK” ucap kami serentak yang diikuti gelak tawa kami semua
“Dari mana kamu dapat susu asli kaya gitu?” ucapku
“Dari pacarku dong, dia yang nyuruh aku operasi he he he” ucap Dira santai
Canda tawa, sendau gurau dan gaya konyol tercurah semua pada pertemuan ini. ada yang berlagak menggoda Dira, ada yang menceritakan kejahilan masa SMA. Ada juga yang menceritakan tawuran dengan Geng Tato. Benar-benar masa terindahku adalah masa SMA, karena ketika kuliah semua teman-temanku adalah orang-orang serius dan genius.
“Ar, tuku rokok kono (Ar beli rokok sana)” ucap Aris
“Ndi... (mana)” jawabku. Dilemparnya uang itu ke arahku, dan aku membeli rokok di pedagang kaki lima.
Saat aku membeli rokok, melintas seorang wanita yang aku kenal, Bu Dian. Dia berada di seberang tempat kami berkumpul, dia berjalan dari kananku menuju ke arah taman bundar. Aku sedikit bahagia mungkin sja dia bisa aku ajak untuk berkumpul dengan sahabat-sahabatku. Tanpa berpikir panjang aku segera berlari mengendap-endap mendahului Bu Dian, dan bersembunyi di salah satu poho besar didepannya. Ketiak berlari wongso dan pajo memanggilku tapi aku menyilangkan jariku menyilang dibibirku. Segera aku berdiri dan diam dibalik pohon besar itu. Lama aku menunggu tapi Bu Dian tak kunjung datang. Segera aku mengeluarkan kepalaku dari pohon itu dan...
Disebuah tempat kami berkumpul setelah sekian lama kami, Geng koplak, tidak pernah berkumpul. Sebuah taman berbentuk lingkaran dan disamping kanan kirinya berjajar pohon-pohon besar. Aku sedang bersembunyi dengan maksud membuat terkejut wanita yang sedang berjalan itu, Bu Dian. Lama aku menunggu wanita itu tak kunjung datang. Aku keluarkan kepalaku untuk menengok ke arah wanita tersebut.
Jantungku tercekat, mulutku berhenti berdetak, mataku seakan bisu, mulutku seakan tuli, telingaku seakan buta dengan apa yang ada didepan sana. Kulihat Bu Dian dengan dress sedikit ketat dengan lengan baju hanya menutupi sebagian kecil lengannya dihiasi celana jeans pensil ketat berwarna hitam. Dia berdiri dihadapan Seorang laki-laki yang sedang berlutut dihadapanya dengan memegang kedua tanganya. Laki-laki itu tak lain adalah pak Felix dan disamping tempat mereka berdiri ada sebuah mobil yang sewakt itu berpapasan denganku ketika aku mengantar Bu Dian. Ya sekarang aku ingat itu adalah mobil pak felix yang sering aku lihat di tempat parkir Dosen. Keberadaan mereka memang tidak bisa aku lihat dari tempat aku berkumpul karena tertutup pepohon besar. Aku kemudian menarik kepalaku dan bersandar di pohon dengan pandanganku menerawang ke dedaunan.
“Ar... sudahlah” ucap wongso yang menepuk pundakku yang tiba-tiba berada di sampingku. Mungkin dia tahu kenapa apa yang aku lihat.
“hhhaaaaaaaaaaaaaaassssssssssssssssssssh.....” hela nafas panjangku
“Ayo kita kembali” ucap Wongso, sembari membalikan badannya dan menarik bahuku
“Kamu masih ingatkan percakapan kita ketika SMA jika menemui hal seperti ini” ucapku pelan
“Ya mendatanginya, memberikan selamat dan ikut berbahagia di dalamnya”
“Tapi itu tidak perlu kamu lakukan ar...” ucap wongso yang segera aku tinggalkan dia
“Kamu tetap disini” ucapku menyingkirkan tangannya dari bahuku lalu beranjak meninggalkannya
“Hei ar... arggghhhhh” cegah wongso tapi aku sudah melangkah ke arah mereka. Dengan tatapan senyuman ke arah mereka berdua yang belum menyadari aku sedang berjalan ke arah mereka.
“Bu Dian, Pak Felix! Haiiii....” teriakku kepada mereka, membuat mereka terkejut sesaat. Aku berlari kecil kearah mereka.
“Oh Hai...” Ucap Pak Felix, yang kemudian bangkit dari berlututnya
“Ar....ya...” ucap Bu Dian dengan sangat pelan, terlihat wajah kebingungannya
“Wah kok disini bu, pak?” ucap ku, sambil menyalami merek berdua. Tatapan mata Bu Dian terhadapku menjadi tatapan sendu, kemudan dia sedikit membuang mukanya. Pak felix masih sedikit heran dengan kedatanganku
“Kamu?”
“apa kamu mahasiswa kelas saya?” ucap pak felix kepadaku
“Iya pak masa lupa, saya yang hari selasa pukul 08:30 itu lho pak, kelas paling rame waktu pak felix kenalan” ucapku
“Oh iya... iya, yang ramai itu ya”
“Lho kok kamu disini?” ucap Pak felix
“Itu pak, sedang kumpul-kumpul sama sahabat-sahabatku semasa SMA pak, tadi lihat Bu Dian sedang berjalan makanya saya kesini pak” ucapku sambil menunjuk tempat sahabat-sahabatku berkumpul
“Mana? Ndak ada?” ucap pak felix yang celingukan mencoba mencari teman-temanku
“Kalau dari sini kelihatan pak, kalau dari situ ketutup pohon pak” ucapku dengan senyum lebar
“Oh ya pak, sedang apa nih pak, bu? Bu Dian kok Diam saja bu?” ucapku
“Ndak ngapa-ngapain kok Ar” ucap Bu Dian pelan wajahnya masih sedikit shock dengan kehadiranku
“Kamu kenal sama dia sayang?” ucap Pak Felix
“Sayang? Hmmm... benar semua yang aku baca selama ini hanya halusinasi” bathinku dengan wajah tersenyum
“Saya itu mahasiswa bimbingan Bu Dian, Bu Dian itu pinter lho pak, saya saja langsung ditunjuknya untuk menjalankan KTI yang juara satu tapi sedikit modifikasi pak he he he” pujiku kepada Bu Dian dengan senyum selengekan
“Oooooo....” ucap Pak felix
“Kok malah pada bengong Bu, Pak? Wah saya mengganggu ni ya?” ucapku sambil sesekali melirik kearah Bu Dian yang masih nampak kebingungan dengan kehadiranku
“ndak ganggu Ar,santai saja” ucap Pak felix
“Kayaknya kok sedang serius nich, ada yang bisa saya bantu pak , bu?” ucapku
“emmmm.... Ada Ar, Kamu bisa?” ucap Pak felix
“Wooo siap! Untuk Dosen, seorang mahasiswa wajib menuruti pak he he he” ucapku
“Oke kalau begitu kamu tolong saya, rekam saya ya, ini” ucapnya sambil menyerahkan sematpon bergambar durian kroak
“Oke pak siaaaaaaap!” ucapku dengan wajah sumringah
“Direkam? Memangnya mau apa?! Sudah Arya kamu pulang saja!” ucap Bu Dian yang tidak kami berduagubris
Aku berdiri mundur kira-kira 3 meter dari tempat Pak felix dan Bu Dian. Pak felix kemudian berlutut dihadapan Bu Dian dan memegang kedua tanganya.
“Dian, aku ingin kamu menjadi ibu dari anak-anakku, maukah kamu menjadi istriku?” ucap pak felix. Aku hanya tersenyum melihat kejadian itu, walau sakit yang kurasa harus menghadapi wanita yang dengan segala keindahannya sedang dilamar oleh lelaki lain. Bu Dian tampak sedikit ling-lung dalam menjawab kata-kata dari pak felix. Dia kadang-kadang melihat kearahku yang sedang memgang sematpon pak felix.
“Sudah Ar, ndak usah direkam!” ucap bu Dian sedikit membentak
“Ndak papa bu, kan momen indah harus di abadikan, betul gak pak felix?” ucapku
“Benar kata Arya, sayang, kamu fokus saja ke aku” ucap pak felix membenarkan perkataanku
“Eh... Aku... aku...” ucap Bu Dian terbata-bata
“Terima! Terima! Terima! Terima! Terima! Terima!” teriakku dari belakang kamera sematpon. Tampak Bu Dian kaget dengan teriakanku itu, aku hanya mampu berteriak dengan wajah sumringahku. Dengan satu tangan menggenggam sematpon dan satu tanganku memukul langit.
“Ayo dong Bu diterima, Bu Dian dan Pak Felix sudah cocok lho, sama-sama dosen favorit di kampus”
“Ayo terima! Terima! Terima!” teriakku kembali. Pak felix masih dalam posisi berlututnya dan memandang Bu Dian dengan penuh harap. Dengan tiba-tiba pak felix mengeluarkan sebuah kotak, dikeluarkannya sebuah cincin dan dipakaikannya di jari manis Bu Dian. Bu Dian tampak sedikit kaget dengan perlakuan pak felix, nampak dia mencoba menolaknya tapi cincin itu sudah masuk ke jari manisnya.
“Jika kamu menerimaku, pakailah cincin ini selamanya” ucap Pak Felix
“HOREEEEEEEEEEEEEEEEE! CIHAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!” teriakku kegirangan dengan penuh kekecewaan dalam hati
“Arya sudah hentikan rekamannya!”
“Felix tidak seharusnya kamu melakukan ini dihadapan mahasiswa” ucap Bu Dian sedikit membentak kemudian menarik tangannya
“Apapun akan kulakukan demi kamu sayang” ucap pak felix, aku masih tersenyum
“Ibu senyum dong, kan ini momen bahagia Bu Dian masa Bu dian cemberut, Ayo Bu Dian senyum biar kelihatan cantiknya” ucapku, Bu Dian nampak begitu marah dengan ulahku tapi tak bisa diungkapkannya karena ada pak felix dihadapannya
“Sudah, matikan rekamannya! Aku tidak suka felix!” ucap Bu Dian sedikit membentak
“Jangan marah gitu sayang, ntar jadi jelek lho he he he” ucap pak felix
“Iya bu ndak usah marah gitu”
“Pak felix Sudah apa belum?” ucap ku, dan dijawab dengan anggukan oleh pak felix dan acungan jempol. Aku kemudian mematikan kamera pak felix. Dan melangkah kearah mereka.
“Wah selamat ya pak!” ucapku kepada pak felix sambil memeluknya.
“Selamat Bu, wah kalau Bu Dian dipeluk bisa-bisa mata kuliah pak felix dapet E nih aku he he he” ucapku dengan nada bercanda. Aku hanya menyalami Bu Dian dengan wajah dan senyuman ramahku dengan badan sedikit membungkuk. Tampak raut wajah gelisah terlukis di wajahnya.
“Makasih ya Ar..” ucap Pak felix
“Yuhuuuuuuuuuuuuuu... akhirnya aku menjadi saksi cinta pak felix dan Bu Dian, nilainya ditambahi ya pak he he he” ucapku bercanda dengan sedikit berjingkrak di hadapan mereka
“Tak tambahi 0,1 ya ha ha ha” ucap pak felix
“Ya pelit amat pak”
“0,05 deh pak he he he” ucapku bercanda, disambut tawa oleh pak felix. Kulihat Bu Dian,wajahnya masih penuh dengan kebingungan. Tak ada senyuman yang terlukis di wajahnya dan tak ada sedikitpun gurat wajah kebahagiaan. Pak felix masih memandangku dengan tawa, kulihat tatapan mata Bu Dian ada sedikit penyesalan di dalamnya.
“Selamat ya Bu Dian” ucapku, dia semakin nampak linglung dengan sikapku
“Sekali lagi, selamat untuk Bu Dian selaku Dosbing saya dan Pak Felix Selaku Dosen terkeren saya, semoga perjalanan cinta kalian menjadi sebuah sejarah yang tak akan terlupakan oleh Bapak maupun ibu setelah menikah dan mempunyai banyak momongan” ucapku sambil membungkukan badan ala orang jepang
“Makasih banyak Ar...” ucap Pak felix
“Kalau begitu, Pak... Bu... Saya mohon undur diri dulu, mau kumpul-kumpul sama anak-anak” ucapku
“Okay, becareful” ucap pak felix. Aku kemudian melangkah membelakangi mereka berdua.
“Arya!” panggil Bu Dian tapi aku tidak menghiraukannya
“Pak Felix, Bu Dian...” ucapku dan berhentii sejenak membelakangi mereka
“Dua menjadi satu selamanya!” teriakku, dengan mengangkat tanganku membuka dua jari tanganku dan menyatukannya kembali. Aku kemudian menoleh kebelakang dengan senyuman khasku dan kemudian berlari ke arah pohon tempatku bersembunyi. Dan wongso masih disana. Aku sudah tidak tahu apa yang terjadi di belakangku
“Kamu memang lelaki kuat Ar, berbeda denganku” ucap wongso yang ada dihadapanku
“ayo, mereka sudah menunggu” ucapku sambil melewati wongso sambil menepuk bahunya
“Ar, mungkin jika kamu adalah aku, aku mungkin akan memaki mereka berdua” ucap Wongso
“It's okay, to be a little broken, because Everybody's broken in this life”
“it’s just life” ucapku dengan senyuman ke arahnya. Aku dan wongso kemudian kembali ke tempat kami berkumpul. Dengan serentak semua orang yang berada di tempat itu berdiri.
“Kita ke warung wongso saja, cari gratisan” ucap anton
“iya, disini banyak nyamuk” ucap Aris
“Uangku juga sudah habis, ke wongso saja” ucap Udin, semuanya akhirnya beranjak dari tempat duduknya ke arah motor kami. Mereka berjalan melewatiku satu persatu dari mereka menepuk bahuku
“Sudah lah, disini juga ndak apa-apa kan?” ucapku. Tanpa mendengarkan ucapanku mereka semua naik ke motor mereka dan menyalakannya
“Cepet Su!(Cepat njing)” teriak wongso. Aku sudah tidak bisa berkutik lagi dan kami akhirnya pergi dari tempat itu menuju warung wongso. Kami berputar melewati taman dan kemudian lurus melwati tempat Bu Dian dan Pak Felix aku berhenti tepat di depan Bu Dian dan Pak Felix dengan jarak kira-kira 5 meter. Semua motor sahabat-sahabatku berhenti didepanku
“PAK! BU! SELAMAT YA! KALAU NIKAH AKU DIUNDANG LHO!” teriakku sembari mengangkat tanganku dan menggoyangkannya di udara
“Doakan ya!” teriak pak felix. Bu Dian menatapku dengan tatapan kosong ke arahku. Kutarik gas REVIA kembali dan aku melaju melewati sahabat-sahabatku yang kemudian membuntutiku dari belakang.
“Bu Dian... sekarang aku benar-benar sudah mantap dengan keyakinanku, bahwa aku tidak pantas mengharapkanmu apa lagi memilikimu. Kau terlalu indah untuk aku yang kotor ini” bathinku. Motor melaju dengan cepat tanpa mempedulikan mereka yang dibelakangku. Lampu merah aku tabrak tanpa mempedulikan tilang polisi. Dan sampailah aku di warung wongso. Warung tersebut sudah tutup dan dibuka kembali oleh wongso agar kita semua bisa berkumpul di dalam. Satu-persatu dari mereka masuk ke dalam warung dan aku masih di atas motorku. Para pacar sahabat-sahabatku masuk ke dalam rumah wongso.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA” Teriakku keras. Beberapa dari sahabat-sahabatku terlihat menengok ke arahku. Lalu aku masuk dan duduk di bangku yang dekat dengan pintu keluar masuk warung. Aku duduk bersandar dengan pandangan ke jalan di luar warung. Mereka semua terdiam seakan-akan ikut merasakan apa yang aku rasakan.
“Arya, Arya tidak apa-apa?” ucap Dira mencoba memecah kesunyian. Aku menoleh ke arah Dira dengan tatapa tajamku
“takuuuut hiiiiiiiiiiii” ucap dira ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh karyo. Tampak sedikit wajah ketakutan di wajah mereka semua.
“Maaf, maaf, ndak papa bro he he” ucapku. Semua sahabatku seakan tahu apa yang ada dalam pikiranku. Mereka tidak berani memulai pembicaraan dengan keadaanku yang masih labil.
“Oh ya, katanya ada yang penting ada apa bro?” ucapku memecah kesunyian
“Tidak ada ndes, tenang saja, tenangkan pikiranmu dulu” ucap Joko
“Sudahlah, aku tidak apa-apa, ayo segera kita mulai saja. Kadar masalah koyo ngono wae, enteng kanggo aku (hanya masalah seperti itu, ringan buat aku)” ucapku. satu persatu dari mereka semua kemudian memukuli kepalaku. Suasana kemblai menjadi riuh dengan canda tawa kami. Tiba-tiba anton mengeluarkan sebuah kartu identitas dan diberikannya kepadaku. Ku baca bagian atas kartu identitas itu “IN = Intelejen Negara” aku tercekat mana kala aku melihat nama yang tertera dibawahnya adalah nama lengkap Anton
“Eh... apa maksudnya ini? Kamu anggota IN? Ha ha ha” ucapku
“Anton akan menjelaskan semua” jawab wongso
“Aku anggota dari IN, Aku sedang menyelidiki Ayahmu, makanya aku meminta mereka semua berkumpul” ucap Anton
“Eh...” aku terkejut dengan perkataan anton
“Halah, jangan sembarangan mana mungkin kamu anggota IN?” ucapku
“Ar, kamu tahu kan aku pernah membobol beberapa website pemerintah ketika aku SMP? Ketika itu IN mengetahui aku dibalik dalang semua itu. aku di tangkap oleh IN dan karena aku masih SMP aku dilatih oleh mereka untuk menjadi bagian dari mereka. Kamu tahu sendiri kan sewaktu SMA aku paling jarang masuk ke sekolah karena aku dalam masa pelatihan” ucap Anton dan aku hanya menatapnya dengan pandangan kosong
“Setelah lulus SMA, aku kemudian dipekerjakan di bagian jaringan. Hingga kepala divisiku menyuruhku untuk menyelidiki Mahesa Wicaksono. Mereka tahu jika itu adalah Ayah dari sahabatku sendiri jadi daripada nantinya tindakanku menyakiti hati sahabatku sendiri, aku menemui mereka semua terkecuali kamu untuk meyakinkan mereka mengenai misiku. Sebenarnya aku hanya bawahan dari komandan misi ini, tapi aku diperbolehkan oleh komandanku untuk mengikutsertakan kalian tapi bukan sebagai prajurit tetapi pengumpul informasi karena dalam misi ini, Nyawa adalah taruhannya. Dan hari ini adalah hari dimana aku berterus terang kepadamu agar jika kelak nanti aku menangkap Ayahmu. Kamu tidak dendam kepadaku. Aku ingin kamu berkerjasama denganku” ucap Anto. Kupandangi wajahnya dengan tatapan mata seriusnya, aku semakin yakin bahwa dia tidak berbohong kepadaku dan kemudian aku tersenyum, membuat beberapa sahabatku termasuk anton terkejut kecuali wongso. Aku terdiam sejenak berpikir, jujur saja aku tidak bisa bergerak sendirian aku butuh teman untuk bergerak.
“Aku tidak tahu apakah ini benar atau tidak, tapi...” ucapku
“Maafkan aku Ar, tapi ini sudah menjadi misiku untuk menyeleidikinya. Dan aku harap...” ucap Anton. Kusulut sebatang dunhill dan kuhempaskan asapnya ke alngit-langit warung wongso
“Haaaassssssssssssssh....”
“Aku sudah tahu kebusukan Ayahku, Dia telah membuat hidup banyak orang sengsara. Jika semuanya aku ceritakan disini walau 1 juta halaman tidak akan cukup”
“Aku tahu ini misi Anton tetapi secara pribadi, ini adalah keinginanku untuk mengakhiri kiprahnya. Aku tidak peduli dengan IN atau apalah yang ingin menangkapnya, yang jelas harus aku orang pertama yang menyingkirkannya”
“dan sebenarnya aku tidak ingin kalian tahu dan aku tidak ingin kalian ikut di dalamnya. Jika aku mati aku akan mati sendiri” ucapku sembari memandang mereka satu persatu
“Aku tidak mau...” ucap Aris
“Tidak mau kalau kamu bergerak sendiri, aku harus ikut he he he” lanjut aris
“aku harus ada disitu, cat kadang kalau mau berkelahi ndak ngajak-ngajak, kan enak tuh kalau tawuran bareng-bareng mengenang masa SMA” ucap Karyo
“Iyo... dia suka ninggal aku” ucap Udin yang mengangguk ke arahku
“Kalau ikut semua aku juga ikut, aku kan paling cantiiiiiiiik he he he” ucap Dira
“Aku juga, kasihan kalian nanti tidak ada makanan gratis” ucap Wongso
“yang penting ojo kondo-kondo” ucap joko
“Lumayan ada pekerjaan, aku ikut” ucap Parjo
“Pamer Gigi ah.... ikut” ucap tugiyo
“Dewo terdepan...” ucap Dewo. Aku tersenyum melihat mereka semua. Entah aku bahagia atau tidak tapi mereka semua menatapku dengan tatapan keseriusan.
“Bagaimana kalau nyawa kalian terancam?” ucapku
“Geng koplak itu jalan dulu, yang lain dipikir belakangan” ucap mereka serentak. Mereka mengulurkan tangan mereka dan menumpuknya menjadi satu dihadapanku. Aku hanya tersenyum dan menaruh tanganku diatas mereka.
“KOPLAK!” teriak kami bersama sambil mengangkat dan menjatuhkan tangan kami semua secara bersamaan. Aku memang tidak yakin kumpulan anak-anak yang baru berumur 20-an ini apakah benar-benar bisa membantuku. Tapi dengan adanya anton, mungkin bisa menata pergerakan kami agar lebih tertata
“Terus ton apa rencanamu?” ucap wongso
“Okay, begini, untuk sementara kalian lakukan kesibukan kalian seperti biasa tidak usah menjadikan misi ini sebagai menu utama harian kalian. Tugas kalian adalah mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang Ayah Arya dan kawan-kawannya, mungkin saja ketika kamu melihat mereka kalian bisa mengikutinya, karena kalian tidak akan dicurigai sebagai anggota Penegak Hukum ataupun IN. Perlu kalian ketahui, pergerakan kamipun sangat terbatas karena jika kami yang selalu mengawasi mereka, ketakutan kami adalah mereka akan segera menyadarinya. Jadi aku berharap banyak kepada kalian sebagai kepanjangan tangan IN. Jika nanti aku calling kalian harus siap, sekarang posisi mereka sedang merencanakan sesuatu aku mendapat informasi ini dari rekan kerjaku. Target kita sekarang bukan hanya ayah arya tapi juga beberapa kepala instansi pemerintahan di daerah ini. sekarang mereka sedang merencanakan sesuatu tapi aku tidak tahu, peregerakan mereka sekarang masih dalam batas wajar. Kita tidak bisa saja menggerebek mereka karena kita tidak mempunyai bukti akurat. Untuk semuanya, selama melakukan kesibukan sesekali mencari informasi mengenai mereka. Arya kamu anaknya, pastinya tahu banyak” ucap Anton
“Maaf nton, untuk sekarang ini aku tidak bisa memberitahukan bukti-bukti kepadamu” bathinku
“Belum ada, tapi ada beberapa kebengisan yang dilakukannya terhadapa orangtuanya. Selebihnya akan aku beritahukan jika ada informasi tambahan” ucapku
“Hmmm... itu tidak dapat dijadikan bukti”
“Okay, kita berkumpul lagi jika kalian semua mendapat informasi baru. Sekarang kita berpisah dulu, aku mengandalkan kalian karena kalian semua sudah aku ajukan sebagai tim bayanganku kepada kepala divisiku dan mereka menyrtujuinya. Arya apakah kamu bisa aku percaya?” ucap Anton
“Sebenarnya aku bermaksud menyelesaikannya sendiri ton. Dan sebenarnya aku malu ketika kalian semua tahu mengenai Ayahku” Ucapku kepada Anton.
“Maafkan aku, tapi kiprah Ayahmu sudah terlalu jauh merugikan negara dan daerah ini” ucap Anton. Aku hanya memandangnya dan tersenyum kepadanya. Pertemuan itu berlanjut hingga malam dengan canda tawa kami, hingga akhirnya mereka semua pulang satu–persatu. Tinggal aku, anton, dan wongso.
“Ton, biarkan aku mendalami Ayahku terlebih dahulu, aku sebenarnya punya bukti tapi jika bukti itu aku berikan sekarang, aku tidak akan puas karena kamu pasti akan bergerak terlebih dahulu, biarkan aku berjalan sendiri terlebih dahulu” ucapku
“Eh...”
“Baiklah, tapi kamu tetap dalam pengawasanku Ar” ucap Anton
“Ingat Ar jika ada bahaya kamu hubungi kami”
“dan satu hal lagi, Benahi dulu hatimu Ar” ucap Wongso sambil menepuk bahuku
“Benar Ar kata wongso” ucap Anton yang tersenyum kepadaku
Akhirnya aku berpisah dengan mereka semua, dan aku pulang dengan seidkit motivasi. Tapi motivasi itu sekejap hilang ketika ingatanku kembali kepada Bu Dian. Di dalam kamarku aku merasa sendiri, aku butuh seseorang untuk diajak berbicara mengenai semua yang terjadi. Ibu, Aku benar-benar kagen dengannya. Ku buka kembali sematponku dan ku buka ada beberapa notifikasi pesan BBM dari Bu Dian.
Naik naik kepuncak gunugng tinggi-tinggi sekali. Ringtone telepon. Bu Dian. Aku matikan dan tidak mengankatnya. Berkali-kali aku menutup teleponku ketika lagu anak-anak itu berbunyi.
Hanya itu pesan terakhirku kepada Bu Dian, tak ada balasan dari Bu Dian sama sekali. Lagipula kenapa Bu Dian begitu ingin aku meneleponnya? Aku mahasiswanya dan bukan siapa-siapa bagi dia?kutuliskan sebuah status di BBM-ku.
“You make fly high then take me down”
Kemudian aku membaca statu Bu Dian
“Please, Call me, i want talking to you”
“Bodoh bodoh bodoh! Aku mau tidur!” bathinku berteriak
Minggu aku lewati hanya dengan tidur nyenyak saja di dalam kamar. Kuamati status BBM Bu Dian tidak berubah semenjak tadi malam. Ingin aku menghapus pertemanan dengannya tapi dia Dosenku dan aku masih membutuhkannya. Hingga hari senin aku berangkat kuliah tanpa sarapan karena Ibu belum pulang kerumah sedangkan Ayah tak tahu rimbanya. Selepas kuliah, aku kemudian melanjutkan penelitianku hingga larut malam. Dengan running process hari ini, Penelitianku segera berakhir dan aku akan mendapatkan semua hasil dari Tugas Akhirku. Tinggal menyelesaikan pembahasannya saja. Dalam hatiku berkata, jika saja dia menginginkan aku meneleponnya kenapa dia tidak menjengukku ke laboratorium? Pastinya dia malu karena aku mahasiswa dan dia dosen. Huh...
Hari selasa, selepas aku kuliah aku mendapat pesan dari Ibu jika Ibu sudah berada di rumah bersama Ayah. Kubaca dan kubalas secukupnya karena aku akan menghadap ke Bu Dian untuk menunjukan hasil dari penelitianku. Kau mengirimkan pesan kepada Bu Dian, dan dia menyanggupi untuk bimbingan jam 14:00. Aku terus berada di depan ruangan Bu Dian untuk menunggu kehadirannya. Tepat jam 14:05 Bu Dian datang diantar oleh pak felix, pak felix memperlakukan bu Dian dengan begitu mesra namun Bu Dian terlihat kaku dan dingin atas perlakuan itu. Pak felix kemudian menyalamiku dan pamit keluar dari gedung jurusan, lalu Bu Dian kemudian mengajakku masuk ke dalam ruanganya.
“Maaf bu, ini hasil penelitian saya mengenai Tugas Akhir,mohon untuk di cek” ucapku datar
“Ar, bisa kita bicara sebentar...” ucap Bu Dian
“Saya mohon bimbinganya bu untuk tugas akhir saya, saya hanya berharap agar tugas akhir saya ini bisa saya ujikan setelah PKL dan KKN nanti. Dan saya bisa lulus 3,5 tahun. Setelahnya saya bisa segera mencari pekerjaan atau mungkin melanjutkan kuliah S2” ucapku tegas
“Eh...”
“Ar, aku mohon kamu jangan terlalu formal seperti ini, aku ingin bicara mengenai peristiwa malam itu, aku harap ka...” ucap Bu Dian
“Bu, saya mohon, untuk bimbingannya” ucapku
“Arya, jika kamu...” ucap Bu Dian
“Saya siap di-DO,bu” ucapku singkat dengan tatapan mata yang tajam ke arahnya
“Eh...” raut wajahnya kecewa, tatapan matanya begitu sendu kearahku. Yang tak bisa menyembunyikan kegelisahan, kebingungan hatinya atas sikapku
“Baiklah...” ucapnya pelan
Dengan kekakuan diantara kami berdua semua berjalan tampak normal. Bu Dian menjelaskan mengenai hasil penelitianku, aku pun memeprhatikannya dengan seksama. Setiap penjelasan darinya aku catat secara garis besarnya. Hasil penelitianku masuk dalam kategori bagus bahkan bisa dibilang lebih bagus daripada yang di KTI-kan oleh Bu Dian. Aku semakin fokus dengan penjelasan Bu Dian, sudah tak kupikirkan lagi mengenai kejadian malam itu
“Terima kasih Bu, saya akan melanjutkan pembuatan tugas akhir saya, dan nanti setelah PKL dan KKN saya akan bimbingan dengan Ibu lagi” ucapku kemudian bangkit dari tempat duduk
“Oia Bu Selamat ya Bu untuk tanda jadi yang kemarin” ucapku sambil menyodorkan tangan kananku, namun Bu Dian hanya diam saja dan memandangku dengan tatapan yang aneh
“Ya sudah bu, saya pamit dulu” ucapku sembari melangkah keluar dari ruangan Bu Dian
“Ar...” ucap bu Dian
“Iya Bu...” ucapku
“Bisa kita jalan-jalan lagi, ada yang ingin aku bicarakan” ucap Bu Dian
“Maaf Bu saya tidak bisa...” ucapku
“Kenapa?” ucap Bu Dian
“Takut bu he he, saya undur diri Bu, terima kasih” ucapku dan lansung keluar dari ruangan itu
“Yes! Akhirnya selesai juga, tinggal Kuliah, PKL, KKN, Ujian, lulus... Goodbye my university he he” teriakku ketika aku baru melangkah beberapa langkah dari depan pintu ruangan Bu Dian
“Apakah kamu memang benar-benar ingin segera keluar dari Univ?” ucap Bu Dian tiba-tiba dari belakangku
“Eh...”
“Ya namanya juga mahasiswa bu, pastinya pengen cepet lulus kan? He he he” ucapku santai
“Apakah tidak ada yang bisa membuatmu untuk tidak tergesa-gesa lulus Ar?” ucap Bu Dian
“Tidak ada Bu, tidak ada sama sekali” ucapku
“eh...” ucapnya tiba-tiba wajahnya berubah sedih dan sedikit tertunduk
“saya pulang dulu bu” ucapku tanpa mepedulikan perubahan sikapnya setelah kejadian malam itu
Aku melangkah keluar dari gedung jurusan. Aku sudah memantapkan hatiku untuk tidak berharap lagi kepada Bu Dian. Walau ada segelintir cerita indah tentang aku dan dia. Segera aku pulang kerumah untuk melepas lelah. Sampailah aku dirumah disambut dengan Ibu, Ayahku sedang santai nonton televisi. Sesampainya dikamar aku mendapat telepon dari Anton.
“Ar, apakah ayahmu selalu dirumah?”
“Ya, ada apa?”
“Mereka kelihatnya sedang menunggu sesuatu, karena selama ini mereka tidak memperlihatkan tindak-tanduk mencurigakan selama ini”
“Begini Ton, ada informasi yang aku dapatkan, mereka sedang menunggu kehadiran beberpa orang, Ayahku pernah bercakap-cakap ditelepon mengenai beberapa orang yang sedang ditunggunya, dam akan mengadakan suatu pertemuan tapi entah dimana”
“Hm... aku mengandalkanmu, coba kamu selidiki lebih jauh lagi, mengenai beberapa orang itu?”
“Okay Ton” tuuuuut
Tak aku berikan bukti mengenai si tukang, si buku dan si aspal serta sebuah kode tempat pertemuan mereka kepada Anton. Dengan tujuan agar aku bisa mengetahuinya sendiri, memang benar tujuanku adalah aku bisa mendapatkan informasi akurat dan selanjutnya akan aku bungkam mereka semua, Ayah dan kroni-kroninya.
Malam pun tiba, makan malam bersama keluarga dan sedikit percakapan kaku diantara kami. selesai makan aku kembali ke kamar dan aku segera menyelesaikan tugas-tugas kuliahku dan melanjutkan tugas akhirku. Kesibukan dengan perkuliahan membuatku lupa waktu, kulihat jam dinding sudah menunjukan pukul 22:30. Segera aku rebah di kamar tidurku, kuraih sematponku dan ternyata terdapat notifikasi pesan BBM. Bu Dian.
(kenapa dia menyebutku arogan? Apa salahku?)
Dengan berbagai alasan coba aku berikan kepada Bu Dian, hingga BBM terakhirku tak mendapat balasan. Aku kemudian menarik selimut dan tidur dalam mimpi indahku. Aku sudah tidak mau mempedulikan wanita itu lagi, apa yang sebenarnya Bu Dian cari selama ini? kenapa dia sangat ingin bertemu denganku? Jika dirunut dari manapun aku bukan siapa-siapanya? Masa bodohlah, life must go on itu kata Queen. Kubuat sebuah status BBM.
“Don’ threat me Bad by Fire house”
Dibalas oleh Bu Dian
“You are not gentlemen, childish”
(statusnya wow, apa buatku ya? Tapi kalau buatku, bodoh ah?)
Aku buat status kembali
“I Saw red by warrant”
Ketika status BBM-ku aku ubah, beberapa saat kemudian bebrapa pesan BBM masuk. Bu Dian mengirimkan pesan BBM yang intinya dia ingin bertemu denganku, tapi aku tidak menggubrisnya sama sekali. Dalam hatiku, harapan untuknya sudah mulai tergerus oleh waktu. Tak ada lagi kebahagiaan ketika aku mendapatkan pesan darinya, ya tak ada sama sekali. Lagipula kenapa dia begitu ngebet ketemu denganku? Masa bodohlah! Kutarik selimut dengan iringan lagu “ I saw red milik group Band warrant”. Sebuah lagu tentang cinta yang dibalas dengan rasa sakit. (perhatikan reff-nya suhu dan agan)
Kulalui semester enam ini dengan penuh semangat, sebenarnya sok semangat. Berangkat pagi pulang sore, kumpul dengan keluarga dan belajar di dalam kamar. setiap saat aku selalu mengecek sematpon milik KS dan emai Om Nico tapi tidak ada tanda-tanda yang bisa memperkuat bukti. Jika aku hanya mengandalkan obrolan di sematpon KS bisa-bisa mereka menyuruh orang untuk membunuhku seandainya aku menjadi saksi sebagai penemu sematpon. Tante wardani saja mungkin juga tidak bisa berkutik, mereka terlalu kuat. Yang aku butuhkan adalah sebuah tindakan tapi belum tahu tindakan seperti apa.
Perkuliahan di semester enam berakhir, UAS semester genap juga telah selesai. Selama itu pula aku komunikasiku dengan Bu Dian tidak selancar dulu. Kadang sesekali aku bertemu dengannya dengan wajah penuh kelembutannya yang sedikit gelisah dan kebingungan. Kadang setiap kali aku menyapanya dia sering salah tingkah. Entah apa yang ada didalam pikirannya aku tidak pernah tahu dan AKU TIDAK MAU TAHU!. Beberapa kali Bu Dian mengajakku bertemu namun aku selalu menolaknya. Karena aku tidak ingin kejadian dengan lucas terjadi lagi, hanya itu. Ibu? Kebersamaanku dengan Ibu tetap terjaga dengan baik, walau beberapa bulan ini aku tidak bisa mencuri-curi untuk berkumpul dengan Ibu. Walau jarang berkumpul dengan Ibu, tapi melihatnya saja aku sudah senang, senyum manisnya, tatapan matanya. Dan itulah yang bisa membuatku melupakan Bu Dian, entah sejenak, entah selamanya. Untuk bisa curhat dengan Ibu saja sekarang menjadi semakin sulit, untuk BBM takutnya Ibu lupa hapus dan dibaca Ayah. Jalani dulu sajalah daripada aku harus memaksakan diriku, nanti juga pasti ada jalan sendiri.
Yudisium pun tiba, hingga akhirnya Rahman sahabatku akhirnya mau menceritakan keluh kesahnya selama semester enam ini. Rahman yang selalu bertemu denganku dengan wajah galaunya dan kosongnya sekarang menjadi Rahman yang lebih dari biasanya. Tampaknya lebih bahagia dan lebih bersemangat namun kadang dia menjadi orang stress dengan sendirinya. Sampai pada suatu hari dia mengajakku bertemu rektorat universitas, pada malam hari sekitar pukul 19:30.
“Woi kang! Dah lama?” ucapku yang baru saja datang
“Endak baru juga ane duduk dan menyulut rokok” ucap Rahman
“Ada apa kang? Kayaknya serius banget?” tanyaku
“nih rokok, nih minumannya...” ucap Rahman, dan kusulut sebuah rokok dunill mild kesukaanku
“Ar...” ucap rahman
“ya...” ucapku
“Ane mau cerita, tapi ente jangan bilang sama siapa-siapa ya?” ucap Rahman
“Iya.. iya, tenang saja, kayak sama orang lain saja kaaaaang... kang ”ucapku sambil meneguk panta merah. Nampak wajah rahman serius menatap ke tanaman-tanaman di seberang jalan. Helaan nafas panjangnya mengisyaratkan bahwa apa yang akan dikatakannya adalah sebuah hal yang sangat penting. Beberapa kali dia akan memulai tapi selalu kata-katanya tercekat ditenggorokannya. Helaan nafas panjang selalu dilakukannya untuk menenagkan pikirannya. Dan...
“Ane telah bersetubuh dengan mama ane sendiri...” ucap Rahman
“Uhuk uhuk uhuk uhuk... “ aku tersedak seketika itu
“Hmmmm... anaknya ternyata lucu juga hi hi hi hi” bathin wanita tersebut, dengan wajah yang sumringah
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sematponku berbunyi dengan sangat keras di awal semester enam ini, membuat kuping ini serasa berdengung. Aku terperanjat kaget, segera aku raih sematpon KW super-ku ini. terlihat pukul 05.00. Dengan secepat kilat bagai petir yang menyambar aku mandi dan mempersiapkan semua keperluanku Kuliah hari ini. ini adalah hari pertamaku kuliah di semester 6, semester tua menurut beberapa temanku karena ini adalah semester terakhir bagiku. Di semester 7 nanti akan lebih banyak kegiatan kuliah di luar kampus, KKN dan PKL, selebihnya tidak ada kuliah di kampus. Di semester 6 ini aku menganmbil jadwal pagi di hari senin yaitu pukul 07.30 selebihnya pukul 08.30 jadi aku harus berangkat dari rumah jam 06.00.
Dibawah Romo tampak masih santai dengan kaos oblong dan sarungnya sedangkan Ibu juga masih terlihat menyiapkan sarapan pagi. Senyum sapa kepada Ibu yang tulus dan senyum sapa palsu terhadap Ayahku. Tidak bisa aku memungkiri jika dalam hati ini masih terbesit sebuah kekesalan terhadap Ayahku. Segera aku menyantap sarapan pagiku, sambil sarapan kulirik jam dinding menunjukan pukul 05.50. Kupercepat sarapan pagi ini dan segera aku bangkit pamit dengan kedua orang tuaku lalu melaju menyusuri jalanan daerahku menuju kampus tercinta.
“Hati-hati tidak usah ngebut-ngebut nanti Nak” ucap Ibuku yang mengantarku sampai depan garasi
“Iya Ibuku tercintaaaaa” ucapku dengan senyuman, ditariknya aku kedalam garasi dan kami berciuman lembut di dalam sana. Setelah adgena yang lumayan panas di dalam garasi walau hanya ciuman dibibir, segera aku keluar dari garasi dan memacu REVIA.
Kecepatan penuh aku tarik dengan tangan kananku, hembusan angin dingin menerpa tubuh ini. terasa dingin walau sudah mengenakan jaket sport yang tebal. Kecepata maksimum hingga sebuah motor roda tiga bisa menyalipku dengan santainya. Maklum kecepatan maksimum REVIA sudah menurun dan tidak bisa semaksimal ketika REVIA masih muda. Dan ciiiiiiiiiiiiiit... sampailah aku didepan kampus tercintaku. Aku melangkah menuju ke kampus idaman semua lulusan SMA di daerahku, dengan langkah cepat.
Bughh....
“Adiauuuuhhhhhhhhh....” sebuah pukulan ringan mendarat dikepalaku tanpa aku sadari
“Mangkanya, kalau jalan ndak usah cepet-cepet Ar” ucap Rahman dari belakangku
“Wooooo... dasar kamu kang” balasku, kami kemudian melangkah bersama ke ruang kelas
“Ssssttt... kemarin ente beneran lihat ane?” bisik rahman
“Lihat” jawabku dengan senyum cengengesan
“berarti ente tahu siapa cewek yang sedang ane kikuk-kikuk?” bisik rahman dengan wajah tegang
“ndak kelihatan kang, emang siapa kang?” jawabku
“Fyuuuuuuuuuhhhh untunglah kalau begitu, ya udah masuk kelas saja, dah hampir setengah delapan” ucap rahman sembari menepuk bahuku. Aku berdiri dan tidak bergerak melihat gelagat aneh Rahman, biasanya dia akan cerita mengenai siapa wanita tersebut kepadaku dan kali ini berbeda. Segera aku melangkah masuk ke kelas yang berada di lantai dua ini. ketika satu kakiku masuk kekelas aku menengok kearah kananku, ke arah kelas sebelah yang ditempati oleh adik tingkatku.
Seorang wanita dengan mengenakan pakaian putih yang ditutup oleh blazer hitam serta celana panjang kain bukan jeans yang tidak begitu ketat memandangku. Bu Dian, dia tersenyum manis kepadaku, rasanya hati ini jatuh kelantai meleleh dan menguap menjadi gas yang berhembus masuk kedalam hatinya. Aku hanya mampu tersenyum dan menganggukan kepalaku. Bu Dian kemudian masuk ke dalam kelas dan begitu pula denganku. Selang beberapa menit dosen masuk ke dalam kelas, Dia adalah Bu Ernaningsih, seorang dosen muda yang sudah menikah wajahnya sama seperti semua dosen wanita di kampusku, JUDES!
“Okay, Good Morning ladies ang gentlemen” ucap Bu Erna
“Morning Miss....” ucap serentak semua mahasiswa
“Before we start iur study today, let’s pray toogether” ucap bu erna, yang kemudian semua mahasiswa berdoa menurut agama dan kepercayaannya masing-masing
Bu Erna kemudian memberikan kontrak kuliah yang begitu kejam kepada kami, padahal dulu sewaktu kami masih semester 2. Kontrak kuliah Bu Erna masih fleksibel tapi sekarang semua mahasiswa tidak boleh ada yang terlambat masuk kuliah, pengumpulan tugas, dan tidak boleh bolos sekalipun walau sebenarnya ada peraturan 75% kehadiran. Benar-benar sadis, bagaimana coba kalau pada hari minggu malam aku ber-kikuk-kikuk sama Ibu, kan capek paginya. Kuliah dimulai dengan benatakan keras kepada kami semua, membuat semua menjadi tegang atas bawah khusus bagi laki-laki, kalau perempuan tegang atas saja (kepala maksundnya). Bagaimana tidak tegang bawah, lha wong pakaiannya saja kaya Teller Bank, rok diatas lutut, dan pakaian bagian atas sangat ketat.
Dua setengah jam kami lewati dengan sangaaaaaat lama, apalagi setiap pembelajaran yang di berikan Bu Erna selalu saja membingungkan. Kuliah telah selesai beberapa mahasiswa berhamburan menuju gedung jurusan kami untuk melihat dosen pembimbing Tugas Akhir (skripsi) kami.
“Ayo, Ar kita lihat dosbing kita” ajak rahman
“Oke kang” jawabku yang kemudian melangkah bersamanya
Di dalam gedung jurusan, terdapat tempelan –tempelan kertas yang terbagi-bagi. Semua mahasiswa hanya mendapatkan satu Dosbing tidak seperti tahun-tahun sebelumnya dimana satu mahasiswa memiliki dua dosen pembimbing. Kuamati baris satu persatu mencari nama seorang lelaki keren, Arya Mahesa Wicaksono. Kutemukan namaku dan kutarik kesamping, Dian Rahmawati. Raut mukaku tetap sama saja tapi di dalam hatiku, aku sedang bersalto melompat kegirangan.
“Bu Diaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan yes yes yes yes yes” teriak bathinku. Segera aku membaca note di bawah tempelan kertas itu “Segera temui dosen pembimbing untuk awal pembimbingan”.
“Enak ente Ar, dapat Bu Dian, masih muda cantik lagi” ucap Rahman
“Ya Nasib kang, kan tahu sendiri judes, mending kamu dapat Bu Endang, orangnya enak di ajak ngobrol” jawabku
“Iya sich, montok lagi, moga aja bisa menyentuh kemontokannya he he he” ucap Rahman
“Gundulmu isinya Cuma mesum doang Ha ha ha ha ha” candaku
Akhirnya mahasiswa angkatanku berada di depan gedung jurusan untuk menunggu Dosen Pembimbingnya. Jika diamati mereka semua seperti gelandangan begitupula aku, Ada yang merokok, tiduran dilantai, ada yang pacaran, ada juga yang nonton pilem porno alias bokep. Lama menunggu satu persatu temanku masuk kedalam jurusan karena dosbingnya sudah pada datang semua. Sedangkan aku masih menunggu di depan gedung menanti kedatangan Bu Dian yang cantik imut dan muach-muach. Satu persatu mereka mulai meninggalkan aku sendiri di depan gedung jurusan begitu pula Rahman yang sudah tidak tahan terhadap laparnya.
“Hei, Ayo masuk” ucap seorang wanita yang menepuk bahuku
“Oh... Mbak eh Ibu, i... iya bu” ucapku
“sudah, tidak usah gugup seperti itu, biasa saja ya ehemmm...” ucapnya sambil tersenyum. Aku kemudian mengikutinya dari belakang dan masuk ke dalam ruang Dosen. Di sini setiap Dosen memiliki ruagan tersendiri, dimana 1 ruangan untuk 2 dosen saja.
“Duduk Ar...” ucap bu Dian lembut
“I.. iya Bu...” ucapku sedikit gugup
“iniiii, kemarin kan kita sudah buat KTI bersama jadi saya usul ke ketua jurusan agar kamu masuk dalam bimbingan saya”
“kamu tinggal melanjutkan KTI ini dengan menambah atau mengubah variabel bebasnya ya” ucap Bu Dian
“I... Iya bu...” ucapku
“Jangan gugup gitu dong, kaya lihat setan saja” ucap bu dian
“ee.... e... bukan begitu bu, grogi” ucapku
Kleeeek.... suara pintu terbuka
“kalau orang grogi biasanya orang itu suka sama yang di grogi’in lho Ar” Ucap Bu Erna yang masuk ke dalam ruangan. Ya Bu Erna memang satu ruangan dengan Bu Dian
“E... E... bukan aduh... itu bu... anu... ehhh... aaaahhhh” ucapku gugup
“yan, tuh Arya naksir sama kamu” ucap bu Erna yang kemudian duduk di kursinya
“Apaan sich mbak, kasihan Arya ni lho mbak” ucap Bu Dian
“Ya ndak papa to Yan, sama Arya saja daripada kamu menunggu yang tidak pasti” ucap Bu Erna
“Eh...” aku terkejut dengan ucapan Bu Erna, menunggu yang tidak pasti, apakah Bu Dian memiliki seseorang yang ditunggunya untuk menyatakan cinta dan perkataan itu seakan-akan ditujukan kepada laki-laki lain selain diriku. Perkataan Bu Erna membuatku tertunduk lesu dihadapan Bu Dian.
“Apakah status BBM-nya bukan untukku tapi untuk orang lain” bathinku
“Sudah jangan didengarkan omongan Bu Erna Ar, ya?” ucap Bu Dian. Kuangkat kepalaku dan memandang senyumannya.
“Eh... Iya Bu” ucapku. Kuhela nafas panjang, ku kondisikan diriku agar tidak gugup lagi.
“Aduuuuh, Arya kasihan, kalau Bu Dian ndak mau sama Bu Erna saja, Bu Erna mau kok hi hi hi” ucap Bu Erna yang seakan-akan meyakinkan aku mengenai lelaki misterius itu
“Waduh bu, bisa dibunuh sama suami Ibu nanti he he he” ucapku kepada Bu Erna
“Ya Diem-diem dong hi hi hi” ucap bu erna melanjutkan
“Mbak! Sudah deh ah!” ucap Bu Dian agak sedikit keras, Bu Erna hanya terkekeh-kekeh melihat reaksi Bu Dian
“Eeee... Bu Dian, terima kasih, nanti proposal akan segera saya buat, dan saya usahakan minggu depan akan segera saya berikan ke Bu Dian, mohon bimbingannya ya Bu” ucapku lancar dengan tersenyum
“I... Iya, saya tunggu”ucap Bu Dian dengan wajah agak sedikit gugup
“Kalau begitu saya pamit dulu Bu Dian, Bu erna, Mari” ucapku kepada mereka berdua dan dijawab oleh mereka berdua
Kulangkahkan kakiku menuju ke warung biasa aku dan rahman nongkrong. Kulihat dia sedang memainkan sematponnya. Aku menghampirinya setelah memesan makan siang kepada penjaga warung tersebut. Dengan lagak Rahman yang sok cuek aku duduk disebelahnya, ku amati layar sematponnya, Pilem Bokep sedang diputar.
“Udah ente makan dulu, nanti ane kasih Ar” ucap Rahman
“Dasar otak Mesum!” ucapku yang dibalas dengan gelak tawa rahman
Segera kulahap makan siangku, sesekali aku amati wajah rahman seakan-akan menyimpan sebuah rahasia kepadaku. Ya, aku tahu karena setiap kali dia menatap layar sematponnya itu raut wajahnya tidak sama dengan sebelum-sebelumnya. Apa mungkin tentang Ajeng? Atau Ayahnya? Atau mungkin dia tahu hubunganku dengan Ibunya? Mati aku.
“Kamu kenapa to kang?” ucapku setelah makanan di piring telah habis aku lahap
“Masalah cewek Ar biasa?” jawabnya
“Ajeng?” balasku
“Bukan” jawabnya
“Lalu?” ucapku
“Nanti kamu akan aku kasih tahu tapi bukan sekarang, pokoknya bisa bikin aku gila Ar” ucap Rahman
“Kalau Ajeng?” ucapku
“Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah....” dia menghela nafas panjang, menatap langit warung makan, kemudian memandangku dengan tatapan serius
“Ar, boleh aku jujur sama ente?” ucapnya, dan aku hanya mengangguk
“Ane tidak pernah mencintai ajeng, ane memacarinya karena ane ingin mendekati teman kosnya, hanya itu saja, dan sekarang dia mau menikah, bebaslah ane he he he” ucapnya membuat aku emosi
“Terserah ente mau bilang apa atau mau menghardiku bahkan menghajarku, jujur Ar, ane tidak punya perasaan apapun, semua yang ane katakan ke ente adalah bohong, Dia sebenarnya sukanya sama ente, karena sebelum jadian sama ane dia curhatnya tentang kamu terus, ya ane manfaatin buat ngedeketin teman kosnya, lagian dia ceweknya kurang asyik ndak mau tak sentuh, kasihan dong dedek-ku” jelasnya yang membuat darahku mendidih, mendengar penjelasannya seakan-akan aku melhat Om Nico dalam dirinya. Sesorang yang hanya ingin kesenangan saja.
“Tega kamu...” ucapku pelan
“Ane tidak ingin melanjutkannya lagi Ar, terserah pandangan ente terhadap ane apa, dan ane minta maaf karena ane memanfaatkan cewek yang seharusnya menjadi pacar kamu” ucapnya sambil menyulut Dunhill. Aku hanya tertunduk, kuraih bungkus rokok dunhill milik Rahman dan kusulut sebatang. Perasaanku semakin galau dengan semua yang terjadi, ingin aku menghajar orang didepanku ini tapi dia sahabatku. Di sisi lain aku juga telah menikmati tubuh Ibunya walau bukan aku yang menginginkannya tapi tetap saja aku menusuknya dari belakang. Kupandang wajahnya seakan-akan sudah tidak peduli lagi dengan ajeng, mungkin telah terjadi peterngakaran diantara mereka.
“Aku pulang...” ucapku pelan kepada Rahman, segera aku membayar makananku dan melangkah melewatinya yang sedang duduk
“Maafkan ane Ar, bukan maksudku mempermainkannya, tapi....” ucapnya ketika aku melangkah didepannya dan berhenti sejenak, kembali mengambil rokoknya dan kusulut sebatang lagi
“dia sendiri yang memintanya agar dia bisa dekat denganmu, tak ada perasaan antara ane dan dia, sama sekali tidak ada, semua yang aku katakan kepadamu adalah bohong mengenai persetubuhan-persetubuhan dengannya”
“Ane sempat jatuh cinta kepada Ajeng, tapi sisi kerasnya yang selalu menginginkanmu yang membuat ane menyerah Ar, hingga aku akhirnya memutuskan untuk bermain-main dengannya, terkadang aku juga bermain cinta dihadapannya dengan teman kosnya, karena aku sangat cemburu kepadamu Ar dan kecewa dengan ajeng” jelas Rahman membuat mataku terbelalak dan memandangnya, sedikit ada rasa sesal dalam hatiku
“Sejak Ajeng memutuskan untuk menikah dan meninggalkan ane dengan alasan ane tidak serius, ane menyetujuinya karena pada saat itu adalah saat ane sudah merasa muak dengannya. Tentang semuanya, tentang dia dan juga cinta dia kepada ente. Ane benar-benar muak. Jika ente ingin dia kembali disini, hanya ente yang bisa menghentikan pernikahan itu dan ane tidak akan mengganggu kalian berdua” jelas Rahman, dalam berdiriku aku menatap Rahman
“Aku sudah bertemu dengannya...” ucapku, rahman hanya tertunduk dan tersenyum melihat layar sematponnya
“Aku tidak bisa...” ucapku pelan
“Kenapa?” ucap Rahman
“Karena cinta tidak bisa dipaksakan, dan pernikahan adalah hal yang sakral” ucapku pelan
“Sudah ane duga ente akan menolaknya, karena ane ente Bro... ente bukan orang yang mudah jatuh cinta dan mudah menerima, you are too hard to understand” ucap rahman
“Sekalipun pernikahan itu tidak dilangsungkan apakah ente tetap pada pendirianmu?” lanjut Rahman
“Aku tidak ingin membohongi perasaanya, percuma aku dengan dia jika hanya tubuh ini yang mau menerimanya tapi hati menolaknya” ucapku. Hening sesaat antara aku dan Rahman
“Apakah ente mau memaafkan ane? Semua ini tak akan terjadi jika saja ane tidak memanfaatkannya” ucap Rahman
“Kamu tidak memanfaatkannya, nyatanya kamu jatuh cinta padanya walau pada akhirnya dia tidak mencintaimu, semua ini terjadi juga karena kesalahanku juga, aku juga tidak jujur pada diriku sendiri ketika kamu mengatakan kepadaku akan mengejarnya, di saat itu aku sebenarnya menyukainya tapi sekarang sudah ada yang mengisi hatiku” jelasku
“Haaaaaaaaaaah... hmmmm...” dilemparnya pandangannya keluar warung, melihat motor-motor yang berlalu-lalang
“terima kasih... ane bersyukur memiliki sahabat seperti ente Ar” ucap Rahman
“Sama-sama aku juga bersyukur” balasku
Tossss.... suara tos dari kedua tangan kami. ya mungkin adalah sebuah kesalahan ketika aku mundur dan Rahman maju untuk mendapatkan Ajeng. Itu semua terjadi karena ketidak terbukaanya aku terhadap Rahman juga sebaliknya. Memang dalam persahabatan selalu ada masalah, tapi semua bisa diatasi jika saja selalu ada keterbukaan antar keduanya. Mungkin ini adalah pembelajaran bagiku dan Rahman. Akhirnya kami berppisah dan aku menuju jalan pulang ke rumahku. Sebelum berpisah rahman mengatakan kepadaku bahwa dia memiliki sebuah masalah yang besar, namun dia enggan untuk menceritakannya kepadaku untuk sementara ini. Akhirnya aku sampai di rumah dengan perasaan yang sangat lelah. Ibu menyambutku ramah, dan senyuman inilah yang sampai sekarang memiliki bius di hatiku.
“Capek sayang?” ucap Ibu, aku hanya mengangguk
“Istirahat dulu saja ya, dan kamu harus cerita kepada Ibu, tuh dikepala kamu banyak tulisan-tulisan yang belum diterjemahkan hi hi hi” ucap Ibu
“Ah Ibu bisa saja, Arya Istirahat dulu ya Bu” ucapku kemudian melangkah naik ke kamarku
Ingin sekali aku bercerita kepada Ibu, karena hanya dia yang dapat menjadi tempat curhatku selama ini. Namun dengan keberadaan Ayah yang ada dirumah membuatku tak bisa berlama-lama dengan Ibu. Dengan segala kegelisahan dalam pikiranku, Aku merebahkan tubuhkudi kasur empukku, kubuka sematponku ada notifikasi BBM yang belum aku buka. Bu Dian. Dan kubalas secukupnya saja.
“Tidak, bisa! Kita harus segera menemukan orang itu! Dia sudah mengambil banyak!” Bentak Ayah kepada seseorang yang berada di telepon cerdasnya sambil berjalan ke arah pekarangan rumah. Dalam hatiku aku berharap tidak ada keterangan mengenai si pengambil uang tabungannya. Kualihkan pandanganku ke bawah, kulihat Ibu yang berada di depan TV kemudian menatap kearah pintu kamarku, dia tersenyum dan kemudian bangkit menuju ke kamarku, masuk dan menutup pintu.
“Sssst... biarkan dia teriak-teriak paling sebentar lagi dia tidur” ucap Ibuku dalam posisi kedua tangannya berada di bahuku
“Beneran Bu..” ucapku yang kemudian dibalasnya dengan anggukan manja. Ku majukan bibirku tapi Ibu menghindarinya
“Cerita dulu...” ucap Ibuku, kemudian aku dan Ibu duduk di pinggiran ranjang, dan Ibu duduk didepanku smabil kupeluk. Ini adalah momen terindah yang aku inginkan, bisa memeluknya dan menceritakan keluh kesahku. Kuceritakan semua yang terjadi di hari ini dari bimbingan dengan Bu Dian, perkataan Bu Erna dan percakapan dengan Rahman. Dengan manjanya Ibu menyandarkan tubuhnya di tubuhku sambil mendengarkan ceritaku
“Sudah tenang saja sayangku, everything’s gonna be okay” ucap Ibuku dengan senyumannya. Senyumannya membuat aku menjadi lebih tenang.
“Nimas!” teriak Ayah dari lantai bawah
“Iya, sebentar...” teriak Ibu dari dalam kamarku, Ibu kemudian keluar menemui Ayah. Sebelum Ibu keluar dengan bahasa tubuhnya dia melarangku untuk keluar dari kamar. Aku tidak tahu menahu apa yang dilakukan Ibu dibawah sana, sedikit aku intip dari pintu kamarku. Ibu hanya melakukan kegiatan Ibu Rumah Tangga biasa saja.
Malam semakin larut, Ayah kemudian berada di teras depan rumah, merokok dan menelepon temannya. Mungkin itu adalah telepon penting dari temannya aku tidak tahu. Ibu menarikku untuk duduk bersamaya di depan TV.
“Itulah Romomu...”
“Dia tidak ingin Ibu terlalu dekat denganmu, karena waktu itu sewaktu kamu pergi dan tak ada kabar. Dia itu keceplosan kalau dia tidak ingin masa lalunya terungkap, ya ketika memperkosa Ibu itu. Karena sejujurnya Dia itu takut kepadamu, sejak kejadian malam itu, ketika kamu menolong Ibu dari teman Romomu. Padahal kamu sudah tahu semuanya hi hi hi” jelas Ibu, walau dalam situasi apapun Ibu selalu mencoba untuk tenang
“Dia tahu tidak bu mengenai gerakanku?” tanyaku
“Tidak, sama sekali tidak, dia hanya kebingungan mengenai telepon KS dan uang dalam bank-nya hilang begitu saja. Dia sudah menghubungi pihak bank untuk menemukan pelaku, tapi yang didapat dari kamera CCTV tidak jelas, katanya orang itu tinggi dan kulitnya hitam, rambutnya gondrong” jelas Ibuku
“fyuuuuuuuuuuuuhh... syukurlah klaau begitu” ucapku, Ibuku hanya menatapku dengan senyuman. Dikecupnya bibir ku sebentar
“Maafin Ibu ya, belum bisa hi hi hi sabar ya sayang paling sebentar lagi dia pergi” ucap Ibu sambil meletakan kepalanya di bahu kananku. Kurangkul bahu kanan Ibu dengan kedua tanganku dan kudekap lembut. Dalam diam kami berpelukan, hingga suara pintu terbuka membuat kami berpisah. Aku kembali ke dalam kamarku.
Kunyalakan komputer kamarku dan ku kerjakan proposal Tugas Akhirku. Sambil mengerjakan proposal TA, aku juga membuka email Om Nico tapi tak ada pesan masuk ke dalam emailnya. Tak lupa aku mengirim BBM ke Bu Dian sekedar menanyakan kabar dan mencoba untuk memberikan perhatian kepadanya. Aku masih berharap untuk bisa jalan dengannya. Jam berdetak menunjukan waktu semakin malam hingga akhirnya aku menyudahi membuat proposal, mencoba menyambut esok pagi.
Pagi kembali beraksi dihadapanku, kini kuliah dimulai jam setengah sembilan pagi. Aku berangkat dengan sedikit berat hati karena hari ini Ayahku juga berangkat bersamaan denganku, sehingga tak ada kecupan dibibirku. Ku percepat laju motorku hingga kampus agar lepas penat ini. Ku temui beberapa temanku dan juga Rahman yang sudah berada didalam kelas. Pandangan matanya tampak sedikit kosong dan pikiranku selalu kembali ke Ajeng, mungkin Rahman ingin kembali ke Ajeng, hanya itu yang selalu dalam pikiranku.
“Kang, ada apa to?” ucapku
“Ah... bikin kaget saja ente itu” ucap Rahman
“Lha kamu kaya orang hilang ingatan gitu kok” ucapku
“Arghhh... bingung ane mau cerita sama ente, kapan-kapanlah, kalau ane sudah siap ane akan cerita ma ente” ucap Rahman
Tiba-tiba seorang Dosen Pria masuk ke dalam kelasku, ucapan salam dibalas serentak oleh kami semua. Pria bertubuh yang tingginya sama denganku, dan kulitnya lebih putih dari kulitku ya karena mungkin aku terlalu banyak kepanasan jadi kulitku tambah sedikit gelap. Semua mahasiswi dalam kelasku terpukau bahkan ada beberapa dari mereka yang memandangnya seperti memandang Artis Korea.
“Perkenalkan nama saya Felix, saya Dosen lama di kampus kalian, hanya saja selama tiga tahun ini saya melanjutkan S3 di luar negeri, jadi tidak pernah bertemu kalian” ucap Dosen tersebut, Felix namanya
“Ada yang mau ditanyakan?” ucap pak felix, sambil tersenyum dan menyapu ruang kelas
“Pak Felix? Sudah punya pacar?” tanya mahasiswi temanku
“Hmmm... bagaimana ya? Bisa punya bisa belum” jawab pak felix
“Belum saja pak, kita mau lho jadi pacar bapak he he he” jawab seorang mahasiswi lainnya, kemudian gelak tawa dari kami semua meramaikan suasana kelas
“GAK LEPEL KALI AMA KAMU!” Teriak teman mahasiswaku
“KAMU KALI YANG GAK LEPEL SAMA KITA!” teriak seorang mahasiswi lainya, diikuti gelak tawa para mahasiswi
“Sudah... sudah... kita lanjutkan tanya jawabnya ya, jangan yang terlalu personal” tenang pak felix
Perkenalan itu berlangsung cukup lama karena para mahasiswi selalu bertanya-tanya mengenai hal-hal yang tidak penting untuk dijawab. Dan para mahasiswa dikelasku selalu menimpalinya dengan hal-hal konyol. Aku sendiri tidak tertarik, lebih cenderung diam di dalam kelas mengamati setiap tingkah laku dari teman-temanku. Perkuliahan selesai tanpa adanya mata kuliah yang diajarkan dari pak Felix itu. Seperti biasa aku ajak Rahman untuk nongkrong di warung, tapi kali ini dia menolaknya. Aku mulai curiga kalau dia mengetahui sesuatu tentang aku, Ibunya, ataupun Ayahnya.
Sebulan bulan awal Semester enam ini kehidupanku berjalan sangat monton, tak ada yang spesial di dalamnya. Aku hanya menanti Dua orang sahabatku dari Geng Koplak pulang dari kesibukannya, ya selain mereka bersembilan sewaktu berada di cafe, masih ada 3 orang lagi yang disebutkan oleh Karyo masih membantu mama-mamanya. Udin alias Unik Dan Intelektual Ndase (Kepalanya), Si Andri Alias Anak mandiri dan yang terakhir adalah Hermawan alias Hebat Rupawan Manis dan menaWan. Dua yang terakhir sering sekali keluar kota untuk membantu Ibunya membeli dagangan yang akan dijual, karena diluar kota harganya lebih murah. Dan biasanya mereka akan sedikit longgar dibulan ke 5 dan ke 6. Pertemuan ini adalah yang pertama kalinya sejak kami semua lulus kuliah, kadang aku bertemu dengan mereka tapi hanya beberapa.
Rumah yang seharusnya menjadi sebuah tempat dimana seorang anak berkumpul dan berbagi kebahagiaan tidak aku rasakan sama sekali. Ayah masih sibuk dengan pekerjaanya, entah pekerjaan seperti apa yang dilakukannya, ingin sekali aku mengakhiri karirnya namun untuk saat ini sangat tidak mungkin. Ibu menjaga jarak denganku karena Ayah berada dirumah. Aku bersikap sangat patuh kepada Ayahnya dan juga Ibunya.
Perkuliahanku di hari-hari berikutnya dapat aku ikuti dengan baik. Selama satu bulan aku selalu ber-BBM ria dengan Bu Dian, ya mencoba untuk lebih dekat lagi dengan bu Dian. Selama itu pula aku belum bisa menemuinya untuk melangsungkan bimbingan dikarenakan Bu Dian memiliki kesibukan lain. Kelas yang diajarnya pun digantikan oleh dosen lain yang satu tim dalam mengajar mata kuliahnya. Aku jatuh hati kepada Bu dian? Bisa jadi, walau dalam hatiku aku masih terlalu sayang terhadap Ibu, tetapi ketika melihat wajah dan senyuman Ibu serta dorongan agar mencari wanita lain, aku kembali bersemangat. Ya sebenarnya hubungan ini memang salah tapi aku masih belum bisa benar-benar melepas Ibu. Lamanya aku tidak bertemu Bu Dian akhirnya aku sedikit memberanikan diriku untuk meneleponnya.
“Halo..”
“Halo Mbak, selamat Malam, ganggu tidak ya mbak?”
“Tidak Ar, ada apa tumben kamu telepon aku?”
“E....” (Aduh sialan kenapa juga telepon, mau apa coba aku)
“Ar... Halooo... kamu masih disitu?”
“Masih... masih mbak...”
“Kok malah bengong, kasihan yang ditelepon dong kalau kamu diem saja?”
“E... E... begini bu besok malam minggumbak ada acara tidak?”
“Ada...”
“Owh...”
“Ada acara kalau kamu ngajak aku keluar”
“Eh... maksudnya Mbak?”
“Ya ada acara kalau kamu ngajak keluar, tapi ya ndak ada acara kalau kamu nggak ngajak kemana-mana”
“Eh... iya bu eh mbak... jadi bisa kan mbak?”
“Bisa apanya?”
“E... kalau aku ajak keluar malam minggu, gitu maksudku? He he”
“Iya bisa”
Percakapan hangat antara kami masih berlangsung, aku dengarkan suara indahnya mengenai cerita-cerita pendek mengenai dirinya. Aku pun sedikit bercerita tentang diriku walau sebenarnya dia sudah pernah aku ceritakan. Akhirnya mencapai pada titik akhir percakapan dan kami mengakhirinya. Aku berharap malam ini dapat berlangsung dengan cukup cepat agar malam minggu segera hadir.
Malam minggu telah datang, malam yang aku tunggu-tunggu telah hadir. Kini aku telah di depan rumah Bu Dian, setelah sore tadi jam 14:00 aku berpamitan kepada Ayah dan Ibuku. Ibuku berpesan agar aku bersikap lebih jantan kepada Bu Dian. Aku datang lebih awal karena ingin membawa Bu Dian jalan-jalan dan menunjukan suatu tempat yang indah kepadanya. Lama aku menunggu akhirnya keluar juga seorang wanita yang mulai mengisi hati ini, dihadapan pintu gerbang rumahnya dia berdiri dan tersenyum manis kepadaku. Mengenakan Kaos putih longgar dan celana jeans hitam pensilnya serta sepatu karet berwarna putihnya. Memang wanita ini sungguh cantik sekali. Di hari sabtu sore ini aku ajak Bu Dian makan bersama di warung emperan, maklumlah aku ingin mentraktir Bu Dian dengan menggunakan uangku sendiri. Setelah makan bu Dian aku ajak ke tempat dimana aku dan Ibu pernah berduaan disana, di sebuah taman pinggiran bukit. Suasana masih ramai dengan pasangan muda mudi di sini. Hingga akhirnya aku mendapatkan tempat yang sama seperti yang aku tempati ketika aku ke tempat ini bersama Ibu. Kubelikan minuman pukari suwet dan aku duduk disebelahnya. Kami mulai mengobrol sedikit banyak mengenai perkulihan atau hal lain yag sekiranya bisa mencairkan suasana.
“Em... mbak, kok ndak pernah kelihatan mengajar?” tanyaku
“Ada urusan Ar”
“Kamu sudah sering kesini Ar?” Lanjut Bu Dian, mengalihkan tema pembicaraan
“Baru sekali mbak, dan kedua kali ini bersama mbak, mbak belum tahu tempat ini ya?” ucapku
“Belum, baru kali ini sama kamu. Yang pertama sama siapa Ar?” ucapnya dengan senyum manis
“Sama Ibu, waktu itu Ibu minta diajak jalan-jalan mbak” ucapku
“baik banget kamu sama ibu kamu ar” ucap Bu Dian
“kan anak satu-satunya mbak jadi ya apa permintaan Ibu aku turuti he he he” ucapku, kulihat wajah manisnya memandang rembulan sabit yang menggantung di langit. Mata indahnya seakan-akan menjadi cermin rembulan sabit tersebut. Tiba-tiba sebuah pesan di sematponnya masuk dengan bunyi notifikasi standarnya. Kupandangi wajahnya ketika membaca pesan tersebut. Setelah itu wajahnya menjadi seperti orang terkejut yang penuh kebimbangan.
“Mbak, apakah ada yang mbak pikirkan?” ucapku kepada Bu Dian
“Tidak, tidak ada” ucap Bu Dian
“Ada apa mbak? Mungkin Arya bisa bantu?” ucapku
“Tidak ada Ar, sudahlah jangan kamu tanyakan lagi” ucapnya.
“Ya, aku mungkin tidak begitu tahu masalah perempuan mbak, tapi kadang aku bisa kasih solusi mbak he he he” ucapku sedikit menghibur. Raut mukanya penuh kebimbangan kaki kananya yang ditumpuk di atas kaki kirinya terus bergoyang-goyang yang menandakan agar cepat bisa mengakhiri kebersamaan kami
“Mungkin sebaiknya kamu antar aku pulang sekarang” ucap Bu Dian. Dalam kebisuan aku mengantar Bu Dian pulang kerumahnya. Dia memelukku erat, dari dibelakangku. Wajahnya dibenamkannya di punggungku. Perjalanan aku percepat sesuai dengan keinginan Bu Dian. Sampailah aku di depan rumahnya, Bu Dian kemudian turun dari motor dan tersenyum penuh paksaan kepadaku. Kulepas Helmku untuk melihatnya.
“Terima kasih buat malam ini Ar... cup....” ucapnya sembari memberikan kecupan pada pipiku.
“Sama-sama mbak, terima kasih juga” ucapku. Kecupan kali ini terasa berbeda, ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bu Dian. Dia kemudian masuk kedalam rumahnya tanpa melihatku sama sekali. Dengan rasa kegundahan aku kemudian pulang. Dalam perjalanan pulang dan masih didalam kawasan Perumahan ELITE, aku berpapasan dengan sebuah mobil yang berad di seberang median jalan. Tampak mobil itu aku kenal tapi aku lupa dimana aku pernah melihatnya, masa bodohlah. Ahhh... Satu bulan yang lalu aku pulang dengan hati yang sumringah tapi hari ini, kurang lebih satu bulan setelahnya aku pulang dengan perasaan tidak menentu. Aku sampai dirumah dengan disambut oleh Ibu, dan Ibu seakan-akan tahu apa yang aku rasakan. Ibu tersenyum dan memberikan kecupan pada bibirku. Dan menagantarkan aku ke dalam kamar lalu meninggalkan aku sendiri, ya karena Ayah ada dirumah.
Di hari minggu siang aku mencoba menghubungi Bu Dian, karena proposal Tugas Akhirku sudah selesai aku rapikan dan kuperbaiki serta aku berikan beberapa tambahan. Akhirnya aku menelepon Bu Dian. Tuuuuuuuuuut tuuuuuuuuuuuut cklek telepon diangkat.
“Ya Halo”
“Selamat malam mbak, maaf mengganggu”
“Iya, Ar ada apa?”
“Emm... kapan ya mbak bisa bimbingan lagi?”
“Besok senin ya, emm... maaf Ar, aku sedang ada perlu bisa dilanjut lain waktu tidak teleponnya”
“Eh... bisa-bisa mbak, terima kasih mbak”
“Ya sama-sama” tuuuuuuut
Benar-benar sesuatu yang bertolak belakang dengan kejadian hari minggu yang telah lalu. Aku mencoba menerawang ingatanku kembali ke hari minggu itu, senyum dan sapanya masih sama ketika aku memandangnya di hari senin kemarin. Tapi setelah satu bulan lamanya Bu Dian tampak berbeda. Adakah yang salah denganku? Dari pertama kali bimbingan itu sikapnya masih wajar-wajar saja, tapi setelah itu untuk membalas pesan BBM-ku saja lama sekali padahal sebelum-sebelumnya aku tidak perlu menunggu lama untuk balasan BBM-ku. Apalagi setelah malam minggu ini, sikap dia seperti acuh kepadaku. Haruskah aku membuang perasaan ini? Ibu pasti akan marah karena Ibu sudah terlanjur suka kepada Bu Dian, tapi aku harus tetap realistis. Walau kemungkinannya sangat kecil aku tetap mengirimkan pesan penuh perhatian kepada Bu Dian walau tidak berbalas.
Hari berganti dengan cepat tanpa ada yang dapat aku lakukan di dalam rumah. Email Om Nico, Sematpon KS-pun tidak ada yang menarik. Mungkin semua ini berjalan agar aku bisa lebih fokus pada satu permasalahan, yaitu Bu Dian. Setelah kuliah dengan Bu Erna, aku kemudian menuju ke gedung jurusan untuk menemui Bu Dian.
Glodak... Glodak.. Glodak.. Glodak.. Glodak.. Gubrak. Ringtone telepon. Bu Dian dan kuangkat.
“Saya ada didepan gedung jurusan kamu turun saja untuk bimbingan” tuuuuuuuuuuuut
“Ada apa dengan Bu Dian?” bathinku. Aku kemudian langsung turun kebawah menuju tempat Bu Dian berada. Dia sedang berdiri di depan gedung jurusan.
“Mana?” ucap Bu Dian
“Ini Bu” ucapku sembari menyerahkan proposalnya. Dan langsung ditanda tanganinya.
“Kamu langsung urus semua kebutuhan kamu di laboratorium, buat surat ijin penelitian yang mengatas namakan saya dan segera memulai penelitian”
“Saya ada janji, kapan-kapan saya akan jenguk kamu di laboratorium” ucap Bu dian. Singkat padat, jelas dan akurat tanpa memberiku kesempatan untuk berbicara dia langsung pergi meninggalkan aku berdiri di sini sendiri.Ku tatap kepergiannya hingga masuk ke mobil fortune-nya dan menghilang.
“Ada yang berbeda dengan kamu mbak? Sangat berbeda, mungkin kamu malu jika bersama denganku, entah apa yang ada di hatimu aku tak akan pernah tahu” bathinku
Dihari berikutnya semua kelengkapan pengurusan ijin penelitan di laboratorium telah aku selesaikan. Penelitian aku lakukan atas nama Bu Dian karena pada semester enam biasanya mahasiswa belum diperbolehkan melakukan penelitian, diperbolehkan melakukan penelitian biasanya di semester 7. Mulai minggu depan aku akan langsung melakukan penelitian sesuai dengan proposal Tugas Akhirku.
Hampir dua bulan lamanya aku melakukan penelitian di dalam laboratorium untuk mendapatkan hasil. Penelitian aku mulai setelah jam kuliah selesai. DI awal peneletian aku masih bisa pulang lebih awal atau paling tidak pulang pada sore hari menjelang maghrib karena di langkah awal penelitianku hanya berisi preparasi sampel yang tidak memakan waktu yang lama. Sampai pada pertengahan penelitianku memakan waktu lebih lama, karena untuk sekali running proess paling tidak memerlukan waktu hingga malam hari. Ibu mendukungku penuh untuk segera menyelesaikan penelitianku agar setelah lulus nanti harapan Ibu aku melanjutkan S2.
Dalam masa penelitianku tak lupa setiap harinya aku selalu mengirimkan BBM kadang juga SMS ke Bu Dian yang berisi kata-kata bijak, kata motivasi dan perhatian untuk tidak lupa makan atau apapun itu. Tapi seseringnya aku mengirim pesan sesering itu pula tak ada balasan darinya walau terkadang aku mendapatkan balasan hanya sepatah dua patah kata.
Rahman? semakin hari dia semakin linglung dengan keadaanya, tak pernah mencoba untuk bercerita kepadaku. Ibu, menjadi sangat jarang berkumpul denganku walau hanya sekedar bercekap-cakap. Semua nampak semakin jauh dariku, entah karena kesibukanku atau karena kesalahan-kesalahan yang aku buat. Intensitas pertemuanku dengan Ibu dan Bu Dian berkurang, karena beberapa bulan ini Ayah selalu berada dirumah lebih awal sedangkan Bu Dian yang sudah berjanji untuk menjengukku pun tak kunjung datang. Di hari itu aku sedang menunggu proses yang kurang lebihnya harus aku tunggui hingga malam hari, tepatnya di hari kamis malam jumat.
Pada hari minggu kuturut ayah kekota naik delman istimewa kududuk dimuka. Ringotne telepon. Wongso.
“Woi wong, ada apa?”
“Besok malam minggu kumpul, ada sesuatu yang penting untuk dibahas”
“Oke aku bisa, memange ada apa Wong?”
“ini mengenai sesuatu yang penting dan kamu harus datang tepat waktu”
“iya iya, serius amat, amat saja gak serius, dimana?”
“kamu ke warungku dulu oke?”
“Siiip...”
Sedikit obrolan dengan wongso dan wongso mengakhirinya. Ketemu dengan teman-teman pastinya mereka pada mengajak para kekasihnya, mungkin aku bisa mengajak Bu Dian untuk kumpul bersamaku. Aku kemudian menelepon Bu Dian.
Tuuuuuuuuuuuuut.... tuuuuuuuuuuuuuuuuut.... ceklek
“Halo ar ada apa?”
“Eh... mbak, kok ndak jenguk aku di lab?”
“Aku lagi sibuk, banyak janji, pokoknya aku percaya saja sama kamu, gitu ya?”
“Iya mbak, emmm....”
“Ada apa Ar? Jika sudah tidak ada lagi, dilanjut kapan-kapan saja”
“Bentar-bentar mbak, ini aku mau mengajak mbak besok malam minggu kumpul sama temen-temenku yang kemarin itu nolong kita di cafe, bisa ndak mbak?”
“maaf ndak bisa, dah dulu ya aku lagi ada janji dengan seseorang. Maaf”
“sebentar mbak jangan ditutup dulu”
“iya ada apa? Aku itu lagi ketemu seseorang, tahu ndak sich!” (sedikit membentak)
“Maaf mbak, aku hanya ingin minta maaf mbak, karena mbak tidak seperti biasanya lagi, tampak berbeda”
“Terus aku harus bagaimana? Memohon maaf gitu sama kamu, ingat kamu itu mahasiswaku”
“iya mbak saya tahu, bukan maksud saya seperti yang mbak katakan, hanya saja aku Cuma ingin minta maaf kepada mbak, itu saja, Aku mohon mbak jangan marah”
“iya iya... Sudah kan?” tuuuuuuuuuuuuuuuut
Kecewa sangat kecewa, kenapa dia begitu kaku dan dingin kepadaku akhir-akhir ini? Dia yang memilihku menjadi mahasiswa bimbingannya jika ada akhirnya aku di cueki seperti ini? mending dengan dosen lain yang sekiranya bisa aku ajak bercengkrama. Mungkin memang benar jika ini semua hanya halusinasiku tentang dia menyukaiku.
Keesokan harinya pada hari jumat, aku tidak mengikuti kuliah tetapi sebelumnya aku meminta izin kepada dosen untuk meneruskan penelitianku karena akan memakan waktu yang sangat lama. Sebelum aku memulai penelitianku kembali di laboratorium aku menyempatkan diriku untuk kejurusan menemui Bu Dian, jujur saja aku merasa bersalah kepadanya. Gedung Jurusan nampak sepi dari mahasiswa dan juga dosen, hanya ada beberapa mahasiswa semester ataskku yang sedang menunggu dosbingnya. Kulangkahkan kakiku hingga didepan pintu masuk ruangan Budian dan Bu Erna yang terbuat dari kaca yang buram. Kudengar percakapan diantara keduanya.
“Eh, Yan, gimana Arya? Ditembak aja ganteng lho” ucap Bu Erna samar-samar tapi terdengar
“Kalau mbak mau ambil saja hi hi hi masa Dosen pacaran sama mahasiswanya, ya ndak level dong” balas Bu Dian
“Eh... eh... eh... jangan bilang gitu kualat lho nanti kamu” balas Bu Erna
“Eh jangan nyumpahin gitu dong” ucap Bu Dian. Tiba-tiba nada dering telepon berbunyi dari dalam ruangan tersebut.
“Bentar mbak ada telepon” ucap Bu Dian. Kulihat bayangan Bu Dian bangkit dari tempat duduknya dan menuju ke pintu. Aku pun segera melangkah menuju pintu samping (bukan pintu utama) gedung jurusan. Kleeeeeeeeeeeek...
“Halo sayang, ada apa?” ucap Bu Dian. Kudengar jelas perkataan itu dari mulut Bu Dian yang berada dibelakangku, aku tetap melangkah tanpa mempedulikannya
“Arya?!”
“Arya tunggu” teriak Bu Dian. Aku hanya berbalik dan tersenyum sambil membungkukan badanku kepada Bu Dian lalu melanjutkan langkahku kembali
“Nanti dilanjutkan lagi” ucap Bu Dian menutup teleponnya.
“Aryaaaa, tunggu sebentar” teriak Bu Dian lagi, aku berhenti dan melihat Bu Dian
“Bukannya kamu ada jam kuliah sekarang? Kenapa di Jurusan?” ucap Bu Dian
“Mohon maaf Bu, saya mohon izin untuk melanjutkan penelitian di Lab” ucapku tanpa menjawab pertanyaan dari Bu Dian, dan langsung kembali melangkah
“Tunggu sebentar! Saya ini sedang berbicara dengan kamu” ucap Bu Dian
“Sebenarnya saya hanya ingin memberikan laporan penelitian saja selama dua bulan ini bu, tapi kelihatannya Ibu sibuk jadi saya berniat melanjutkan penelitian dulu baru minggu depan akan saya laporkan setelah kuliah” ucapku dengan senyuman untuk menutupi kekecewaanku
“Ja.. jadi kamu sudah disini dari tadi?” ucap Bu Dian
“Baru saja kok Bu he he he” ucapku dengan senyum cengengesanku dan menggaruk-garuk kepala bagian belakangku
“Saya mohon undur diri dulu Bu, mohon doanya agar penelitian saya cepat selesai dan lekas lulus dari universitas” ucapku tersenyum dengan membungkukan badan, kemudian melangkah meninggalkan Bu Dian
“kamu mendengarnya?” ucap Bu Dian tiba-tiba
“Saya tidak mendengar percakapan Ibu, beneran kok bu saya tidak mendengarnya sama sekali” ucapku yang kembali menghadap kembali ke Bu Dian. Aku sudah tidak bisa melihat apa yang ada diwajahnya, sedikit sakit
“Berarti kamu mendengarnya dan saya har...” ucap Bu Dian
“Maaf Bu Boleh saya melanjutkan penelitian saya? Saya hanya seorang mahasiswa yang berusaha untuk cepat lulus dan meninggalkan universitas ini untuk menempuh hidup baru sebagai seorang pekerja diluar sana” ucapku, aku kemudian melangkah meninggalkan Bu Dian. Tak ada sepatah katapun dari Bu Dian.
“Ya aku hanya mahasiswa dan dia adalah seorang Dosen” bathinku.
Aku kembali ke peradabanku di laboratorium tempat aku melakukan penelitian. Baru saja aku menjalankan proses, semua tampak begitu suram, aku sudah tidak dapat berpikir jernih. Otakku hanya berputar-putar pada perkataan Bu Dian dan Bu Erna. Tiga jam terlewati begitu saja menjalankan proses, Aku hanya bisa meletakan kepalaku di atas tumpukan tanganku yang berada dimeja. Kuberesi semua peralatanku dan kumasukan ke dalam almari, aku mengakhiri penellitianku kali ini.
“Lho mas, kok sudah selesai? Bukannya penelitiannya masih lama mas?” ucap Pak Laboran
“Minggu depan saja pak, saya mau pamit pulang, badan saya lagi ndak enak” ucapku
“Oh ya sudah, hati-hati dijalan ya mas” ucap Pak Laboran
“Iya pak...” ucapku
Aku keluar dari gedung laboratorium dengan wajah yang muram. Segera aku melangkah menuju ke tempat parkir, ditengah-tengah perjalananku menuju tempat parkir aku bertemu dengannya lagi.
“Lho sudah selesai Ar?” ucap Bu Dian
“Senin saja saya lanjutkan Bu, untuk laporannya mungkin selasa atau rabu bu, mohon maaf” ucapku
“Kamu baik-baik saja?” ucapnya yang mencoba memberikan perhatian kepadaku
“Sangat baik bu, sangat baik “ ucapku yang tersenyum lebar didepannya. Entah kenapa pandangan Bu Dian seakan-akan merasa bersalah kepadaku. Aku melanjutkan langkahku, dan tiba-tiba tangan Bu Dian memgang lengan kananku.
“Tunggu Ar, aku mau bicara” ucap Bu Dian yang berada dibelakangku
“Maaf saya sedang banyak urusan Bu” ucapku tanpa menoleh kebelakang. Segera aku menarik kembali tanganku dengan keras, masa bodoh kalaupun aku tidak lulus karena mengacuhkan dosen pembimbingku, aku tidak peduli lagi. Aku masih bisa meminta ganti dosbing yang lainnya. Aku melangkah menjauhinya, aku sudah tidak mempedulikan lagi apa yang akan terjadi minggu depan.
Sesampainya dirumah, rumah tampak sepi. Kubuka sematponku terdapat sms dari Ibu, Ibu sekarang berada dirumah tante ratna karena tante ratna ditinggal dinas oleh suaminya dan Ibu dimintai tolong untuk menemaninya hingga besok senin. Ayah pun tidak berada dirumah, dari penuturan Ibu Ayah sedang dinas luar kota. Lengkap sudah penderitaan ini, aku sudah mulai muak melihat kampusku lagi. Kurebahkan tubuhku di kamar, serasa malas untuk memecahkan setiap masalah yang hadir dalam hidupku. KS, Mahesa, Nico, Si Buku, Si tukang, Si Aspal, Pak Koco, Tante Warda kulupakan sejenak semua itu. Ting! Bunyi notifikasi BBM-ku.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Malam minggu telah tiba, aku kirimkan pesan ke Ibu kalau aku akan berkumpul dengan sahabat-sahabatku semasa SMA. Setelah mendapatkan izin dari Ibu aku langsung berangkat menuju warung Wongso. Dengan secepat kilat, penuh semangat aku memacu REVIA. Sampailah aku di warung wongso, di sedang menghembuskan asap didepan warungnya.
“Wehhh... tumben datang lebih awal cat?” ucap wongso. Aku kemudian turun dari motroku yang aku parkir didekat motornya lalu aku menuju tempat wongso duduk
“Di rumah ndak ada orang, daripada telat di maki-maki kamu sama yang lain, mending datang awal”
“Minta rokoknya” ucapku
“Nih...”
“Oh ya kita langsung saja ke TKP bagaimana? Anak-anak langsung ke sana”
“Oh ya aku tapi nanti jemput pacarku dulu, lha cewek kamu itu kemana?” lanjutnya
“oh lagi ada urusan ndak bisa kumpul” ucapku
“Wah, dia itu jadi primadona pembicaraan temen-temen kelasku lho Ar” ucap Wongso yang satu fakultas denganku tapi berbeda jurusan
“Alah, ndak usah dibahas lagi, ntar kita ketinggalan wong” ucapku yang langsung menuju ke arah motorku
“Lagi da masalah kamu?” ucap wongso yang berjalan disampingku
“May be Yes, May Be No” ucapku
Aku kemudian mengikuti wongso menuju rumah pacarnya, pacarnya sudah menunggunya didepan rumah. Kemudian aku dan wongso melanjutkan perjalanan menuju tempat berkumpulnya Geng Koplak. Tempat kumpul kami berada di sebuah tempat pusat orang-orang berpacaran dan tempat orang-orang nongkrong, tapi malam ini tampak sepi dikarenakan di alun-alun ada konser musik. Ditempat kami berkumpul, ada sebuah taman berbentuk lingkaran ditengah-tengahnya. Taman berbentuk lingkaran itu berada diantara jajaran pohon-pohon besar yang tertata rapi dihiasi pedagang kaki lima yang masih bertahan berjualan walaupun jumlahnya sedikit (imajinasi bentuk taman –O–, lingkaran adalah taman, strip adalah jajaran pohon).
Tampak beberapa sahabatku sudah berkumpul disana. Aku menghampiri mereka yang sudah berada disana bersama pacar-pacarnya. Salam sapa penuh canda mengiringi pertemuan ini. kemudian beberapa dari kami mulai berdatangan. Satu-persatu mulai berkumpul dan yang terakhir adalah Sudira, lengkap sudah Geng Koplak.
“Lho Ar, cewekmu mana?” ucap Dira sambil berjalan kearah kami dari motornya
“Sedang ada urusan Dir” ucapku kepada Dira
“Asyik Arya, sendirian jadi kita bisa pacaran dong Ar hi hi hi” ucap Dira
“Woi, itu teman sendiri jangan diembat!” kata hermawan, diikuti gelak tawa kami semua
“Eh dir, itu dada kenapa gede sekali, diisi berapa lliter balonnya” ucap Karyo
“E... e... e... enak saja balon, asli tahu!” ucap Dira santai
“masa asli?” ucap parjo
“Ngapusinan! (Suka berbohong)” ucap Joko dan aris bersamaan
“Aku kasih lihat tapi jangan nafsu lho hi hi hi” ucap Dira
“nih...” ucap dira sembari membuka bajunya
“EDAAAAAAAAAAN! Asli!” ucap kami serentak. Langsung pacar-pacar mereka menutupi mata sahabat-sahabatku
“Sudah diberitahu kok ndak percaya, hayo jangan nafsu, kalau nafsu ndak papa sich, nanti Dira kasih dech” ucap dira sembari menutup kembali bajunya
“HUEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEK” ucap kami serentak yang diikuti gelak tawa kami semua
“Dari mana kamu dapat susu asli kaya gitu?” ucapku
“Dari pacarku dong, dia yang nyuruh aku operasi he he he” ucap Dira santai
Canda tawa, sendau gurau dan gaya konyol tercurah semua pada pertemuan ini. ada yang berlagak menggoda Dira, ada yang menceritakan kejahilan masa SMA. Ada juga yang menceritakan tawuran dengan Geng Tato. Benar-benar masa terindahku adalah masa SMA, karena ketika kuliah semua teman-temanku adalah orang-orang serius dan genius.
“Ar, tuku rokok kono (Ar beli rokok sana)” ucap Aris
“Ndi... (mana)” jawabku. Dilemparnya uang itu ke arahku, dan aku membeli rokok di pedagang kaki lima.
Saat aku membeli rokok, melintas seorang wanita yang aku kenal, Bu Dian. Dia berada di seberang tempat kami berkumpul, dia berjalan dari kananku menuju ke arah taman bundar. Aku sedikit bahagia mungkin sja dia bisa aku ajak untuk berkumpul dengan sahabat-sahabatku. Tanpa berpikir panjang aku segera berlari mengendap-endap mendahului Bu Dian, dan bersembunyi di salah satu poho besar didepannya. Ketiak berlari wongso dan pajo memanggilku tapi aku menyilangkan jariku menyilang dibibirku. Segera aku berdiri dan diam dibalik pohon besar itu. Lama aku menunggu tapi Bu Dian tak kunjung datang. Segera aku mengeluarkan kepalaku dari pohon itu dan...
Disebuah tempat kami berkumpul setelah sekian lama kami, Geng koplak, tidak pernah berkumpul. Sebuah taman berbentuk lingkaran dan disamping kanan kirinya berjajar pohon-pohon besar. Aku sedang bersembunyi dengan maksud membuat terkejut wanita yang sedang berjalan itu, Bu Dian. Lama aku menunggu wanita itu tak kunjung datang. Aku keluarkan kepalaku untuk menengok ke arah wanita tersebut.
Jantungku tercekat, mulutku berhenti berdetak, mataku seakan bisu, mulutku seakan tuli, telingaku seakan buta dengan apa yang ada didepan sana. Kulihat Bu Dian dengan dress sedikit ketat dengan lengan baju hanya menutupi sebagian kecil lengannya dihiasi celana jeans pensil ketat berwarna hitam. Dia berdiri dihadapan Seorang laki-laki yang sedang berlutut dihadapanya dengan memegang kedua tanganya. Laki-laki itu tak lain adalah pak Felix dan disamping tempat mereka berdiri ada sebuah mobil yang sewakt itu berpapasan denganku ketika aku mengantar Bu Dian. Ya sekarang aku ingat itu adalah mobil pak felix yang sering aku lihat di tempat parkir Dosen. Keberadaan mereka memang tidak bisa aku lihat dari tempat aku berkumpul karena tertutup pepohon besar. Aku kemudian menarik kepalaku dan bersandar di pohon dengan pandanganku menerawang ke dedaunan.
“Ar... sudahlah” ucap wongso yang menepuk pundakku yang tiba-tiba berada di sampingku. Mungkin dia tahu kenapa apa yang aku lihat.
“hhhaaaaaaaaaaaaaaassssssssssssssssssssh.....” hela nafas panjangku
“Ayo kita kembali” ucap Wongso, sembari membalikan badannya dan menarik bahuku
“Kamu masih ingatkan percakapan kita ketika SMA jika menemui hal seperti ini” ucapku pelan
“Ya mendatanginya, memberikan selamat dan ikut berbahagia di dalamnya”
“Tapi itu tidak perlu kamu lakukan ar...” ucap wongso yang segera aku tinggalkan dia
“Kamu tetap disini” ucapku menyingkirkan tangannya dari bahuku lalu beranjak meninggalkannya
“Hei ar... arggghhhhh” cegah wongso tapi aku sudah melangkah ke arah mereka. Dengan tatapan senyuman ke arah mereka berdua yang belum menyadari aku sedang berjalan ke arah mereka.
“Bu Dian, Pak Felix! Haiiii....” teriakku kepada mereka, membuat mereka terkejut sesaat. Aku berlari kecil kearah mereka.
“Oh Hai...” Ucap Pak Felix, yang kemudian bangkit dari berlututnya
“Ar....ya...” ucap Bu Dian dengan sangat pelan, terlihat wajah kebingungannya
“Wah kok disini bu, pak?” ucap ku, sambil menyalami merek berdua. Tatapan mata Bu Dian terhadapku menjadi tatapan sendu, kemudan dia sedikit membuang mukanya. Pak felix masih sedikit heran dengan kedatanganku
“Kamu?”
“apa kamu mahasiswa kelas saya?” ucap pak felix kepadaku
“Iya pak masa lupa, saya yang hari selasa pukul 08:30 itu lho pak, kelas paling rame waktu pak felix kenalan” ucapku
“Oh iya... iya, yang ramai itu ya”
“Lho kok kamu disini?” ucap Pak felix
“Itu pak, sedang kumpul-kumpul sama sahabat-sahabatku semasa SMA pak, tadi lihat Bu Dian sedang berjalan makanya saya kesini pak” ucapku sambil menunjuk tempat sahabat-sahabatku berkumpul
“Mana? Ndak ada?” ucap pak felix yang celingukan mencoba mencari teman-temanku
“Kalau dari sini kelihatan pak, kalau dari situ ketutup pohon pak” ucapku dengan senyum lebar
“Oh ya pak, sedang apa nih pak, bu? Bu Dian kok Diam saja bu?” ucapku
“Ndak ngapa-ngapain kok Ar” ucap Bu Dian pelan wajahnya masih sedikit shock dengan kehadiranku
“Kamu kenal sama dia sayang?” ucap Pak Felix
“Sayang? Hmmm... benar semua yang aku baca selama ini hanya halusinasi” bathinku dengan wajah tersenyum
“Saya itu mahasiswa bimbingan Bu Dian, Bu Dian itu pinter lho pak, saya saja langsung ditunjuknya untuk menjalankan KTI yang juara satu tapi sedikit modifikasi pak he he he” pujiku kepada Bu Dian dengan senyum selengekan
“Oooooo....” ucap Pak felix
“Kok malah pada bengong Bu, Pak? Wah saya mengganggu ni ya?” ucapku sambil sesekali melirik kearah Bu Dian yang masih nampak kebingungan dengan kehadiranku
“ndak ganggu Ar,santai saja” ucap Pak felix
“Kayaknya kok sedang serius nich, ada yang bisa saya bantu pak , bu?” ucapku
“emmmm.... Ada Ar, Kamu bisa?” ucap Pak felix
“Wooo siap! Untuk Dosen, seorang mahasiswa wajib menuruti pak he he he” ucapku
“Oke kalau begitu kamu tolong saya, rekam saya ya, ini” ucapnya sambil menyerahkan sematpon bergambar durian kroak
“Oke pak siaaaaaaap!” ucapku dengan wajah sumringah
“Direkam? Memangnya mau apa?! Sudah Arya kamu pulang saja!” ucap Bu Dian yang tidak kami berduagubris
Aku berdiri mundur kira-kira 3 meter dari tempat Pak felix dan Bu Dian. Pak felix kemudian berlutut dihadapan Bu Dian dan memegang kedua tanganya.
“Dian, aku ingin kamu menjadi ibu dari anak-anakku, maukah kamu menjadi istriku?” ucap pak felix. Aku hanya tersenyum melihat kejadian itu, walau sakit yang kurasa harus menghadapi wanita yang dengan segala keindahannya sedang dilamar oleh lelaki lain. Bu Dian tampak sedikit ling-lung dalam menjawab kata-kata dari pak felix. Dia kadang-kadang melihat kearahku yang sedang memgang sematpon pak felix.
“Sudah Ar, ndak usah direkam!” ucap bu Dian sedikit membentak
“Ndak papa bu, kan momen indah harus di abadikan, betul gak pak felix?” ucapku
“Benar kata Arya, sayang, kamu fokus saja ke aku” ucap pak felix membenarkan perkataanku
“Eh... Aku... aku...” ucap Bu Dian terbata-bata
“Terima! Terima! Terima! Terima! Terima! Terima!” teriakku dari belakang kamera sematpon. Tampak Bu Dian kaget dengan teriakanku itu, aku hanya mampu berteriak dengan wajah sumringahku. Dengan satu tangan menggenggam sematpon dan satu tanganku memukul langit.
“Ayo dong Bu diterima, Bu Dian dan Pak Felix sudah cocok lho, sama-sama dosen favorit di kampus”
“Ayo terima! Terima! Terima!” teriakku kembali. Pak felix masih dalam posisi berlututnya dan memandang Bu Dian dengan penuh harap. Dengan tiba-tiba pak felix mengeluarkan sebuah kotak, dikeluarkannya sebuah cincin dan dipakaikannya di jari manis Bu Dian. Bu Dian tampak sedikit kaget dengan perlakuan pak felix, nampak dia mencoba menolaknya tapi cincin itu sudah masuk ke jari manisnya.
“Jika kamu menerimaku, pakailah cincin ini selamanya” ucap Pak Felix
“HOREEEEEEEEEEEEEEEEE! CIHAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!” teriakku kegirangan dengan penuh kekecewaan dalam hati
“Arya sudah hentikan rekamannya!”
“Felix tidak seharusnya kamu melakukan ini dihadapan mahasiswa” ucap Bu Dian sedikit membentak kemudian menarik tangannya
“Apapun akan kulakukan demi kamu sayang” ucap pak felix, aku masih tersenyum
“Ibu senyum dong, kan ini momen bahagia Bu Dian masa Bu dian cemberut, Ayo Bu Dian senyum biar kelihatan cantiknya” ucapku, Bu Dian nampak begitu marah dengan ulahku tapi tak bisa diungkapkannya karena ada pak felix dihadapannya
“Sudah, matikan rekamannya! Aku tidak suka felix!” ucap Bu Dian sedikit membentak
“Jangan marah gitu sayang, ntar jadi jelek lho he he he” ucap pak felix
“Iya bu ndak usah marah gitu”
“Pak felix Sudah apa belum?” ucap ku, dan dijawab dengan anggukan oleh pak felix dan acungan jempol. Aku kemudian mematikan kamera pak felix. Dan melangkah kearah mereka.
“Wah selamat ya pak!” ucapku kepada pak felix sambil memeluknya.
“Selamat Bu, wah kalau Bu Dian dipeluk bisa-bisa mata kuliah pak felix dapet E nih aku he he he” ucapku dengan nada bercanda. Aku hanya menyalami Bu Dian dengan wajah dan senyuman ramahku dengan badan sedikit membungkuk. Tampak raut wajah gelisah terlukis di wajahnya.
“Makasih ya Ar..” ucap Pak felix
“Yuhuuuuuuuuuuuuuu... akhirnya aku menjadi saksi cinta pak felix dan Bu Dian, nilainya ditambahi ya pak he he he” ucapku bercanda dengan sedikit berjingkrak di hadapan mereka
“Tak tambahi 0,1 ya ha ha ha” ucap pak felix
“Ya pelit amat pak”
“0,05 deh pak he he he” ucapku bercanda, disambut tawa oleh pak felix. Kulihat Bu Dian,wajahnya masih penuh dengan kebingungan. Tak ada senyuman yang terlukis di wajahnya dan tak ada sedikitpun gurat wajah kebahagiaan. Pak felix masih memandangku dengan tawa, kulihat tatapan mata Bu Dian ada sedikit penyesalan di dalamnya.
“Selamat ya Bu Dian” ucapku, dia semakin nampak linglung dengan sikapku
“Sekali lagi, selamat untuk Bu Dian selaku Dosbing saya dan Pak Felix Selaku Dosen terkeren saya, semoga perjalanan cinta kalian menjadi sebuah sejarah yang tak akan terlupakan oleh Bapak maupun ibu setelah menikah dan mempunyai banyak momongan” ucapku sambil membungkukan badan ala orang jepang
“Makasih banyak Ar...” ucap Pak felix
“Kalau begitu, Pak... Bu... Saya mohon undur diri dulu, mau kumpul-kumpul sama anak-anak” ucapku
“Okay, becareful” ucap pak felix. Aku kemudian melangkah membelakangi mereka berdua.
“Arya!” panggil Bu Dian tapi aku tidak menghiraukannya
“Pak Felix, Bu Dian...” ucapku dan berhentii sejenak membelakangi mereka
“Dua menjadi satu selamanya!” teriakku, dengan mengangkat tanganku membuka dua jari tanganku dan menyatukannya kembali. Aku kemudian menoleh kebelakang dengan senyuman khasku dan kemudian berlari ke arah pohon tempatku bersembunyi. Dan wongso masih disana. Aku sudah tidak tahu apa yang terjadi di belakangku
“Kamu memang lelaki kuat Ar, berbeda denganku” ucap wongso yang ada dihadapanku
“ayo, mereka sudah menunggu” ucapku sambil melewati wongso sambil menepuk bahunya
“Ar, mungkin jika kamu adalah aku, aku mungkin akan memaki mereka berdua” ucap Wongso
“It's okay, to be a little broken, because Everybody's broken in this life”
“it’s just life” ucapku dengan senyuman ke arahnya. Aku dan wongso kemudian kembali ke tempat kami berkumpul. Dengan serentak semua orang yang berada di tempat itu berdiri.
“Kita ke warung wongso saja, cari gratisan” ucap anton
“iya, disini banyak nyamuk” ucap Aris
“Uangku juga sudah habis, ke wongso saja” ucap Udin, semuanya akhirnya beranjak dari tempat duduknya ke arah motor kami. Mereka berjalan melewatiku satu persatu dari mereka menepuk bahuku
“Sudah lah, disini juga ndak apa-apa kan?” ucapku. Tanpa mendengarkan ucapanku mereka semua naik ke motor mereka dan menyalakannya
“Cepet Su!(Cepat njing)” teriak wongso. Aku sudah tidak bisa berkutik lagi dan kami akhirnya pergi dari tempat itu menuju warung wongso. Kami berputar melewati taman dan kemudian lurus melwati tempat Bu Dian dan Pak Felix aku berhenti tepat di depan Bu Dian dan Pak Felix dengan jarak kira-kira 5 meter. Semua motor sahabat-sahabatku berhenti didepanku
“PAK! BU! SELAMAT YA! KALAU NIKAH AKU DIUNDANG LHO!” teriakku sembari mengangkat tanganku dan menggoyangkannya di udara
“Doakan ya!” teriak pak felix. Bu Dian menatapku dengan tatapan kosong ke arahku. Kutarik gas REVIA kembali dan aku melaju melewati sahabat-sahabatku yang kemudian membuntutiku dari belakang.
“Bu Dian... sekarang aku benar-benar sudah mantap dengan keyakinanku, bahwa aku tidak pantas mengharapkanmu apa lagi memilikimu. Kau terlalu indah untuk aku yang kotor ini” bathinku. Motor melaju dengan cepat tanpa mempedulikan mereka yang dibelakangku. Lampu merah aku tabrak tanpa mempedulikan tilang polisi. Dan sampailah aku di warung wongso. Warung tersebut sudah tutup dan dibuka kembali oleh wongso agar kita semua bisa berkumpul di dalam. Satu-persatu dari mereka masuk ke dalam warung dan aku masih di atas motorku. Para pacar sahabat-sahabatku masuk ke dalam rumah wongso.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA” Teriakku keras. Beberapa dari sahabat-sahabatku terlihat menengok ke arahku. Lalu aku masuk dan duduk di bangku yang dekat dengan pintu keluar masuk warung. Aku duduk bersandar dengan pandangan ke jalan di luar warung. Mereka semua terdiam seakan-akan ikut merasakan apa yang aku rasakan.
“Arya, Arya tidak apa-apa?” ucap Dira mencoba memecah kesunyian. Aku menoleh ke arah Dira dengan tatapa tajamku
“takuuuut hiiiiiiiiiiii” ucap dira ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh karyo. Tampak sedikit wajah ketakutan di wajah mereka semua.
“Maaf, maaf, ndak papa bro he he” ucapku. Semua sahabatku seakan tahu apa yang ada dalam pikiranku. Mereka tidak berani memulai pembicaraan dengan keadaanku yang masih labil.
“Oh ya, katanya ada yang penting ada apa bro?” ucapku memecah kesunyian
“Tidak ada ndes, tenang saja, tenangkan pikiranmu dulu” ucap Joko
“Sudahlah, aku tidak apa-apa, ayo segera kita mulai saja. Kadar masalah koyo ngono wae, enteng kanggo aku (hanya masalah seperti itu, ringan buat aku)” ucapku. satu persatu dari mereka semua kemudian memukuli kepalaku. Suasana kemblai menjadi riuh dengan canda tawa kami. Tiba-tiba anton mengeluarkan sebuah kartu identitas dan diberikannya kepadaku. Ku baca bagian atas kartu identitas itu “IN = Intelejen Negara” aku tercekat mana kala aku melihat nama yang tertera dibawahnya adalah nama lengkap Anton
“Eh... apa maksudnya ini? Kamu anggota IN? Ha ha ha” ucapku
“Anton akan menjelaskan semua” jawab wongso
“Aku anggota dari IN, Aku sedang menyelidiki Ayahmu, makanya aku meminta mereka semua berkumpul” ucap Anton
“Eh...” aku terkejut dengan perkataan anton
“Halah, jangan sembarangan mana mungkin kamu anggota IN?” ucapku
“Ar, kamu tahu kan aku pernah membobol beberapa website pemerintah ketika aku SMP? Ketika itu IN mengetahui aku dibalik dalang semua itu. aku di tangkap oleh IN dan karena aku masih SMP aku dilatih oleh mereka untuk menjadi bagian dari mereka. Kamu tahu sendiri kan sewaktu SMA aku paling jarang masuk ke sekolah karena aku dalam masa pelatihan” ucap Anton dan aku hanya menatapnya dengan pandangan kosong
“Setelah lulus SMA, aku kemudian dipekerjakan di bagian jaringan. Hingga kepala divisiku menyuruhku untuk menyelidiki Mahesa Wicaksono. Mereka tahu jika itu adalah Ayah dari sahabatku sendiri jadi daripada nantinya tindakanku menyakiti hati sahabatku sendiri, aku menemui mereka semua terkecuali kamu untuk meyakinkan mereka mengenai misiku. Sebenarnya aku hanya bawahan dari komandan misi ini, tapi aku diperbolehkan oleh komandanku untuk mengikutsertakan kalian tapi bukan sebagai prajurit tetapi pengumpul informasi karena dalam misi ini, Nyawa adalah taruhannya. Dan hari ini adalah hari dimana aku berterus terang kepadamu agar jika kelak nanti aku menangkap Ayahmu. Kamu tidak dendam kepadaku. Aku ingin kamu berkerjasama denganku” ucap Anto. Kupandangi wajahnya dengan tatapan mata seriusnya, aku semakin yakin bahwa dia tidak berbohong kepadaku dan kemudian aku tersenyum, membuat beberapa sahabatku termasuk anton terkejut kecuali wongso. Aku terdiam sejenak berpikir, jujur saja aku tidak bisa bergerak sendirian aku butuh teman untuk bergerak.
“Aku tidak tahu apakah ini benar atau tidak, tapi...” ucapku
“Maafkan aku Ar, tapi ini sudah menjadi misiku untuk menyeleidikinya. Dan aku harap...” ucap Anton. Kusulut sebatang dunhill dan kuhempaskan asapnya ke alngit-langit warung wongso
“Haaaassssssssssssssh....”
“Aku sudah tahu kebusukan Ayahku, Dia telah membuat hidup banyak orang sengsara. Jika semuanya aku ceritakan disini walau 1 juta halaman tidak akan cukup”
“Aku tahu ini misi Anton tetapi secara pribadi, ini adalah keinginanku untuk mengakhiri kiprahnya. Aku tidak peduli dengan IN atau apalah yang ingin menangkapnya, yang jelas harus aku orang pertama yang menyingkirkannya”
“dan sebenarnya aku tidak ingin kalian tahu dan aku tidak ingin kalian ikut di dalamnya. Jika aku mati aku akan mati sendiri” ucapku sembari memandang mereka satu persatu
“Aku tidak mau...” ucap Aris
“Tidak mau kalau kamu bergerak sendiri, aku harus ikut he he he” lanjut aris
“aku harus ada disitu, cat kadang kalau mau berkelahi ndak ngajak-ngajak, kan enak tuh kalau tawuran bareng-bareng mengenang masa SMA” ucap Karyo
“Iyo... dia suka ninggal aku” ucap Udin yang mengangguk ke arahku
“Kalau ikut semua aku juga ikut, aku kan paling cantiiiiiiiik he he he” ucap Dira
“Aku juga, kasihan kalian nanti tidak ada makanan gratis” ucap Wongso
“yang penting ojo kondo-kondo” ucap joko
“Lumayan ada pekerjaan, aku ikut” ucap Parjo
“Pamer Gigi ah.... ikut” ucap tugiyo
“Dewo terdepan...” ucap Dewo. Aku tersenyum melihat mereka semua. Entah aku bahagia atau tidak tapi mereka semua menatapku dengan tatapan keseriusan.
“Bagaimana kalau nyawa kalian terancam?” ucapku
“Geng koplak itu jalan dulu, yang lain dipikir belakangan” ucap mereka serentak. Mereka mengulurkan tangan mereka dan menumpuknya menjadi satu dihadapanku. Aku hanya tersenyum dan menaruh tanganku diatas mereka.
“KOPLAK!” teriak kami bersama sambil mengangkat dan menjatuhkan tangan kami semua secara bersamaan. Aku memang tidak yakin kumpulan anak-anak yang baru berumur 20-an ini apakah benar-benar bisa membantuku. Tapi dengan adanya anton, mungkin bisa menata pergerakan kami agar lebih tertata
“Terus ton apa rencanamu?” ucap wongso
“Okay, begini, untuk sementara kalian lakukan kesibukan kalian seperti biasa tidak usah menjadikan misi ini sebagai menu utama harian kalian. Tugas kalian adalah mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang Ayah Arya dan kawan-kawannya, mungkin saja ketika kamu melihat mereka kalian bisa mengikutinya, karena kalian tidak akan dicurigai sebagai anggota Penegak Hukum ataupun IN. Perlu kalian ketahui, pergerakan kamipun sangat terbatas karena jika kami yang selalu mengawasi mereka, ketakutan kami adalah mereka akan segera menyadarinya. Jadi aku berharap banyak kepada kalian sebagai kepanjangan tangan IN. Jika nanti aku calling kalian harus siap, sekarang posisi mereka sedang merencanakan sesuatu aku mendapat informasi ini dari rekan kerjaku. Target kita sekarang bukan hanya ayah arya tapi juga beberapa kepala instansi pemerintahan di daerah ini. sekarang mereka sedang merencanakan sesuatu tapi aku tidak tahu, peregerakan mereka sekarang masih dalam batas wajar. Kita tidak bisa saja menggerebek mereka karena kita tidak mempunyai bukti akurat. Untuk semuanya, selama melakukan kesibukan sesekali mencari informasi mengenai mereka. Arya kamu anaknya, pastinya tahu banyak” ucap Anton
“Maaf nton, untuk sekarang ini aku tidak bisa memberitahukan bukti-bukti kepadamu” bathinku
“Belum ada, tapi ada beberapa kebengisan yang dilakukannya terhadapa orangtuanya. Selebihnya akan aku beritahukan jika ada informasi tambahan” ucapku
“Hmmm... itu tidak dapat dijadikan bukti”
“Okay, kita berkumpul lagi jika kalian semua mendapat informasi baru. Sekarang kita berpisah dulu, aku mengandalkan kalian karena kalian semua sudah aku ajukan sebagai tim bayanganku kepada kepala divisiku dan mereka menyrtujuinya. Arya apakah kamu bisa aku percaya?” ucap Anton
“Sebenarnya aku bermaksud menyelesaikannya sendiri ton. Dan sebenarnya aku malu ketika kalian semua tahu mengenai Ayahku” Ucapku kepada Anton.
“Maafkan aku, tapi kiprah Ayahmu sudah terlalu jauh merugikan negara dan daerah ini” ucap Anton. Aku hanya memandangnya dan tersenyum kepadanya. Pertemuan itu berlanjut hingga malam dengan canda tawa kami, hingga akhirnya mereka semua pulang satu–persatu. Tinggal aku, anton, dan wongso.
“Ton, biarkan aku mendalami Ayahku terlebih dahulu, aku sebenarnya punya bukti tapi jika bukti itu aku berikan sekarang, aku tidak akan puas karena kamu pasti akan bergerak terlebih dahulu, biarkan aku berjalan sendiri terlebih dahulu” ucapku
“Eh...”
“Baiklah, tapi kamu tetap dalam pengawasanku Ar” ucap Anton
“Ingat Ar jika ada bahaya kamu hubungi kami”
“dan satu hal lagi, Benahi dulu hatimu Ar” ucap Wongso sambil menepuk bahuku
“Benar Ar kata wongso” ucap Anton yang tersenyum kepadaku
Akhirnya aku berpisah dengan mereka semua, dan aku pulang dengan seidkit motivasi. Tapi motivasi itu sekejap hilang ketika ingatanku kembali kepada Bu Dian. Di dalam kamarku aku merasa sendiri, aku butuh seseorang untuk diajak berbicara mengenai semua yang terjadi. Ibu, Aku benar-benar kagen dengannya. Ku buka kembali sematponku dan ku buka ada beberapa notifikasi pesan BBM dari Bu Dian.
“You make fly high then take me down”
Kemudian aku membaca statu Bu Dian
“Please, Call me, i want talking to you”
“Bodoh bodoh bodoh! Aku mau tidur!” bathinku berteriak
Minggu aku lewati hanya dengan tidur nyenyak saja di dalam kamar. Kuamati status BBM Bu Dian tidak berubah semenjak tadi malam. Ingin aku menghapus pertemanan dengannya tapi dia Dosenku dan aku masih membutuhkannya. Hingga hari senin aku berangkat kuliah tanpa sarapan karena Ibu belum pulang kerumah sedangkan Ayah tak tahu rimbanya. Selepas kuliah, aku kemudian melanjutkan penelitianku hingga larut malam. Dengan running process hari ini, Penelitianku segera berakhir dan aku akan mendapatkan semua hasil dari Tugas Akhirku. Tinggal menyelesaikan pembahasannya saja. Dalam hatiku berkata, jika saja dia menginginkan aku meneleponnya kenapa dia tidak menjengukku ke laboratorium? Pastinya dia malu karena aku mahasiswa dan dia dosen. Huh...
Hari selasa, selepas aku kuliah aku mendapat pesan dari Ibu jika Ibu sudah berada di rumah bersama Ayah. Kubaca dan kubalas secukupnya karena aku akan menghadap ke Bu Dian untuk menunjukan hasil dari penelitianku. Kau mengirimkan pesan kepada Bu Dian, dan dia menyanggupi untuk bimbingan jam 14:00. Aku terus berada di depan ruangan Bu Dian untuk menunggu kehadirannya. Tepat jam 14:05 Bu Dian datang diantar oleh pak felix, pak felix memperlakukan bu Dian dengan begitu mesra namun Bu Dian terlihat kaku dan dingin atas perlakuan itu. Pak felix kemudian menyalamiku dan pamit keluar dari gedung jurusan, lalu Bu Dian kemudian mengajakku masuk ke dalam ruanganya.
“Maaf bu, ini hasil penelitian saya mengenai Tugas Akhir,mohon untuk di cek” ucapku datar
“Ar, bisa kita bicara sebentar...” ucap Bu Dian
“Saya mohon bimbinganya bu untuk tugas akhir saya, saya hanya berharap agar tugas akhir saya ini bisa saya ujikan setelah PKL dan KKN nanti. Dan saya bisa lulus 3,5 tahun. Setelahnya saya bisa segera mencari pekerjaan atau mungkin melanjutkan kuliah S2” ucapku tegas
“Eh...”
“Ar, aku mohon kamu jangan terlalu formal seperti ini, aku ingin bicara mengenai peristiwa malam itu, aku harap ka...” ucap Bu Dian
“Bu, saya mohon, untuk bimbingannya” ucapku
“Arya, jika kamu...” ucap Bu Dian
“Saya siap di-DO,bu” ucapku singkat dengan tatapan mata yang tajam ke arahnya
“Eh...” raut wajahnya kecewa, tatapan matanya begitu sendu kearahku. Yang tak bisa menyembunyikan kegelisahan, kebingungan hatinya atas sikapku
“Baiklah...” ucapnya pelan
Dengan kekakuan diantara kami berdua semua berjalan tampak normal. Bu Dian menjelaskan mengenai hasil penelitianku, aku pun memeprhatikannya dengan seksama. Setiap penjelasan darinya aku catat secara garis besarnya. Hasil penelitianku masuk dalam kategori bagus bahkan bisa dibilang lebih bagus daripada yang di KTI-kan oleh Bu Dian. Aku semakin fokus dengan penjelasan Bu Dian, sudah tak kupikirkan lagi mengenai kejadian malam itu
“Terima kasih Bu, saya akan melanjutkan pembuatan tugas akhir saya, dan nanti setelah PKL dan KKN saya akan bimbingan dengan Ibu lagi” ucapku kemudian bangkit dari tempat duduk
“Oia Bu Selamat ya Bu untuk tanda jadi yang kemarin” ucapku sambil menyodorkan tangan kananku, namun Bu Dian hanya diam saja dan memandangku dengan tatapan yang aneh
“Ya sudah bu, saya pamit dulu” ucapku sembari melangkah keluar dari ruangan Bu Dian
“Ar...” ucap bu Dian
“Iya Bu...” ucapku
“Bisa kita jalan-jalan lagi, ada yang ingin aku bicarakan” ucap Bu Dian
“Maaf Bu saya tidak bisa...” ucapku
“Kenapa?” ucap Bu Dian
“Takut bu he he, saya undur diri Bu, terima kasih” ucapku dan lansung keluar dari ruangan itu
“Yes! Akhirnya selesai juga, tinggal Kuliah, PKL, KKN, Ujian, lulus... Goodbye my university he he” teriakku ketika aku baru melangkah beberapa langkah dari depan pintu ruangan Bu Dian
“Apakah kamu memang benar-benar ingin segera keluar dari Univ?” ucap Bu Dian tiba-tiba dari belakangku
“Eh...”
“Ya namanya juga mahasiswa bu, pastinya pengen cepet lulus kan? He he he” ucapku santai
“Apakah tidak ada yang bisa membuatmu untuk tidak tergesa-gesa lulus Ar?” ucap Bu Dian
“Tidak ada Bu, tidak ada sama sekali” ucapku
“eh...” ucapnya tiba-tiba wajahnya berubah sedih dan sedikit tertunduk
“saya pulang dulu bu” ucapku tanpa mepedulikan perubahan sikapnya setelah kejadian malam itu
Aku melangkah keluar dari gedung jurusan. Aku sudah memantapkan hatiku untuk tidak berharap lagi kepada Bu Dian. Walau ada segelintir cerita indah tentang aku dan dia. Segera aku pulang kerumah untuk melepas lelah. Sampailah aku dirumah disambut dengan Ibu, Ayahku sedang santai nonton televisi. Sesampainya dikamar aku mendapat telepon dari Anton.
“Ar, apakah ayahmu selalu dirumah?”
“Ya, ada apa?”
“Mereka kelihatnya sedang menunggu sesuatu, karena selama ini mereka tidak memperlihatkan tindak-tanduk mencurigakan selama ini”
“Begini Ton, ada informasi yang aku dapatkan, mereka sedang menunggu kehadiran beberpa orang, Ayahku pernah bercakap-cakap ditelepon mengenai beberapa orang yang sedang ditunggunya, dam akan mengadakan suatu pertemuan tapi entah dimana”
“Hm... aku mengandalkanmu, coba kamu selidiki lebih jauh lagi, mengenai beberapa orang itu?”
“Okay Ton” tuuuuut
Tak aku berikan bukti mengenai si tukang, si buku dan si aspal serta sebuah kode tempat pertemuan mereka kepada Anton. Dengan tujuan agar aku bisa mengetahuinya sendiri, memang benar tujuanku adalah aku bisa mendapatkan informasi akurat dan selanjutnya akan aku bungkam mereka semua, Ayah dan kroni-kroninya.
Malam pun tiba, makan malam bersama keluarga dan sedikit percakapan kaku diantara kami. selesai makan aku kembali ke kamar dan aku segera menyelesaikan tugas-tugas kuliahku dan melanjutkan tugas akhirku. Kesibukan dengan perkuliahan membuatku lupa waktu, kulihat jam dinding sudah menunjukan pukul 22:30. Segera aku rebah di kamar tidurku, kuraih sematponku dan ternyata terdapat notifikasi pesan BBM. Bu Dian.
“Don’ threat me Bad by Fire house”
Dibalas oleh Bu Dian
“You are not gentlemen, childish”
(statusnya wow, apa buatku ya? Tapi kalau buatku, bodoh ah?)
Aku buat status kembali
“I Saw red by warrant”
Ketika status BBM-ku aku ubah, beberapa saat kemudian bebrapa pesan BBM masuk. Bu Dian mengirimkan pesan BBM yang intinya dia ingin bertemu denganku, tapi aku tidak menggubrisnya sama sekali. Dalam hatiku, harapan untuknya sudah mulai tergerus oleh waktu. Tak ada lagi kebahagiaan ketika aku mendapatkan pesan darinya, ya tak ada sama sekali. Lagipula kenapa dia begitu ngebet ketemu denganku? Masa bodohlah! Kutarik selimut dengan iringan lagu “ I saw red milik group Band warrant”. Sebuah lagu tentang cinta yang dibalas dengan rasa sakit. (perhatikan reff-nya suhu dan agan)
Ooh, it must be magic
How inside your eyes, I see my destiny
Every time we kiss, I feel you
Breathe your love so deep inside of me
If the moon and stars should fall
They'd be easy to replace
I would lift you up to Heaven
And you would take their place
Reff:
And I saw red when I opened up the door
I saw red, my heart just spilled onto the floor
And I didn't need to see his face, I saw yours
I saw red and then I closed the door
Well I don't think I'm gonna love you anymore
Every day I wake up
I thank God that you are still a part of me
We've opened up the door to it
So many people never find the key
And if the sun should ever
Fail to send it's light
We would burn a thousand candles
And make everything alright
Back to Reff:
And I've been hurt and I've been blind
Well I'm not sure that I'll be fine
I never thought it would end this way
'Cause I saw red when I opened up the door
I saw red, my heart just spilled onto the floor
And I didn't need to see his face, oh, I saw yours
I saw red and then I closed the door
I don't think I'm gonna love you anymore
Ooh, it must be magic
How inside your eyes, I see my destiny
Every time we kiss, I feel you
Breathe your love so deep inside of me
If the moon and stars should fall
They'd be easy to replace
I would lift you up to Heaven
And you would take their place
Reff:
And I saw red when I opened up the door
I saw red, my heart just spilled onto the floor
And I didn't need to see his face, I saw yours
I saw red and then I closed the door
Well I don't think I'm gonna love you anymore
Every day I wake up
I thank God that you are still a part of me
We've opened up the door to it
So many people never find the key
And if the sun should ever
Fail to send it's light
We would burn a thousand candles
And make everything alright
Back to Reff:
And I've been hurt and I've been blind
Well I'm not sure that I'll be fine
I never thought it would end this way
'Cause I saw red when I opened up the door
I saw red, my heart just spilled onto the floor
And I didn't need to see his face, oh, I saw yours
I saw red and then I closed the door
I don't think I'm gonna love you anymore
Ooh, it must be magic
Kulalui semester enam ini dengan penuh semangat, sebenarnya sok semangat. Berangkat pagi pulang sore, kumpul dengan keluarga dan belajar di dalam kamar. setiap saat aku selalu mengecek sematpon milik KS dan emai Om Nico tapi tidak ada tanda-tanda yang bisa memperkuat bukti. Jika aku hanya mengandalkan obrolan di sematpon KS bisa-bisa mereka menyuruh orang untuk membunuhku seandainya aku menjadi saksi sebagai penemu sematpon. Tante wardani saja mungkin juga tidak bisa berkutik, mereka terlalu kuat. Yang aku butuhkan adalah sebuah tindakan tapi belum tahu tindakan seperti apa.
Perkuliahan di semester enam berakhir, UAS semester genap juga telah selesai. Selama itu pula aku komunikasiku dengan Bu Dian tidak selancar dulu. Kadang sesekali aku bertemu dengannya dengan wajah penuh kelembutannya yang sedikit gelisah dan kebingungan. Kadang setiap kali aku menyapanya dia sering salah tingkah. Entah apa yang ada didalam pikirannya aku tidak pernah tahu dan AKU TIDAK MAU TAHU!. Beberapa kali Bu Dian mengajakku bertemu namun aku selalu menolaknya. Karena aku tidak ingin kejadian dengan lucas terjadi lagi, hanya itu. Ibu? Kebersamaanku dengan Ibu tetap terjaga dengan baik, walau beberapa bulan ini aku tidak bisa mencuri-curi untuk berkumpul dengan Ibu. Walau jarang berkumpul dengan Ibu, tapi melihatnya saja aku sudah senang, senyum manisnya, tatapan matanya. Dan itulah yang bisa membuatku melupakan Bu Dian, entah sejenak, entah selamanya. Untuk bisa curhat dengan Ibu saja sekarang menjadi semakin sulit, untuk BBM takutnya Ibu lupa hapus dan dibaca Ayah. Jalani dulu sajalah daripada aku harus memaksakan diriku, nanti juga pasti ada jalan sendiri.
Yudisium pun tiba, hingga akhirnya Rahman sahabatku akhirnya mau menceritakan keluh kesahnya selama semester enam ini. Rahman yang selalu bertemu denganku dengan wajah galaunya dan kosongnya sekarang menjadi Rahman yang lebih dari biasanya. Tampaknya lebih bahagia dan lebih bersemangat namun kadang dia menjadi orang stress dengan sendirinya. Sampai pada suatu hari dia mengajakku bertemu rektorat universitas, pada malam hari sekitar pukul 19:30.
“Woi kang! Dah lama?” ucapku yang baru saja datang
“Endak baru juga ane duduk dan menyulut rokok” ucap Rahman
“Ada apa kang? Kayaknya serius banget?” tanyaku
“nih rokok, nih minumannya...” ucap Rahman, dan kusulut sebuah rokok dunill mild kesukaanku
“Ar...” ucap rahman
“ya...” ucapku
“Ane mau cerita, tapi ente jangan bilang sama siapa-siapa ya?” ucap Rahman
“Iya.. iya, tenang saja, kayak sama orang lain saja kaaaaang... kang ”ucapku sambil meneguk panta merah. Nampak wajah rahman serius menatap ke tanaman-tanaman di seberang jalan. Helaan nafas panjangnya mengisyaratkan bahwa apa yang akan dikatakannya adalah sebuah hal yang sangat penting. Beberapa kali dia akan memulai tapi selalu kata-katanya tercekat ditenggorokannya. Helaan nafas panjang selalu dilakukannya untuk menenagkan pikirannya. Dan...
“Ane telah bersetubuh dengan mama ane sendiri...” ucap Rahman
“Uhuk uhuk uhuk uhuk... “ aku tersedak seketika itu
0 komentar: